Chapter 29: It Starting to be Answered - Part 3

2K 230 3
                                    

"JADI, Tuan Putri bereinkarnasi."

Hamon menyimpulkan setelah mendengar cerita bahwa Elora mati lalu hidup kembali tiap 200 tahun sekali untuk menemuiku. Masih dengan penampilan yang sama saat kami pertama kali bertemu; wujud anak perempuan berusia 5 tahun dengan kondisi yang memprihatinkan.

"Yang Mulia." Aku menoleh sedangkan dia melanjutkan, "Apa Anda sadar bahwa Tuan Putri selalu datang ketika mendekati hari ulang tahun Anda?"

"Ya."

"Kalau begitu—"

"Hadiah dan hukuman. Orang Bersinar, semuanya berawal dari sana."

Dia nampak terkejut selama beberapa detik sebelum bertanya kembali, "Maksud Anda dia yang mengutus Tuan Putri?"

Aku membenarkan.

"Pantas saja Tuan Putri bisa mengulang kehidupan." Dia memberi jeda, sepertinya teringat sesuatu ketika ekspresi wajah itu berubah serius dalam per sekian detik. "Berarti ini adalah kehidupan ketiga Tuan Putri," gumamnya, pelan. Pandangannya kemudian ke bawah; memperhatikan kedua tangan yang masih dibalut perban.

"Benar."

Netra hijauku lalu bergerak meneliti kamar tidurnya. Hanya ada sedikit barang, di antaranya: beberapa buah buku; beberapa macam pedang, mulai dari yang terbuat dari besi, baja, hingga kayu; sebuah meja dan kursi kayu; serta lukisan abstrak berbentuk manusia lidi yang ditempel di dinding.

Kemudian, vas bunga yang diletakkan di ambang jendela menarik seluruh atensiku. Di dalam vas bunga yang berbentuk seperti bola dan tabung yang digabung menjadi satu; bagian bawahnya didesain seperti kubus yang dibalik 180 derajat mengelilingi vas; terdapat bunga berwarna kuning yang selalu anak itu bawa. Aku mendecak; dalam sekali lihat sudah jelas bahwa Elora ternyata berhasil lepas dari pengamatanku.

"Bunga krisan kuning itu sangat indah."

Hamon yang menunduk segera mengangkat wajah; mengikuti arah pandangan mataku. Lalu, di detik berikutnya dia menoleh sembari tersenyum kikuk. "Maafkan saya, Yang Mulia."

"Jadi, dia berhasil menemuimu, ya?" Aku melipat kedua tangan di depan dada. "Padahal beberapa waktu lalu dia terbaring lemah di tempat tidur dan berteriak kesakitan."

"Saya mohon maaf."

"Sudahlah." Aku menurunkan tangan dan memasukkannya ke dalam saku celana. "Yang terpenting saat ini adalah mulai besok kau harus kembali menjadi pengawal Elora karena Duke Astello telah kembali ke Petunia. Tidak ada orang lain yang dapat kupercaya mengenai keselamatan anak itu selain kalian berdua."

"Baik, Yang Mulia." Dia menundukkan kepala; meletakkan tangan kanan yang dibalut perban secara melintang ke tempat yang mana jantung berada; berkata, "Saya akan melaksanakan perintah Yang Mulia."

"Segera laporkan kepadaku jika terjadi sesuatu."

"Akan saya laksanakan, Yang Mulia."

Aku mengangguk dan segera beranjak; mengabaikan seluruh penghormatan yang diberikan ksatria saat melewati mereka; berjalan lurus keluar dari asrama ksatria menuju istana utama. Sepanjang melewati koridor; aku mengingat kembali dan berpikir.

"Jangan ambil Papaku!"

Kalimat itu adalah kata-kata yang mengganggu pikiranku selama beberapa hari terakhir; perkataan yang diucapkan Elora di kehidupan kedua. Tetapi, sekeras apapun mengingat, yang terputar hanya potongan-potongan memori dan perkataan samar. Namun, dari sekian banyak perkataan yang terngiang; satu kalimat itulah yang paling mengganjal.

Aku menyimpulkan kehidupan kedua dan ketiga Elora tidak jauh berbeda; ada interaksi dan hubungan yang terjadi pada kami berdua. Namun, justru itulah yang membuatku tidak tenang; kenyataan bahwa apa yang terjadi di kehidupan kedua dan kehidupan sekarang yang mempunyai kemiripan.

Di satu sisi aku meyakini bahwa perubahan besar yang terjadi dapat mengubah bagian akhir cerita. Di sisi lain aku juga penasaran dengan alasanku membunuhnya di kehidupan kedua. Berpikir bahwa dengan mengetahuinya aku dapat mencegah kejadian buruk yang mungkin terjadi. Tetapi, sisa-sisa ingatan di kehidupan kedua Elora hanyalah kalimat seperti itu. Sama sekali tidak bisa mengingat keseluruhan memori.

Bersama dengan kenop pintu ruang kerja yang ditarik ke bawah; pikiranku membisik bahwa kalimat yang diucapkan Elora saat itu berhubungan dengan Orang Bersinar yang pernah dia katakan.

***

Satu kompi ksatria yang tidak sedang berjaga terbaring lemah di tanah dengan napas yang tidak beraturan. Sementara itu, aku menginjak dada ketua pasukan yang sudah tak berdaya melawanku. Mengarahkan pedang kayu ke lehernya, menatapnya tajam, kemudian mengayunkan pedang tersebut dengan kekuatan penuh. Bersamaan dengan itu, ketua pasukan menutup mata.

Tak.

Pedang kayu tertancap satu senti dari wajahnya. Aku mengangkat kaki kemudian bergeser ke samping. Memandang 225 ksatria yang terbaring seperti ikan.

"MULAI SEKARANG, BERLATIH LAGI LEBIH KERAS!"

"BAIK, YANG MULIA!"

Butler mendekat sembari membawakan handuk kecil. Dia langsung mengambil tempat satu langkah di belakang dan mengikutiku keluar dari tempat latihan. Mengelap wajah dan leher; aku menjauhkan handuk ke kanan yang segera diambil oleh Butler. Melanjutkan langkah kembali dan tidak sengaja pandanganku menangkap Elora yang sedang bermain bersama kelincinya ditemani Hamon, Ibu Asuh, dan para dayang.

"Yang Mulia ingin menemui Tuan Putri?"

Aku segera tersadar dan kembali menghadap ke depan. "Tidak. Biarkan saja dia bermain sepuasnya," jawabku lalu melanjutkan langkah kembali.

Ketika telah sampai di depan kamar tidur; Butler berkata bersamaan dengan gerakanku menarik kenop pintu ke bawah. "Air mandi Yang Mulia sudah disiapkan."

Aku tidak menggubris dan melangkah masuk ke dalam. Merapatkan pintu kemudian berjalan menuju kamar mandi. Melucuti seluruh pakaian dan menyalakan shower; air hangat lantas jatuh membasahi seluruh tubuhku. Sisa-sisa keringat meluruh dan bercampur bersama dengan air yang meluncur ke dalam saluran pembuangan.

Selama beberapa menit, aku membiarkan diri berada di bawah shower. Tangan kanan yang memegang pedang kayu kemudian mengambil seluruh atensiku. Menatapnya lama dan menggenggamnya erat; membiarkan urat-urat tangan menonjol. Meski sangat tipis, aku merasa ada perubahan yang terjadi pada tubuhku.

***

Keesokan hari, di pagi yang sangat dingin dan angin yang berhembus kencang; satu batalyon terbaring lemah di tanah sembari menggigil. Membuang pedang kayu ke sembarang arah; menatap bengis 1.300 ksatria yang terlentang seperti ikan yang disapu ombak, berteriak,

"BERLATIH LEBIH KERAS LAGI!"

"BAIK, YANG MULIA!"

Aku mendecak kemudian membalik badan. Mengabaikan handuk yang dibawa oleh Butler dan berjalan cepat menuju kamar tidur untuk membersihkan diri. Sepanjang jalan, perasaanku menjadi tidak tenang. Rasanya ada sesuatu di tubuhku yang mulai berubah. Menarik kenop pintu ke bawah dan merapatkan pintu, aku melangkah menuju kamar mandi.

Menyalakan shower setelah melucuti seluruh pakaian; membiarkan air membasahi seluruh tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku kembali menatap tangan kanan dan mengepalnya kuat hingga urat-urat tangan tersebut terlihat. Di detik selanjutnya, aku menghela napas dan mulai membersihkan diri. Mengarahkan sabun ke seluruh badan dan menggosoknya perlahan.

Bersama dengan air sabun yang mengalir ke saluran pembuangan, pikiranku kembali mengingat kejadian hari kemarin dan saat ini. Meski telah mengalahkan satu kompi dan satu batalyon ksatria istana, bagian dalam tubuhku masih terasa aneh. Terjadi perubahan samar yang tidak biasa. Sebanyak 1.300 ksatria memang berhasil aku kalahkan, namun masih ada sekitar kurang lebih 300 orang yang masih dapat bergerak dan bertarung tetapi, mereka memilih mengalah.

Padahal biasanya, aku dapat membuat mereka istirahat selama sepekan ketika adu tarung. Namun, kali ini terjadi penurunan yang signifikan. Perasaanku mulai menjadi tidak enak. Rasanya, kekuatan kegelapan dalam diriku perlahan mulai melemah.[]

Elora: My Little PrincessWhere stories live. Discover now