Bab 6.

2 1 0
                                    

Alisya terduduk syok di sebuah kursi-yang letaknya tak jauh dari Harvard Market. Keresek belanjaan ditaruh sembarangan. Pandangan matanya kosong. Terlalu mengejutkan. Bagaimana mungkin ia bisa kuat menopang tubuhnya, jika saja apa yang telah dilihat oleh matanya begitu meruntuhkan segenap asa.

"Astaghfirullah. Ya Allah." Ia mengusap kasar wajahnya yang pucat. Sudah berkali-kali mengucap istighfar. Menenangkan diri. Namun, rasanya hal ini terlalu besar untuk bisa ditenangkan dalam hitungan menit.

Masih begitu terekam jelas apa yang dilihat oleh matanya dan masih terdengar jelas suara sang kasir saat menjelaskan hal apa yang sebenarnya telah terjadi. Hal ini seperti petir di siang bolong. Cukup mustahil memang kehadirannya. Namun, tidak menutup kemungkinan jika petir itu pada akhirnya datang.

"A Muslim has bombed a church near Harvard Market." Begitulah kira-kira rentetan kata yang dilihat dan didengarnya.

Seorang muslim telah mengebom sebuah gereja di dekat Harvard Market. Itulah satu poin besar yang menjadi alasan kenapa sang kasir meminta tasnya untuk diperiksa. Kurang lebih untuk mengantisipasi terjadi hal yang sama untuk yang kedua kalinya. Alisya memang menyerahkan tasnya. Ia tahu, jika mereka juga mempunyai kekhawatiran yang cukup kuat. Namun, ada satu sisi dari bagian hatinya yang merasa sakit.

Harga dirinya sebagai muslim telah dicoreng. Memang bukan ia yang melakukan hal keji tersebut. Akan tetapi, seseorang yang telah membawa nama islam. Itu cukup membuatnya merasa kesal, kecewa, marah, dan malu. Islam dijadikan pelaku utama atas pengeboman tersebut, hanya karena berdasarkan ciri pakaian seseorang yang tak sengaja terekam CCTV dekat gereja, beberapa menit sebelum bom meledak dan menghancur leburkan seisinya.

Kejadian tersebut berlangsung kemarin sore. Pantas saja jika Alisya tidak mengetahui hal itu secara detail, karena memang beritanya belum tersebar secara luas. Mungkin bisa dibilang hanya 70% yang disebarkan kemarin malam, itu pun hanya di Amerika Serikat saja. Alisya yakin, jika siang ini berita itu akan melebar luas, bahkan hingga ke luar negeri sekali pun. Jangan ditanya kenapa? Karena sudah jelas bahwa Amerika Serikat adalah negara dengan persentase terbesar paling berpengaruh di dunia. Wajar bukan, jika beritanya akan menjadi tranding topik nomer 1 di dunia?

Alisya beranjak dari duduknya. Tidak berniat pulang ke asrama, melainkan ia memacu langkah kakinya ke arah gereja yang telah menjadi gundukan abu. Terlihat dari kejauhan beberapa mobil polisi juga pemadam kebakaran. Api sudah benar-benar padam. Namun, masih terlihat beberapa kekacauan, sebagai bukti telah terjadinya ledakan yang cukup besar.

Wartawan saling bergelung di dekat pembatas polisi. Flash kamera muncul puluhan kali, tanpa henti. Berebut informasi. Alisya hanya menatap kosong tempat kejadian perkara. Hatinya seakan remuk. Adakah orang yang tega mengebom sebuah tempat ibadah? Meski bukan tempat ibadah Alisya, tapi ia merasa begitu hancur. Terlalu keji. Apapun alasan seseorang yang telah melakukan hal ini, tentu bukanlah pilihan yang baik. Apa lagi sampai membawa-bawa nama agama.

"Please, take a few steps back. You guys made it a bit difficult for us to evacuate the place and some of the victims." Seorang pria bertubuh kekar dengan seragam polisinya menginterupsi para wartawan untuk mundur dan menjauh dari lokasi kejadian.

Pohon besar di sudut jalan, menjadi tempat Alisya untuk memperhatikan kesibukkan yang terjadi di sana. Netra matanya bergerak ke sana-ke mari, menjamah seluruh aktivitas. Tak terkecuali, pergerakan segerombol wartawan yang terpaksa menyingkir dari titik utama. Akhirnya, ia bisa melihat lebih jelas ke arah pusat. Ada banyak kantung jenazah di sana, sekitar 20. Alisya tentu saja syok. Ia menutup mulutnya dengan satu tangan. Tidak percaya akan ada banyak korban yang berjatuhan.

"Dad, Mom!" Sebuah teriakan keras, membuat Alisya mendongakan kepala, semakin memfokuskan pandangannya ke titik pusat. Ia mencari sumber suara.

"Where are my mom and dad?" Suara berat itu kembali terdengar. Kali ini, Alisya bisa melihat seorang pria bule dengan penampilan yang acak-acakkan menghampiri beberapa polisi.

"Did your parents come to this church yesterday?" Seorang polisi balik bertanya.

"Yes, they came to this church yesterday, but they didn't come back. I saw the news on television, that the church was bombed. Is everything okay?"

Polisi tersebut menggeleng sebagai jawaban. "No one is safe. Everyone died."

"This is a dream. My mom and dad won't go. They always worship the Lord Jesus. There's no way they could die like this!" Pria berantakan itu berteriak histeris, menentang. Merasa tidak adil dengan apa yang didengarnya.

Ia tertawa kecil. Mengusap kasar wajah. Menyugar rambutnya dengan prustasi. "They always obeyed the Lord Jesus. Why did they have to die like this? Why?" Pria itu menangis. Terdengar dari suaranya yang semakin berat dan tercekik.

Di kejauhan sana, Alisya membekap mulutnya, semakin syok. Ia ikut menitikan air mata. Ternyata akan ada orang yang tersakiti lebih dalam. Sakitnya berkali-kali lipat dibandingkan dengan kehilangan orang yang disayang dengan cara wajar. Namun, ini berbeda. Cara mereka meninggal begitu mengenaskan. Saat beribadah, menghadap sang Tuhan, seseorang yang biadab malah mengebom tempat itu.

Tidak adil. Ya, Alisya setuju. Memang tidak adil. Entah itu untuk umat kristen sebagai korban, maupun umat islam yang dijadikan sebagai pelaku tersangka. Alisya tidak yakin, jika seseorang yang melakukan hal biadab itu memiliki agama. Sebab, pada dasarnya setiap agama itu mengajarkan sebuah kebaikan.

Tak mau berdiam lebih lama dan melihat kesedihan yang terjadi di sana, Alisya memilih berbalik. Ia menghapus air mata yang menggenang di pipi. Mengambil keresek belanjaan yang tadi ditaruhnya di atas aspal. Hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya urung. Barang belanjaannya jatuh. Pegangan tangan yang licin dan bergetar, menjadi salah satu alasan mengapa bisa barang belanjaannya jatuh.

Alisya meringis. Suara barang yang jatuh terdengar jelas. Ia dengan gesit berjongkok, membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Syukurlah, tidak ada barang yang rusak atau bahkan berceceran hingga mengeluarkan isinya. Mungkin hanya beberapa barang yang kemasannya sedikit lecet.

Gadis itu memang sedikit ceroboh. Semua itu dikarenakan kejadian mengejutkan yang tiba-tiba saja terjadi di sekitarnya. Ia bukan gadis yang ulung dalam beradaptasi dengan keadaan. Terkesan cukup lama hingga dirinya mampu terbiasa dan bertahan. Namun, baru saja beberapa jam ia menginjakkan kaki di negeri orang, sebuah masalah besar tiba-tiba saja menyapa, dan seakan memaksa ia untuk hengkang.

Setelah selesai dengan barang belanjaannya yang jatuh. Alisya segera saja beranjak, pergi dari tempat itu. Ia perlu waktu sendirian untuk menenangkan diri. Namun, satu hal yang kembali dilupakan olehnya. Pria berantakan yang tak sengaja menyadari kehadirannya dari kejauhan.

.
.
.

Sukabumi, 13 September 2021.

Pelabuhan Dua HatiWhere stories live. Discover now