JANJI SEPOTONG DONAT

34 5 0
                                    

Part 2

Tidak terasa sudah hari Jumat, Romo Tius pun melihat Rus sudah bisa berjalan dengan baik, tangan dan kakinya pun sudah bisa dipakai bekerja. Tak ada tulang patah, atau luka serius, benar-benar mujizat Tuhan yang terjadi atas Rus.

"Rus, bukan Romo tidak senang kamu tinggal di sini, tapi kalau kamu di sini, pasti tidak akan leluasa kamu beribadah pada Allahmu. Dan pastinya akan timbul banyak pertanyaan dari umat di hari Minggu nanti."

"Iya, Romo, saya juga paham. Rencana malam ini saya mau pulang ke Surabaya, lihat anak sama istri. Biasanya malam banyak truk yang saya kenal, nanti bisa numpang," jawab Rus dengan sopan.

Namun Romo dengan cepat memberitahu Rus, kalau saat ini ia bahkan tidak bisa pulang apalagi bertemu keluarganya. Selain ia sedang dicari, keluarganya juga sudah pulang kembali ke Kediri. Mendengar penuturan sang Romo, Rus hanya bisa menghela napas berkali-kali. Saat Rus masih pingsan, Romo tidak membawa ke rumah sakit, karena sebelumnya tahu ada kejadian perampokan truk, ia pun menduga, Rus adalah sopir atau kernet dari truk tersebut.

Romo pun menjelaskan kalau ia langsung mencari tahu tentang Rus, lewat beberapa temannya yang dulu ia kenal. Beberapa saudara Romo juga kebetulan ada di Surabaya. Mereka pun langsung mendapat informasi tentang siapa Rus, dan keluarganya. Bagaimana masa lalu Rus, pria yatim piatu yang tengah belajar menjadi suami dan bapak yang baik buat keluarganya. Rus hanya mengangguk, dia paham kalau Romo juga pasti punya beban tersendiri saat memutuskan menolong dan menyembunyikannya.

"Ini ada uang delapan puluh ribu, kamu pakai pegangan sampai kamu dapat pekerjaan. Atau kalau kamu mau menanggung resiko, pulang ke Surabaya, jelaskan pada bosmu. Kemungkinan ganti rugi atau penjara," jelas Romo. Sepertinya ia pun ragu dengan pilihannya. Karena secara nurani ia tahu Rus tidak bersalah, tetapi secara hukum, ia harus bertanggung jawab.

Rus hanya bisa berdiam sejenak, dan ia mengambil keputusan kalau ia akan ke Cirebon, tempat salah satu orang yang ia yakin akan memberinya solusi. Romo pun hanya bisa mendoakan agar Rus mendapat jalan terbaik. Apa pun keputusannya, Romo tidak bisa ikut campur. Dia hanya melaksanakan tugasnya, selebihnya keputusan masing-masing manusia.

Setelah berpamitan, dan mendengar doa dari Romo, Rus hanya bisa menghapus air matanya.

"Romo, saya janji, kalau hati saya sudah siap, akan datang ke Surabaya dan bertanggung jawab atas semua ini. Tapi saat ini, bukan mau lari dari masalah, saya hanya takut, kalau nanti punya dendam yang tidak bisa saya tahan."

Romo hanya mengangguk, sekali lagi ia paham dengan situasi Rus, andai ia serahkan diri, tetap ia akan disalahkan, dan tuduhan penggelapan muatan dengan masa lalunya yang suram sudah pasti jadi makanan empuk polisi, atau pun  jaksa penuntut, kelak.

Jumat, sehabis Maghrib, Rus pun berbekal uang dan dua lembar celana, beberapa baju, pemberian Romo, ia pergi. Tiba di jalan raya, ada colt yang memuat kentang dan cabe juga beberapa sayuran, mau menuju Semarang, ia pun langsung menumpang. Dua jam perjalanan, ia pun tiba di terminal Terboyo. Mencari mushola untuk salat Isya juga sekalian istirahat, karena ia harus menunggu jam duabelas ke atas kalau mau menumpang truk. Tanpa KTP, atau SIM, juga tanda pengenal lainnya, Rus benar-benar harus hati-hati, takut ada razia.

Sampai di mushola di area terminal, ia segera salat, perutnya masih kenyang, tapi ia ingin minum kopi. Memesan satu gelas kopi hitam dan satu batang rokok, ia benar-benar tidak habis pikir dengan nasibnya kini. Entah apa yang Allah rencanakan untuk hidupnya ia pasrah, atau lebih tepatnya menyerah.

Andai membunuh itu tidak dosa dan dibolehkan, rasanya Rus ingin mencari Bram dan membunuhnya. Dan andai tidak ingat akan Ririn, ingin rasanya mengakhiri hidupnya. Dia hanya menyesal, kenapa tidak mati saja saat jatuh ke jurang, kenapa Allah malah menyelamatkannya, bahkan tanpa ada luka berat. Saat merasakan kalau Allah tidak adil atas hidupnya, walau ia sudah berubah. Tiba-tiba ada seorang pria menegurnya.

"Mau ke mana, Mas?" tanya pria berbaju rapi dengan setelan necis. Agak mengherankan malam-malam begini lihat orang dengan style kantoran.

"Mau ke Cirebon, pak, tapi menunggu agak malam, mau cari tumpangan truk," jawab Rus dengan jujur.

"Kenapa tidak pakai, bus? Bukankah sudah di terminal, bus banyak, 24jam lagi," ucap pria itu sambil mengisap rokoknya.

"Tidak punya uang, pak. Kebetulan juga saya mantan kernet, truk, jadi banyak punya kenalan," kata Rus lagi sambil menyalakan rokok yang ditawarkan si Bapak.

Pria itu sudah berumur sekitar lima puluh delapan tahun, sementara istrinya masih tiga puluhan. Bapak itu bicara terus tentang tata kota, kebijakan presiden dan segala cerita yang tidak ia pahami. Rus hanya manggut-manggut, sebenarnya enggan mendengar cerita si bapak, tapi mau pergi pun tidak enak.

"Ini saya kasih kamu uang, naik bus saja, ada adik saya di Cibinong. Kamu sepertinya sedang ada masalah, pergi saja ke sana, dia bisa buatkan kartu identitas baru buat kamu," kata si bapak, membuat Rus kaget. Apalagi ia memberikan tujuh lembar uang lima puluh ribu, dan satu lembar kertas dengan alamat jelas.

"Ambil dan cepat naik bus, jangan sampai saya berubah pikiran, pergunakan dengan baik," ucapnya lagi sambil berdiri. Istrinya yang sepertinya habis mengantar pembantu mereka mengajak pulang.

"Ta-tapi ini banyak sekali, bapak pun tidak kenal siapa saya, dan bagaimana jika saya orang jahat?" jawab Rus terbata-bata.

"Aku tahu kamu orang baik, Tuhan menjagamu, cepat naik bus, sebentar lagi ada razia KTP," bisik si bapak yang tidak menyebutkan namanya sepanjang percakapan tadi. Lagi-lagi istrinya hanya tersenyum mengiyakan perkataan sang suami.

Rus bergegas membayar kopi, mengambil air minum kemasan juga sebungkus rokok. Ia pun naik bus jurusan Jakarta, sambil melihat alamat yang diberikan si Bapak. Setelah membayar tiket seharga 7.500, ia pun memilih duduk di belakang, agar bisa merokok.

Tak banyak penumpang, dalam satu bus dengan kapasitas limapuluh sembilan orang itu hanya terisi duapuluh orang. Rus yang belum pernah naik bus jarak jauh, merasa sedikit mual saat bus mulai berjalan. Rasanya beda kalau yang membawa  kendaraan ia sendiri, biar jalan berlubang pun, tidak masalah.

Mencoba tidur dengan tetap berjaga-jaga, karena ia tahu, ada orang-orang yang naik dari Weleri, salah satunya pasti pencopet dengan gerak-geriknya. Ah ... Rus lagi-lagi mengela napas, masa lalunya sungguh terlalu kelam, sampai ia bisa memahami hal-hal yang mungkin bagi orang lain hal biasa.

"Turun mana, Mas?" tanya pria yang duduk di sampingnya, sepertinya ia seumuran Rus. Dia baru saja naik dari Pemalang.

"Cibinong, Mas," jawab Rus dengan ketus, ia mengantuk dan sedang tidak ingin mengobrol.

Jam enam pagi, bus pun memasuki Pasarebo, Rus pun turun, pria itu juga turun. Membuat Rus sedikit curiga, ia pun cepat-cepat mencari angkutan yang bisa membawanya ke alamat saudara si Bapak. Sudah tertulis, nomor-nomor angkot yang harus ia naiki.

Pria itu pun naik bus yang sama, saat ia turun, ia pun ikut turun. Rus lama-lama kesal tapi tidak mau cari masalah, jadi hanya menahan diri. Tidak disangka, saat naik angkutan terakhir, ia pun menaiki angkutan yang sama. Tidak sabar lagi, di dalam angkot yang kebetulan tidak ada penumpang lain, ia pun mengancam si pria itu.

"B*jingan kamu, dari tadi ikutin saya terus, maksud kamu apa!" bentak, Rus, dengan kasar.

"Kamu salah orang, Mas, tidak ada yang ikuti kamu, satu lagi, saya baru habis bunuh orang, dan tidak ragu lagi untuk bunuh cecunguk model kamu," balas pria itu tidak kalah emosi.

"Kalian turun mana?" teriak sopir angkot dengan logat bataknya.

"Jati Raya," ucap Rus dan pria itu bersamaan, keduanya pun saling lihat, dan kaget.

"Kalau mau berkelahi jangan di angkot gw, ntar gw malas urusan sama polisi. Diam tenang gw antar lu pade ke alamat yang lu tuju. Ke rumah Irwan Ngampel, kan?" ucap si sopir sambil tertawa.

Rus dan pria yang mengenalkan diri bernama Bayu itu pun tertawa malu. Mereka pun saling paham kalau keduanya sedang bermasalah.

Bersambung ...

Janji Sepotong DonatWhere stories live. Discover now