Yang Memilih Pergi dan Menjadi Abadi

58 23 61
                                    


🥀🥀🥀

Kehilangan tidak pernah benar-benar menghadirkan kalimat 'tidak apa-apa'. Akan selalu ada perasaan yang tidak cukup jika hanya diungkapkan dengan kata-kata, ketika sesuatu atau bahkan seseorang hilang dari kita.

Lewat mata mama aku melihat laki-laki tanpa rambut dan kaca mata kecil yang bertengger di pucuk hidungnya sedang mengoceh dengan berapi-api, mengucapkan kutipan-kutipan pada buku yang dia pegang.

Kata mama, itu acara televisi lama yang diputar ulang setiap dini hari, jika televisi kehabisan acara.

Sejak berada di rumah kayu ini, delapan minggu lalu, Mama selalu menghabiskan waktu dengan menonton televisi, meskipun lebih sering televisilah yang akhirnya menonton mama.

Televisi dinyalakan hanya untuk membunuh kesepian yang begitu ingar di hari-hari mama. Sembari menanti seseorang yang mama pikir akan datang menyelamatkannya. Namun sampai acara televisi berubah menjadi gemuruh semut-semut rusuh, penyelamat yang mama tunggu-tunggu tak kunjung datang.

Yang menyebalkan dari rasa kehilangan adalah kebiasaan-kebiasaan yang kemudian harus ditinggalkan. Laki-laki botak di televisi itu berkata-kata lagi.

Otak kecilku berdenyut.
Kehilangan itu seperti apa, sih?

Apa seperti aku yang terus menerus merasa tidak nyaman karena Soul yang seharian ini tidak bergerak?

Aku tidak tahu nama perasaan ini. Tetapi aku hanya tidak suka melihat Soul yang berada tepat di sebelahku diam seperti itu. Rasanya seperti ada yang kosong.

Soul sangat aneh hari ini.
Dia seperti bekicot di belakang rumah kayu. Bergerak sangat lambat.
Tetapi jemarinya masih terkepal rapat. Aku tak perlu khawatir, dia masih menyimpan kekuatan.

Aku kembali memfokuskan diri pada suara laki-laki dalam televisi.
Kehilangan akan terasa ketika sudah merasa memiliki.

'Ruhi dan Soul'
Aku melafalkannya pelan lalu tersenyum. Kutelengkan kepala melihat Soul yang masih bergeming dan aku masih merasa khawatir.
Meski berasal dari kecebong yang berbeda, aku selalu merasa memiliki Soul. Kami tercipta sebagai satu paket, tak dapat dipisahkan.

Dua puluh delapan Minggu sudah kami berada di ruangan ini.
Sejak melekat serupa lintah hingga sebesar sekarang, punya rumah masing-masing dengan makanan yang cukup baik.

Semakin lekat aku menatap Soul, semakin juga aku yakin kelak Soul akan tumbuh jadi perempuan yang menyenangkan. Banyak orang yang akan menyukainya. Soul tidak pernah melepas senyum manis dari wajahnya. Dia juga begitu lincah sampai-sampai dibuatnya mama menangis dan tersenyum disaat yang bersamaan. Dan aku, Ruhi akan selalu melindunginya.

"Ruhi," akhirnya Soul memanggilku. Dia berputar pelan menghadap ke arahku dengan mata yang masih tertutup.
Bibirnya tersungging. Ganjil.

Ini kali pertama aku tidak menyukai senyum dari bibir Soul.

"Aku lelah," ucapnya kemudian. Kakinya yang meringkuk sedikit diselonjorkan.

Suara Soul terdengar lemah.
Padahal biasanya dia selalu bersuara dengan lantang, sampai dinding-dinding disini seperti bergetar dan Soul sering cegukan karena itu.

"Tidurlah lagi. Aku nonton bareng mama," ucapku pada Soul

Sudut mataku memerhatikan Soul ketika lelaki dalam televisi berkata
Kehilangan adalah cara Tuhan menjadikan kita kuat. Ketika kita kehilangan sesuatu, percayalah Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik dari itu.

Mama kehilangan teman-teman, keluarga juga masa mudanya, dan digantikan dengan kehadiran kami, Ruhi dan Soul dalam rahimnya. Apakah itu sesuatu yang setimpal?

Mama menyebut kami Ruhi dan Soul. Entah siapa yang dia sebut Ruhi. Entah mana yang dia namai Soul. Yang pasti aku dan Soul adalah separuh dari jiwanya, yang pada akhirnya menemani mama berjuang hidup hingga hari ini.

Kami akan menjadi anak-anak yang baik. Aku yakin yang hilang dari mama sekarang, bisa digantikan dengan kehadiranku dan Soul'.

"Suatu sore, aku pernah dengar dari acara televisi bahwa jika seorang ibu sedang mengandung lalu dia mengalami keguguran, maka dia akan dibuatkan rumah di surga Tuhan." Soul menarik napas berat.

Aku mengabaikan lelaki botak di televisi. Kembali menghadap ke arah Soul.

"Seperti yang selalu kamu bilang, hidup mama terlalu kelam." Soul memandang sekitar dengan kedipnya yang pelan. "Tapi apa kamu tahu, dia juga mengalami hari-hari yang sulit karena kita?"

"Mama diasingkan karena perutnya lebih cepat membesar dari perempuan hamil lainnya. Dia mengandung kita berdua sekaligus." Soul berputar menatap tali dalam genggamannya. "Ruhi, seandainya saja hanya salah satu dari kita yang ada di perutnya, dia akan bisa-"

"Berhenti bicara, Soul. Kamu ngelantur." Aku memalingkan wajah. "Lebih baik kamu tidur lagi."

"Ruhi, aku .... lelah."

"Baru delapan minggu kita merasakan kedamaian. Dua puluh minggu lalu, kita bisa selamat dari cairan super masam, ratusan pil-pil pahit dan pijitan yang memelintir perut mama, dan sekarang dengan entengnya kamu mau menyerah begitu saja?" Aku mulai emosi dengan semua ucapan dan tingkah Soul yang semakin aneh.

Soul memejam.
Bibirnya menyunggingkan senyum ganjil itu lagi.
Aku sudah bilang, kalau aku benci melihat Soul dengan senyuman seperti itu.

Soul berputar-putar pada tali yang sama melekat juga padaku.
Tubuhnya terlihat lebih ringan dari biasanya. Sehingga ia terlihat seperti sedang menari.

"Soul, berhenti!"

Bukan hanya berhenti berbicara Soul juga berhenti berputar setelah tali yang dia mainkan membelit lehernya.

Aku bergerak semampuku.
Menendang, meninju, menyikut, apapun yang bisa aku lakukan agar mama melakukan sesuatu.

Sejenak Soul membuka mulutnya, Membiarkan air ketuban memenuhi mulutnya. Dengan senyumnya yang lagi-lagi ganjil, dia berkata, "Ruhi, titip tangis yang keras buat mama, ya."

Aku masih bergerak acak.
Soul sudah tidak bergerak.
Dari luar kudengar mama menjerit hebat,
Aku tersedot pada sesuatu, seperti ada yang menarik rambut tipisku dengan kuat. Sebelum akhirnya kegelapan memelukku erat.



--------
856 kata (wattpad)

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Sep 30, 2021 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

YANG MEMILIH PERGI DAN ABADI (CERPEN)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora