04. Kelakuan

0 0 0
                                    

Sebuah mobil BMW E30 berwarna laguna seca green melaju dengan kecepatan wajar. Tidak melewati batas kecepatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang untuk para pengendara lalu lintas.

Ku tak akan bersuara walau dirimu kekurangan

Hanya setiamu itu kuharapkan

Ku tak akan menduakan walau kilauan menggoda

Kasih dan sayangku tetap utuh untukmu

Tina, wanita berseragam khas polisi yang tengah mengemudikan mobil bersenandung. Mengikuti alunan musik dari speaker DLS audio yang tersambung pada headunit mobil.

Musik yang tiba-tiba berubah menjadi lagu Attention oleh Charlie Puth membuat Tina melirik anak semata wayangnya, Arsya, sebal. Padahal, tadi dia tengah asyik sekali menyanyikan lagu almarhumah Nike Ardilla yang berjudul Suara Hatiku, walaupun suaranya pales.

"Arsya," panggil Tina.

"Iya, Ma?" Arsya menoleh pada Tina yang fokus mengemudi dan sesekali melirik.

"Kamu sama Nara lagi berantem, ya?"

Seketika Arsya berhenti mencari lagu di YouTube. Ponsel milik Tina yang semula Arsya pegang, kembali dia letakkan pada tripod yang menempel di dashboard mobil.

Melihat respons Arsya, Tina sudah tau jawabannya. Tangan Tina terulur ke kepala Arsya. Memberikan elusan lembut penuh kasih dan sayang sebelum memberi jeweran.

"Aw, aw! Sakit, Bun. Aku salah apa lagi, sih?" tanya Arsya nelangsa, mengusap-usap telinganya yang memerah.

"Arsya jangan galak-galak, dong, sama Nara."

Memandang Tina terperangah, Arsya segera membalas, "Kebalik, Bun. Bukan aku yang galak, tapi Nara!"

Tina tak mengindahkan protesan Arsya. Membuat Arsya menghela napas panjang dan memilih menatap keluar jendela. Merajuk.

"Dini hari tadi, waktu Bunda pulang, Bunda lihat Nara duduk di balkon kamarnya. Mau Bunda sapa, tapi enggak jadi karena Nara keliatannya lagi nangis."

Arsya mematung. Pelan-pelan, dia menoleh pada Tina yang juga membalas tatapan Arsya sembari tersenyum teduh dan hangat.

Berdehem, Arsya menggerutu, "Bunda kok tau Nara nangis? Nanti tau-tau dia lagi scroll medsos. Bucin sana-sini sama idolanya."

"Ya Bunda enggak tau pasti, dong, Sya. Cuma, sepenglihatan Bunda, Nara lagi duduk meluk lutut sambil nunduk, nempelin mukanya ke atas lutut gitu."

"Arsya ngerti, kan, tujuan Bunda ngasih tau ini?"

Melihat Arsya tak kunjung menjawab, Tina melanjutkan, "Nara harus tau bahwa dia masih punya kamu, Bunda, Ayah, dan semua teman-teman kalian. Dia enggak sendirian. Dia masih punya banyak orang sebagai tempat untuk pulang dan bersandar."

"Iya, Bun, Arsya paham itu, tapi Arsya lagi kecewa sama Nara."

"Anak Bunda kecewa karena apa, sih? Cerita, dong, sama Bunda."

Layaknya anak kecil, Arsya melipat kedua tangan di depan dada. Agar terlihat lebih dramatis, Arsya sengaja memajukan bibir dengan sedih.

"Nara enggak nepatin janji buat dateng ke café yang baru buka dekat SMP-nya itu, Bun. Dan Bunda tau apa yang malah dilakuin Nara?" Tina menggeleng. "Dia jalan sama Kevin! Mana Nara enggak ada bilang apa-apa lagi. Padahal aku udah nungguin dia dua jam, loh, Bun! Sampe pesen macem-macem! Kayak Ice Americano, Caramel Macchiato, roti bakar, sama Buttermilk Waffles! Mau mesen Chocolate Milkshake, tapi itu kesukaannya Nara! Aku jadi males buat pesen. Terus, karena masih kesel, aku milih buat pulang aja."

FRIENDZONE(S)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang