Beban Orang Tua

0 0 0
                                    

Bab 22 (Terjebak)

“Sengaja atau tidak sengaja. Kebanyakan manusia sering meluangkan waktu hanya untuk mencari kesalahan orang lain. Kenyataanya, kesalahan itu terletak pada diri mereka sendiri.”

***

Bel istirahat berbunyi. Fatih menyusun kembali beberapa buku yang berada di meja, ia lalu bangkit dari duduknya dan langsung mendapatkan penghormatan dari murid-murid tersebut. Fatih tersenyum seraya pergi meninggalkan kelas tersebut. Tidak lama setelah itu, seluruh murid juga ikut keluar dari kelas untuk mengisi perut kosong mereka yang telah berteriak minta tolong.

Kecuali Satria, Mishaka, dan Lion. Bukan hanya mereka, ada juga beberapa murid lainnya yang tidak keluar karena telah membawa bekal dari rumah. Bisa dibilang, hanya anak-anak dari orang kaya yang lebih memilih untuk membeli jajanan di luar ketimbang membawa makanan dari rumah. Bagi mereka, itu sangat merepotkankan. Belum lagi alat tulis yang memberatkan isi tas, tetapi itu tidak berlaku bagi mereka yang mengerti tentang pentingnya berhemat.

Mishaka memperhatikan Satria yang hanya menatap kosong ke kotak makanannya yang berisi dua potong ubi jalar. Sedangkan Lion, anak itu sedang enak-enaknya menikmati nasi putih yang dicampuri dengan garam dan minyak kelapa secukupnya. Jangan tanyakan bagaimana rasanya, Lion akan mengatakan kalau itu adalah makanan terenak yang pernah ia rasakan. Sangat sedap, bagi mereka yang sudah terbiasa.

“Satria, apakah kamu masih memikirkan kejadian tadi?” Mishaka memegang pundak kanan Satria, membuat sang empu terkejut dan mengalihkan pandangan ke arah Mishaka.

Satria mengangguk kecil. “Aku benar-benar tidak tahu, kira-kira siapa yang telah menaruh pena Rehan pada laciku?”

“Sudah, tidak usah dipikirkan. Tenang saja, kami percaya padamu,” ucap Mishaka tersenyum kecil menatap Satria.

Lion menghentikan aktivitasnya, ia juga setuju dengan apa yang dikatakan Mishaka. Satria kembali tersenyum dan menatap satu per satu kepada dua sahabatnya itu. Ia mengucapkan terima kasih karena telah mempercayainya. Senyum Mishaka kembali pudar ketika sebuah pertanyaan terlintas di dalam pikiran.

“Tapi, benar katamu. Mengapa pena itu tiba-tiba berada di lacimu? Apakah ada orang yang salah meletakkannya? Atau ... ada yang sengaja menjebakmu?”

Satria dan Lion terdiam berusaha mencerna pertanyaan berturut-turut dari Mishaka. Lion meletakkan kotal makanannya di meja. Ia melihat ke arah sekitar, kemudian menatap kembali ke arah Satria dan Mishaka. “Apakah Zidan yang melakukan semua ini?” tebak Lion dengan suara yang sedikit dikecilkan.

Mendengar hal itu, Satria langsung menggeleng dengan cepat. “Tidak mungkin! Bukankah Zidan juga ikut membelaku tadi?! Aku tidak yakin jika dia yang melakukannya!”

Lion menghela napas kasar, ia kembali mengangkat pandangan ke arah depan. “Lalu, siapa yang melakukan ini semua?”

Tidak ada jawaban. Satria dan Mishaka hanya terdiam memikirkan hal yang sama, mereka juga tidak bisa menuduh sembarangan tanpa bukti. Jika bukan Zidan, lalu siapa? Atau mungkin memang benar kata Fatih, ini hanya kesalahpahaman saja? Mereka bertiga kembali fokus pada makanan masing-masing dan mulai melupakan hal itu yang akan memberatkan pikiran. Satria hanya berharap, kejadian itu tidak akan terulang lagi. Entah kepada dirinya atau pada kedua sahabatnya.

***

Baru setengah hari berada di lautan, rasa pusing sudah menghampiri kepala Pak Lanca. Mungkin karena terik matahari yang sangat menghujam bumi. Sehingga topi yang berada di kepala Pak Lanca seakan tidak berguna lagi sebagai alat pelindung. Pak Lanca mengusap keringat yang menempel di pelipis, ia menatap gusar ke arah ember kosong tanpa terisi seekor pun ikan. Waktu itu, Pak Lanca bersyukur karena masih mendapatkan ikan kecil walau hanya seekor. Lalu, bolehkah Pak Lanca mengeluh untuk hari ini saja?

Beban Orang TuaWhere stories live. Discover now