Chapter 34

98 22 25
                                    

Alena mengeratkan pegangan tangannya yang kini meremas jaket kulit yang Dendra kenakan. Kecepatan motor yang Dendra kendarai membuat Alena lebih memilih berpegangan pada kedua sisi jaket kulit tersebut.
Dan itu pilihan Alena, dia tidak ingin berlindung pada pinggang dan punggung Dendra yang nantinya akan membuat Alena memeluk pinggang dan punggung nyaman itu.
Punggung Dendra bukan buat dia, pikir Alena.

Dendra masih melajukan kembali motor besar merah menyala tersebut ditengah padatnya lalu lintas, sesekali dia lirikkan kedua bola matanya dibalik kaca helm full face ke arah spion, tentu saja untuk melihat keadaan Alena dibalik punggungnya.

"Sampai kapanpun dia tidak akan jadi milik gue." Batin Dendra saat melihat kedua iris jernih milik Alena, iris yang saat itu terlihat sedikit ada kesenduan dan kerinduan buat seseorang.

Kembali pandangan Dendra fokus ke jalanan, meliukkan body motor besarnya diantara banyak kendaraan yang melintas di depannya.
Satu persatu kendaraan roda dua atau pun lebih dia hindari dengan sangat apik, Dendra terpaksa melajukan kecepatan motornya sedikit diatas batas maksimum.
Karena dia tidak ingin gadis yang saat ini ada dibalik punggungnya akan menyesal nantinya, pesawat Devan take off dengan jadwal keberangkatan jam dua dini hari jadi apapun akan Dendra lakukan untuk bisa membawa Alena menemui Devan meski dia akan sangat terluka Dendra sungguh tak peduli.
.
.
.

"Dev, kamu gak nunggu Dendra dulu?" Tanya Margaret mama sambung Devan juga Dendra.
"Gak Ma, pesawat take off pukul dua dini hari, Devan gak ada waktu buat nunggu Dendra." Ucap Devan sembari merapikan kembali beberapa berkas dokumen kerjanya yang akan dia bawa ke Paris nantinya.
"Kamu udah yakin sama keputusan kamu? Kenapa gak Dendra aja yang meng-handle perusaan di sana?" Kali ini Permana mencoba meminta Devan untuk lebih berfikir jernih sebelum kepergian laki-laki itu.
Kembali Devan mengangguk pelan.

"Kamu gak pergi karena alasan pribadi kan Dev?"
Kali ini Permana mengajukan pertanyaan yang membuat Devan terdiam sejenak.

"Devan pergi dulu Pah, Ma."
Tanpa menjawab pertanyaan Permana Devan langsung memeluk erat kedua orang tuanya.
"Kamu hati-hati disana Dev." Ucap Margaret sebelum anak laki-laki nya itu melangkah keluar, Devan mengangguk pelan dan kembali memeluk Margaret dan juga Permana sangat erat.

Dia berjalan menuju sedan hitam mengkilat dan memasukinya ketika sopir keluarga membukakan pintu sedan tersebut. Kembali sorot mata hitam laki-laki itu menyiratkan keresahan yang mendalam.

Kali ini dia harus pergi, entah untuk berapa lama Devan bisa menghapus jejak Alena, gadis yang tiba-tiba saja datang di dalam hidupnya bersama hujan, oh ya jangan lupakan juga bersama secangkir latte yang hangat dan manis.
Sedan hitam mengkilat itu pun kini melaju meninggalkan halaman mansion megah bergaya eropa.
.
.
.

"Kenapa kita berhenti Dend?" Tanya Alena panik begitu Dendra menghentikan laju motornya di depan sebuah mini market 24 Jam.

"Kita berhenti sebentar, lagian pesawat Devan take off  masih tiga jam-an lagi."

Sorot mata Alena kembali terlihat cemas, bagaimana jika dia terlambat menemui Devan untuk yang terakhir kali? Atau setidaknya dia mungkin bisa menghentikan kepergian laki-laki yang sangat berarti dalam hidupnya.

"Lo tenang aja, rumah gue kurang sekitar satu jam-an. Jalanan juga udah mulai sepi di jam segini." Lanjut Dendra begitu dia melihat kekhawatiran dari sorot mata Alena.
Alena hanya mengangguk pelan menyetujui ucapan Dendra. Gadis itu turun dari motor lalu membenarkan sebentar rambut ikal kemerahan yang sedikit berantakan terkena angin dan helm tadi.

"Lo mau minum atau makan sesuatu?" Tanya Dendra sebelum dia melangkah memasuki mini market, Alena menggeleng pelan kemudian duduk di salah satu kursi yang telah disediakan mini market tersebut.

Hujan dan Alena [End]Where stories live. Discover now