04. Awal Bahagia atau Duka?

3.8K 514 79
                                    

Kejadian yang menyebabkan hawa di kediaman si kembar menjadi agak kelam, mulai terlupakan seiring berjalannya sang waktu. Meski tidak ada kata maaf yang terucap dari Zidan sebagai pertanggungjawaban atas segala perlakuan kasarnya. Membiarkan semua kembali seperti biasa tanpa ada kata maaf. Sudah biasa, Zidan memang bukan tipikal orang yang gampang melontarkan maaf.

Semua baik-baik saja sampai Zidan mengumpulkan sepasang anak kembarnya di ruang keluarga. Matahari baru hendak tenggelam, tetapi sang ayah sudah berada di rumah. Lion mencium aroma sesuatu yang tidak ia harapkan. Didukung oleh raut wajah Zidan yang berbeda dari biasanya.

"Ayah sebenarnya sudah menikah. Dari sebulan yang lalu."

Dua kalimat itu sangat tidak pas dijadikan kalimat pembuka. Sepasang anak kembar yang ada di sana langsung dibuat terkejut bukan main. Sungguh, mereka tidak bisa berkata-kata. Pikiran mereka mendadak kosong. Bisa-bisanya Zidan berujar demikian dengan sangat tenang dan tanpa rasa bersalah sama sekali.

Leo mungkin sudah setuju untuk memberi izin pada sang ayah, tetapi bukan berarti ia menerima diperlakukan begini. Zidan sama saja berbohong pada mereka. Lantas apa gunanya memohon persetujuan kalau pernikahan sudah dilaksanakan. Untuk pertama kalinya, Leo benar-benar kecewa dengan keputusan Zidan.

Sementara Lion, jangan ditanya lagi betapa kesalnya anak itu. Emosinya hampir meledak jika Leo tidak setia menggenggam lengannya. Memberi isyarat untuk tidak meledak terlebih dahulu.

"Kenapa? Kenapa baru bilang sekarang?" tanya Leo. Terdengar jelas ada emosi yang ikut serta terlontar.

"Hamil. Sudah 3 bulan."

Leo dan Lion makin dibuat kesal oleh pernyataan sang ayah. Bagaimana bisa pria yang sudah dewasa seperti Zidan melakukan kesalahan seperti itu. Mengulang lagi kesalahan yang pernah ia lakukan belasan tahun lalu. Mereka sungguh tidak mengerti bagaimana pikiran Zidan bekerja. Mereka sulit sekali memahami apa yang ada di dalam kepala pria tersebut.

"Ya udahlah. Bawa aja ke sini. Mau nolak juga nggak bisa," ujar Lion pasrah. Leo kontan menengok. Tidak menyangka Lion akan memberi respon setenang itu. "Aku tadi kaget, sih. Tapi setelah dipikir-pikir aku kayaknya nggak perlu kaget lagi. Ayah, kan, memang nggak pernah dengerin apa kata anak-anak Ayah. Selalu melakukan apa yang menurut Ayah benar. Nggak pernah peduli pendapat kita."

"Ayah nggak punya pilihan lain," sahut Zidan. Berusaha untuk tetap tenang meski Lion mulai menggoyahkan kesabarannya.

"Iya, deh. Apa kata Ayah aja."

"Lion!" Zidan kontan meninggikan nada bicaranya. Ia menatap Lion tajam. Seperti hendak menguliti pemuda itu hidup-hidup. "Sebenarnya apa yang bikin kamu sampai begitu nggak setujunya kalau Ayah punya istri baru? Kenapa kamu begitu keras?"

Kekehan rendah terdengar. Lion menarik napas dalam-dalam. Tebakannya soal sang ayah yang tidak tahu-menahu perkara alasan dibalik ketidaksetujuannya ternyata benar. "Menurut Ayah kenapa?"

"Lion, Ayah serius tanya sama kamu."

"Karena aku takut!" Kini giliran Lion yang meninggikan nada bicara. Ia meremat lututnya kencang, masih dengan posisi duduk menghadap Zidan. Sementara Leo di sampingnya menoleh dengan raut terkejut. "Kalian semua mungkin udah lupa. Tapi aku, aku nggak akan pernah lupa sampai kapan pun. Wanita yang pertama kali Ayah bawa ke rumah, memperlakukan aku dan Abang dengan sangat buruk. Terlebih aku. Aku pernah dipaksa minum pembersih lantai karena mergokin dia mau mencuri uang Ayah. Tapi akhirnya malah aku yang dimarahin habis-habisan. Dibilang nggak punya otak karena minum pembersih lantai."

Mata Lion merah. Emosinya tidak bisa terkendali. Sebentar lagi mungkin ia akan menangis. Kenangan lama itu amat menyakitkan untuk diputar lagi dalam ingatan.

Seans ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang