JANJI SEPOTONG DONAT

57 7 0
                                    


Rembang 1995,

Rus melaju dengan cepat di jalan dua arah itu, tidak ia pedulikan bunyi besi yang bergesekan karena jalan berlubang yang ia lewati. Buatnya muatan itu lebih penting dari nyawanya. Kepercayaan sebagai sopir, yang baru ia dapat dua bulan lalu, setelah lima tahun menjadi kernet, sungguh menjadi ujian tersendiri buatnya. Bahkan untuk mencari kernet saja ia kesulitan, entah karena rasa iri teman-temannya, atau rasa takut dengan resiko jika bekerja dengannya.

Siapa tidak kenal, Rus, mantan begal truck, yang katanya sudah bertobat. Tapi namanya kehidupan jalanan, kepercayaan itu akan sangat sulit didapat saat kita punya segudang masalalu yang buruk. Kemarin tripnya Surabaya-Jakarta dua kali aman, dengan dibantu Harno, tapi sekarang Harno sedang berduka, bapaknya meninggal tiga hari lalu. Sementara angkutan besi ini harus segera dibawa ke Semarang, mau tidak mau Rus harus berangkat walau sendirian.

Tadi pagi saat muat di pelabuhan, ada beberapa mantan temannya yang mengajaknya berbuat curang. Dengan alasan dirampok, Bram dan teman-temannya mau mengambil besi-besi itu. Tentu saja Rus menolak, ia sudah lelah berbuat jahat. Ia lebih takut dengan murka Allah daripada dengan ancaman mereka. Terlebih pengorbanan Asti, istrinya, yang rela dikucilkan keluarga, demi menikahi pria bajingan di mata orangtuanya.

Terlebih senyuman Ririn, anak semata wayangnya yang selalu bilang bangga pada bapaknya, walau pun terkadang ia pulang hanya membawa uang tak seberapa.

"Bapak, nanti pulang dari Semarang belikan Ririn donat, ya. Seperti punya teman-teman, yang satu kotak isinya enam, katanya enak. Namanya Dundun donat," celoteh anak kecil yang mewarisi kecantikan ibunya itu.

"Dunkin donuts, nak. Bacanya dankin donat, kan Ririn sudah bisa membaca, hayoo ah, baca yang bener," sela sang Ibu, sambil menyiapkan pakaian untuk Rus.

"Iya, nanti janji, Bapak mau belikan yang isi dubelas, biar Ririn puas, makannya, jangan lupa doakan Bapak selamat sampai rumah lagi, ya," jawab Rus, sambil memeluk Ririn, erat.

"Tidak usah banyak-banyak kalau Bapak nggak punya uang, biar satu potong juga Ririn mau, asalkan dapat Dundun donat," kata Ririn dengan mimik serius.

"Iya, Bapak janji."

Asti hanya mengedipkan matanya, tanda tidak setuju dengan ucapan sang suami, karena baginya menjanjikan hal yang sulit ditepati itu akan menjadi seperti kebohongan yang disengaja terus menerus.

Hari itu Senin jam tujuh pagi ia berangkat ke pelabuhan, setelah muat langsung tancap, tanpa memperdulikan ajakan, Bram. Sayangnya, mantan sahabatnya itu tidak ingin melihat ia bertobat, bahkan ia nekat membuntuti Rus sampai ke Rembang, saat sedikit lagi dia sampai Semarang. Di Lasem yang keadaannya memamg sepi, ditambah sudah mulai gelap, hanya beberapa truck gandeng dan tronton yang lewat, sesekali bus malam yang mencari jalur cepat. Mobil carry silver milik Bram langsung menghadang, Rus.

Tanpa banyak bicara, ia dan lima temannya turun, dengan gerakan cepat, membawa senjata tajam memaksa Rus, untuk turun. Nekat ... Rus malah hendak menerobos mobil milik Bram. Baginya lebih baik mati mempertahankan kepercayaan dan harga dirinya, daripada menyerah dan mempermalukan diri sebagai pengecut.

Bram yang tidak menyangka kalau Rus senekat itu, ia pun meminta anak buahnya menyingkir, alhasil mobil carry yang menghalangi jalan truk pun terserempet beberapa meter. Naas, Rus kehilangan keseimbangan, truknya oleng dan tergelincir. Ia benar-benar tidak sadar dengan apa yang terjadi, semuanya tiba-tiba gelap dan ia tidak ingat apa-apa lagi.

Matanya terbangun saat sinar matahari begitu menyilaukan matanya. Melihat jam, sedikit kaget, melihat darah yang sudah mengering di pergelangan tangannya. Kepalanya pun terasa sakit, badannya sulit ia gerakkan. Ingat nasehat istrinya, agar ia terus bershalawat saat dalam keadaan apa pun, ia hanya bisa Istighfar berkali-kali sampai akhirnya ada kekuatan untuk mengingat kejadian semalam.

Ia berusaha bangkit, ternyata ia jauh ada di bawah jurang, yang entah siapa akan menemukannya. Ia berusaha terus memanjat, sampai hari sudah mulai siang, matahari tepat di atas kepalanya, rasa haus dan lapar begitu membuatnya tersiksa. Rasanya ingin menyerah ... karena ia tahu, ini semua pasti perbuatan Bram, andai pun ia selamat, entah hukuman apa yang akan ia terima nanti.

Sampai jam 13.00, Rus benar-benar merasa kepayahan, dia sudah menyerah. Bayangan Ririn dan Asti bergantian ada di kepalanya, tapi ia benar-benar tidak sanggup lagi.

"Ya Allah, jika memang harus mati hari ini, aku ikhlas, tapi kumohon, jangan biarkan Asti menanggung beban, dan Ririn dicemooh, karena perbuatanku, ampuni semua dosaku," ucap Rus terbata-bata. Ia benar-benar sudah dalam titik menyerah dalam hidupnya.

-------------------------------

Di sebuah pastori, seorang pria dengan jubah keagamaannya tampak selesai berdoa, dan tersenyum ke arah pria di depannya yang tengah membuka mata.

"Kamu sudah, bangun?" sapanya dengan lembut.

"Ya Allah, aku masih hidup? Masyaallah, Alhamdulillah, Ya Allah, aku masih hidup!" ucap Rus dengan pelan, suaranya seperti habis, ia ingin berteriak tapi tidak bisa.

"Ia kamu masih hidup, Allah masih mengasihimu," ucap pria itu lagi. Yang mengenalkan dirinya sebagai Romo Ignatius, atau biasa dipanggil Romo Tius. Ia menemukan Rus dua hari lalu, di sungai dekat jurang, yang sering ia lewati. Di situ ada perkampungan, tempat ia biasa memberitakan injil di pelosok kampung.

Rus pun menangis, ia menyadari semua itu hanya kasih karunia Allah. Ia teringat anak dan istri, tapi Romo berkata, agar Rus pulihkan keadaannya dulu. Terlebih mengingat Rus dicari polisi saat ini, karena besi-besi di dalam truknya menghilang. Polisi hanya menemukan truk kosong, tanpa sopir dan kernet, juga muatan.

Romo menyuruh Rus untuk minum, juga memakan beberapa suap bubur yang ia siapkan. Setelah merasa enak, Rus pun menceritakan semua kejadiannya, juga pertemuannya dengan Bram.

"Aku percaya kepadamu, Nak. Allah telah menuntunku untuk menemukanmu, aku tahu, pasti ada rencana-Nya yang tidak kita ketahui, sampai engkau bisa selamat terlempar dari ketinggian seperti itu."

Sudah jam dua belas siang, Romo pun mempersilahkan Rus untuk membersihkan diri, dan salat. Karena menurut Romo, berterima kasih kepada sang pemberi napas itu harus didahulukan, manusia hanya perantara.

Bersambung ...

Janji Sepotong DonatWhere stories live. Discover now