25. Sebuah Warita

888 109 3
                                    

Pakaian kotor teronggok begitu saja karena Arya melarangku pergi ke kali. Ia tak suka interaksiku dengan Pranaja. Aku pun menyibukkan diri dengan memasak janggel, makanan yang terbuat dari jagung muda. Aku tak piawai dalam hal memasak, tapi sekonyong-konyong tanganku amat lihai meracik bumbu dan mengiris jagung-jagung kecil itu. Aku menemukan sisi pada diriku yang lain, diri yang sebenarnya hidup jauh di masa lampau.

"Istriku pintar sekali memasak," puji Arya setelah menelan sesuap masakanku.

"Benar. Aku bangga padamu, Nak," timpal Biyung.

"Terima kasih. Syukurlah kalau Biyung dan Kangmas menyukainya." Aku ikut duduk di tanah dengan alas tikar pandan. Ku-puluk sejumput nasi dan janggel yang langsung membuat lidahku menari kegirangan. Diam-diam aku membanggakan diri yang telah pandai memasak. Namun aku tersadar bahwa kemampuan itu berasal dari tangan seorang Nayaviva.

Selesai sarapan, Arya mengajakku ke dalam bilik kamar sementara Biyung pergi ke pasar bersama tetangga.

"Aku ingin tahu peristiwa yang bakal terjadi pada Majapahit di waktu mendatang." tanya Arya tanpa basa-basi.

Ingatanku akan sejarah yang pernah kupelajari mengabur. Dulu aku menggemari kisah-kisah kerajaan dan segala dongengnya. Aku memutar otak untuk membuka gumpalan kabut yang melintangi ingatanku perihal sejarah Majapahit.

"Kuharap, kau tidak berniat mengubar garis takdir setelah mendengarnya," jawabku sembari memegang kepala yang pening, ia mengangguk.

"Aku tidak begitu ingat, tapi yang pasti akan ada perang saudara antara suami Kusumawardhani, yaitu Wikramawardhana, dengan putra Baginda Hayam Wuruk dan selirnya, yaitu Aji Rajanatha atau Bhre Wirabhumi," jelasku. Arya membelalakkan matanya terkesiap.

"Jadi menantu Prabu Hayam Wuruk nanti adalah Wikramawardhana? Putra dari Singhawardhana dan Dyah Nertaja?" tanya Arya memastikan. Aku menjawabnya dengan mengangguk.

Hening sejenak sebelum ia melontarkan pertanyaan lagi, "Dan Prabu akan mempunyai putra bernama Aji Rajanatha yang kemudian akan menjadi Bhre Wirabhumi?"

"Ya. Perang saudara itu bernama Perang Paregreg yang bakal terlaksana setelah Prabu Hayam Wuruk mangkat. Sang Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama yang memegang takhta Majapahit Barat kala itu khawatir takhtanya akan direbut oleh Bhre Wirabhumi yang mulai membentuk pasukan di Kedaton Timur. Selama perang, kerajaan mengalami kemunduran yang berdampak besar pada kelangsungan Majapahit." Aku menghela napas sebelum melanjutkan. Sungguh, aku getir membayangkan peristiwa yang memadamkan kilauan Majapahit itu.

"Lalu, Wikramawardhana berhasil mengalahkan Bhre Wirabhumi, dengan mengutus Narapati untuk memenggal kepala adik iparnya itu kemudian dibawa ke hadapan Wikramawardhana. Walau perang telah usai, kemakmuran Majapahit semakin surut."

"Apakah ada pemicu lain yang memundurkan Majapahit?" Arya mencondongkan tubuhnya ke arahku, menyimak dengan saksama penjelasanku yang belum tentu benar sepenuhnya ini.

"Majapahit mengalami kemunduran karena banyak sebab, diawali dengan Mahapatih Gajah Mada yang mangkat pada tahun 1364 Masehi, disusul mangkatnya Prabu Hayam Wuruk pada 1389 Masehi, Perang Paregreg yang mengobar, serta peperangan dengan Kesultanan Demak."

"Waktu aku lahir di dunia, wilayah yang kita tinggali ini menjadi negara kesatuan berbentuk Republik yang bernama Indonesia. Pernah dijajah oleh bangsa Belanda dan Jepang sebelum merdeka." Aku memegang dagu, masih berusaha keras untuk mengingat sejarah kerajaan yang tengah kupijak saat ini. "Sebelum dijajah, berdiri kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Arya menunduk masygul, lalu berkata," Aku tidak menyangka kelak Majapahit benar-benar runtuh. Apakah Majapahit yang menjadi kerajaan Hindu-Buddha terakhir?"

"Hm... kalau kerajaan Hindu-Buddha memang Majapahit yang terakhir. Kalau yang coraknya Hindu masih ada Kerajaan Blambangan yang terakhir di Pulau Jawa. Kerajaan itu merupakan masa depan tempat tinggal kita—Wirabhumi, yang sekarang masih jadi kerajaan vasal. Wirabhumi akan bangkit pada akhir era Majapahit menjadi Kerajaan Blambangan. Pusatnya akan berada di Panarukan, Lumajang, Kedaton Baluran, kemudian Macanputih." Aku pun mengakhiri penjelasanku sebelum mengerutkan kedua alis karena tercenung dengan ilmu sejarah yang mengalir begitu saja dari bibir. Padahal tadinya ingatanku mengabur bak dihalang oleh asap pembakaran yang hitam.

"Kapan Majapahit benar-benar runtuh?" Pertanyaan Arya membuatku memutar otak lagi, mencari-cari memori yang terselip.

Hampir satu tahun aku tinggal di negeri antah-berantah ini tanpa membawa buku yang bisa mengasah otakku. Jadi wajarlah kalau aku melupakan pelajaran sejarah tentang kerajaan-kerajaan Nusantara meski aku sempat menggemarinya.

"Ah ya! Aku ingat, Majapahit benar-benar berakhir pada tahun 1527 Masehi, akibat kalahnya Dyah Ranawijaya yang memberontak pada Demak. Waktu pemberontakan itu terjadi, Majapahit sudah menjadi kadipaten bawahan sejak dipimpin Bhre Kertabhumi."

Pembicaraan itu buyar ketika Biyung membuka pintu kemudian masuk rumah dengan tergopoh-gopoh. Aku dan Arya pun menghentikan perbincangan berat yang tengah kami selisik. Samar-samar aku mendengar kebisingan di halaman.

"Ada pemuda aneh yang dituduh mencuri kuda milik Patih!" kata Biyung.

Kami bertiga segera melesat keluar rumah. Benar saja, ada seorang pemuda yang dipegang oleh rāma. Di belakangnya, banyak warga yang gaduh menghakimi lelaki itu.

Dari postur tubuhnya, pemuda itu sangat familier.

"Itu Pranaja!" teriakku sambil menerobos kerumunan itu. "Ya ampun Pranaja! Kepalamu bisa dipenggal!"

Asmaraloka JawadwipaWhere stories live. Discover now