Bab 5

11K 1K 7
                                    

Setengah jam yang lalu matahari sempurna tenggelam di kaki langit, merdunya lantunan surat Al-waqi'ah dari imam terdengar jelas di halaman masjid. Digo sedang shalat sementara aku memilih nangkring di dalam mobil yang terparkir di sebelah kanan pekarangan masjid.

Setelah menghabiskan waktu membeli segala macam bahan makanan, aku dibuat penat. Satu hal yang memperkuat argumenku, Digo adalah orang yang nyinyir dan selalu bicara. Aku pusing dengan segala pertanyaannya, ada yang berbobot, tetapi lebih banyak yang kacangan.

Aku mengikuti lantunan surah Al-waqi'ah yang dibacakan imam sembari menatap sekeliling masjid serta jalanan yang tidak begitu ramai. "Masjid Baiturrahman," gumamku mengangguk-anggukkan kepala, berusaha menyimpan nama itu di memori jangka panjang, tak luput aku menghafal jalanan agar tak tersesat nantinya.

Saat mengedarkan pandangan ke kiri mobil, tampak seorang pria tengah mengotak-atik motor. "Tikus kecil," ujarku bersorak riang. Aku melihat ke arah pagar masjid, ada seorang yang tampak celingak-celinguk.

Terkekeh kecil, aku memutar kamera di dasboard mobil ke arah luar. Aku membuka pintu mobil hati-hati, melangkah pelan tanpa menimbulkan suara. Rupanya rekan pencuri yang bertugas mengamankan suasana itu tak menangkap kehadiranku.

Sungguh amatir!

Dua langkah lagi, aku sampai di belakang pria itu. Satu ... dua ... "Kalau berbalik, kepalamu pecah," ucapku menaruh jari telunjuk di kepalanya. Pria itu tampak terkejut, ia mengangkat kedua tengan ke atas kepala sehingga kunci T yang digenggamnya jatuh ke lantai menimbulkan bunyi.

Aku menendang kunci itu ke samping mobil. "Mundur perlahan," instruksiku diikutinya, lelaki itu beringsut dalam posisi bersimpuh.

Aku menatap bayangan dari mobil, rekan pria itu tampak panik saat menyadari temannya hilang. Ia segera melajukan motornya ke dalam pekarangan masjid. Pria itu turun dari motor, memanggil temannya. "Anto! Di mana lu?" tanyanya.

Kutekankan jari telunjukku di kepala pria itu memberi peringatan. Saat aku menoleh ke kanan, pria bernama Anto itu menyerangku. Akh, sialan!

Aku langsung terlibat baku hantam dengannya, mendengar keributan, rekan Anto segera bergabung dalam kegiatan aku pukul itu. Terjadilah pertarungan sengit dua lawan satu. Dalam waktu kurang satu menit, kedua pria itu jatuh terduduk. Mereka mengerang kesakitan.

Bugh! Kutinju ujung bibirku sendiri.

Setelah itu jamaah keluar dari masjid, alangkah kagetnya mereka menemukan dua orang terbaring kesakitan. Aku meneguk ludah melihat tatapan itu, mereka yang bergegas mendekati kedua pencuri.

Memang benar, manusia cendrung menilai orang dari penampilan. Lihat saja, aku malah menjadi tawanan mereka. Tanganku kanan dan kiriku dipegang oleh ibu-ibu. Ck, musibah!

Aku melihat Digo keluar dari masjid dengan langkah tergesa, mungkin karena mengira sesuatu buruk terjadi padaku. Saat terpisah jarak beberapa meter, betapa hancurnya hatiku melihat tatapan Digo yang tak ada bedanya dari orang-orang. Sungguh! Aku benci tatapan itu.

"Mohon maaf Bapak Ibu, apa yang telah terjadi?" tanya Digo, memandangku sekilas.

Pencuri itu yang menjawab, "Motor kami hendak dirampas oleh wanita itu, untunglah kalian lekas datang. Kami berterima kasih."

Aku terkekeh pelan, "Cih, ternyata kau juga munafik," ucapku.

"Kalau begitu kita bawa saja ke polsek," ucap ibu di samping kananku.

Digo berkata, "Saya seorang-"

"Baik, kita ke polsek saja," potongku, tak mau Digo terbawa-bawa dengan kejadian ini. Satu hal lagi aku tidak ingin berhutang apa pun padanya. Aku juga benci ketika seseorang membawa kekuasaannya.

April yang Getir | ENDWhere stories live. Discover now