14

580 73 2
                                    

Garis pantai Karon datar dan berada pada satu titik garis lurus, tidak seperti tebing karang yang berkelok-kelok. Pantainya luas dan lapang, lembut dan sangat dekat dengan jalan setapak. Tapi semakin dekat dengan garis pesisir, pasirnya mengeras seperti gula merah padat.

Seminggu berlalu, Tay duduk di atas pasir.

Tay merasakan seseorang perlahan memeras jantungnya. Ia sudah menelusuri daerah Karon tanpa bisa menemukan New dimanapun.

"Maaf, apakah buku ini milik anda?"

Tay menoleh, seorang pria dewasa berdiri dihadapannya dengan sebuah buku di tangan kanannya.

Buku itu, sepertinya terjatuh ketika Tay mencoba mengeluarkannya dari pintu penumpang mobilnya.

"Ah, benar. Terima kasih." Ujar Tay, mengangguk pada pria itu yang kini tersenyum.

"Ku pikir, aku tidak akan menemukan novel itu lagi."

Tay tersenyum membalasnya. "Ya, novelnya sudah cukup lama. Baru ku baca beberapa bulan belakangan ini."

Tay diam saat menyadari pria itu terus menatapnya. "Namaku Tay."

"Namaku Fluke." Tay menjabat tangan Fluke. Meski terlihat lebih dewasa di banding Tay, Fluke memiliki wajah kekanakan dan wibawa. Mengingatkan Tay pada tuan Billkin. Orang-orang tidak bisa menebak pasti berapa usianya, termasuk Tay.

Namun garis wajah yang mulai terlihat menua, meyakinkan Tay jika pria di hadapannya pastilah seumur tuan Billkin.

"Oh? Lukisan itu?"

Tay menunduk memandang lukisan milik New dalam buku sketsanya yang tergeletak di atas pasir.

"Itu.... Bagus sekali."

"Terima kasih."

"Apakah kamu yang mengambarnya?" Fluke ikut duduk di samping Tay.

"Ah, itu bukan milikku, seorang teman yang menggambarnya."

"Teman?" Tanya Fluke.

Pria itu berkedip dan menatapnya. "Bisakah aku bertemu temanmu itu?"

"Sebenarnya aku pun sedang mencarinya." Ujar Tay.

"Sayang sekali. Aku sangat menyukai lukisannya sekali lihat." Ujar Fluke.

Tay tidak tahu apa yang mesti dia lakukan.

"Jadi, Tay?"

"Ya?"

"Apa kamu datang kemari mencari temanmu itu?"

"Eum, ya, ia sangat menyukai pantai. Mungkin aku akan bertemu dengannya di pantai ini."

"Tidakkah kamu sudah mencari ke sekeliling kota?"

Tay mengangguk. "Sudah, hanya saja semua orang tidak pernah melihatnya. Apakah aku salah mengartikannya?"

"Hm, susah juga kalau begitu. Apakah kamu punya fotonya? Mungkin aku pernah melihatnya."

Tay memberikan foto New dari Pluem.

Fluke menatap foto itu, matanya terbelalak.

"Dia...tampan juga." Ujar Fluke.

Tay sempat sesaat berpikir jika Fluke pernah melihat New. ia menghela nafas.

"Mungkin setelah ini aku akan mencoba kembali berkeliling kota."

"Semoga berhasil, Tay." Fluke mengembalikan foto milik New.

"Bagaimana jika aku melihat pria ini, aku harus menghubungi siapa?" tanya Fluke.

Tay langsung mengeluarkan kartu namanya. "Hubungi aku di sini. Terima kasih Fluke."

Fluke berkedip dan menatapnya. "Tay Tawan?"

"Ya, namaku Tay Tawan." Fluke tersenyum seraya memasukkan kartu nama milik Tay ke dalam kantung celananya.

"Sepertinya mau hujan, aku harus kembali. Kamu juga kembali lah Tay. Angin pantai akan sangat kencang ketika hujan datang."

Tay mengangguk, mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Fluke.

Setelah Fluke pergi, ia berjalan menuju mobilnya. Duduk diam lama dalam kemudi. Setelahnya satu helaan nafas ia hembuskan, saat rintik hujan mulai menerpa kaca mobilnya..

...

Satu bulan berlalu.

Tay tidak bisa focus kerja, dia mencoba untuk melakukan aktifitasnya seperti biasa. Namun nihil.

Tay tidak lelah mencari, hanya saja, ia menyadari sesuatu kemungkinan paling besar. Bahwa New tidak ingin ditemukan. Dengan melihat sedemikian banyak petunjuk yang New tinggalkan untuknya, namun New juga masih tidak bisa ia temukan.

Lantas, memang tujuan New dari awal adalah menghilang?

Itu adalah hal terburuk baginya,

Tay menyadarinya.

New bisa berada di mana saja sekarang, dan tidak ingin ditemukan. Sekeras apapun usaha Tay mencarinya, tapi dia tak akan pernah menemukannya.

Malam itu, Tay berdiri di dalam kamarnya, matanya menatap wajah New yang terkunci dua tahun lalu. Waktu bergulir cepat, namun wajah New tidak pernah berubah.

Tidak tersenyum.

Begitupun Tay, ia sudah lupa kapan terakhir kali tersenyum.

Dia merasa begitu marah pada saat yang sama ia juga ingin menangis.

Ada sesuatu yang kosong di dalam hatinya.

"AH." Jarinya menyenggol sesuatu.

Buku miliknya.

Rindu.

Dan Tay akhirnya menangis.

...

Tay demam.

Ia tidak bisa bekerja. Off meneleponnya sepagi mungkin ketika dia menerima pesan Tay jika ia sedang tidak enak badan.

Terdengar sebuah ketukan di pintu depan.

Tay menghela nafas panas dari mulutnya. "Pasti Off." Pikirnya. Padahal Off bisa langsung masuk ke rumahnya tanpa perlu mengetuk atau membunyikan bell terlebih dahulu.

Dia berjalan sedikit terseok.

Tay membuka pintu.

Nafasnya tercekat.

New Thitipoom berdiri di hadapannya.

"Tay Tawan?"

Memories Bout YouWhere stories live. Discover now