14

992 157 17
                                    

Haiii!!! Lama yaaa

Terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca bahkan sampai memberi vote dan komentar di FF ini.. Maaf ga bisa balas komentar kalian satu-satu, tapi selalu aku baca kok

Jangan bosen-bosen sama FF ini yaa :)))

Happy reading~

...

Chanyeol dan Sehun tidak pernah datang lagi. Hampir satu bulan, Hanya satu dua pesan yang mereka kirim menanyakan keadaan Jaemin, lebih seperti basa-basi tidak penting. Jaemin malas menjawabnya.

"Hari ini hari terakhir ujian, 'kan?"

Jaemin menyimpan ponsel, tadi ada pesan dari Sehun, ia menoleh menatap Jaehyun yang tengah menyetir. "Ya. Akhirnya aku tidak harus belajar lagi." Senyumnya tersungging.

"Jangan lupakan ujian masuk universitas."

Jaemin mendengus. Sudah beberapa kali mereka membahas ini. Seperti sebelumnya, Jaemin masih berpikir untuk bekerja setelah lulus. Bahkan ia sudah berpikir untuk mencari kerja besok.

"Aku lapar." Untuk sekarang, Jaemin tidak ingin merusak suasana.

Tidak lama, Jaehyun memarkirkan mobilnya di depan restoran Italia.

"Jangan di sini. Aku ingin makan nasi."

"Di sini juga ada nasi kalau kau lupa." Jaehyun melepas sabuk pengamannya, "cepatlah. Aku juga lapar."

Mau tidak mau, Jaemin turun. Jika dulu, ia tidak pernah berpikir untuk makan di restoran mahal sekalipun. Dulu ada Sehun, uangnya banyak. Lalu ada Jaehyun, Jaemin cukup tahu bagaimana mapannya laki-laki itu.

Entahlah, sekarang Jaemin lebih perhitungan, sangat hati-hati dengan setiap uang yang ia pakai, meski Jaehyun masih bersamanya.

"Jae," Jaehyun sudah memusatkan perhatian padanya, tapi bibir Jaemin terasa kelu. Ia tidak yakin mereka akan baik-baik saja, maksudnya, hubungan mereka beberapa waktu ini terlalu mulus. Untuk ukuran backstreet menyimpang tentu saja.

"Kenapa? Mau menambah pesanan?"

"Tidak."

Beberapa saat terdiam, Jaemin berusaha merangkai kalimat sebaik mungkin. Ia juga bingung mau mulai dari mana. Begitu banyak yang ingin ia bicarakan, hal-hal yang mengganggu pikirannya selama ini.

"Aku tidak lagi berteman dengan Minjung."

"Bukankah kalian satu kelas? Bagaimanapun keadaannya, kalian teman satu kelas."

"Aku serius."

"Kau pikir aku bercanda?"

Hilang sudah keberanian Jaemin. Wajah Jaehyun sekarang terlalu datar, baru pernah Jaemin berhadapan dengan Jaehyun yang seperti ini.

"Aku mengerti apa yang akan kau bahas." Jaehyun menggenggam tangan Jaemin erat, "kita makan dulu, ya?"

Jaemin mengangguk.

Aku takut. Keadaan yang baik-baik saja seperti ini justru membuatku semakin takut. Tuhan, Kau tidak sedang merencanakan sesuatu yang buruk, 'kan?

.

.

Hubungan Jaehyun dan keluarganya merenggang. Mereka memang tidak menyinggung apapun mengenai kekasih yang pernah Jaehyun sebut pada ibunya. Tapi dari tatapan mereka, dan sikap yang acuh tak acuh, Jaehyun tahu mereka telah mengetahui sesuatu. Entah itu hanya sebagian atau semuanya.

Jaehyun merasa semakin jauh dari keluarganya, terutama Minjung.

"Samchon!"

Kepulangan Jaehyun selalu disambut hangat oleh keponakan yang belum lama ini tinggal bersamanya.

"Jisung, habiskan makananmu dulu."

Pertengkaran ibu dan anak itu menjadi hiburan tersendiri bagi Jaehyun.

"Ini apa?" Perhatian pertama Jisung tentu saja apa yang Jaehyun bawa.

"Es krim." Ia berjongkok, menyamakan tingginya dengan si kecil, "Jisung mau?" tanyanya yang diangguki cepat. "Tapi habiskan makananmu dulu. Atau Eomma akan marah." Jaehyun menirukan ekspresi Sooyoung saat kesal. Dahi yang mengerut dalam dan mata menatap tajam.

Jisung tertawa.

"Apa yang kau ajarkan pada anakku?" Sooyoung mengambil kantung plastik dari tangan Jaehyun. "Mandi sana. Kau bau."

Jaehyun mengusak rambut Jisung sebelum berdiri.

"Sudah makan malam?"

"Sudah."

"Astaga. Apa gunanya aku bertanya." Sooyoung meraih tangan Jisung, lalu pergi dari sana.

Jaehyun terdiam sampai ibunya datang.

"Makan di luar lagi? Sesekali makanlah di rumah. Atau kau bosan masakan Eomma?"

.

.

"Rajin sekali belajarnya." Jaehyun meletakkan sepotong pizza dan es krim choco mint di meja belajar Minjung.

"Istirahatlah sebentar. Kau baru selesai ujian."

"Terima kasih, Samchon." Minjung meraih pizzanya, memakannya tanpa menatap Jaehyun.

Jaehyun menghela napas pelan. Ia duduk di tepi ranjang Minjung, menatap punggung keponakannya dalam diam. "Bagaimana ujianmu? Apa ada soal yang sulit?"

"Biasa saja."

Aneh sekali rasanya. Minjung yang selalu merajuk padanya dan menceritakan ini itu sekarang menjadi diam. Hanya berbicara seperlunya dan tidak lagi peduli padanya.

"Minjung, apa Samchon melakukan kesalahan padamu?"

Minjung berbalik, Jaehyun terkejut melihat mata keponakannya berkaca-kaca. Tanpa berkata apapun Jaehyun beranjak, membawa Minjung dalam pelukannya.

"Samchon, itu tidak benar, 'kan? Kau dan Jaemin hanya berteman, 'kan?"

Hati Jaehyun seperti tersayat mendengar tangis keponakannya.

.

.

Jaemin sibuk memakan keripik kentangnya, matanya tertuju pada layar datar yang menampilkan acara komedi yang sama sekali tidak membuatnya tertawa.

Kenapa semua terasa membosankan?

Jaemin mengambil ponsel, menatap layarnya yang tidak menunjukkan notifikasi apapun. Kenapa Jaehyun tidak membalas pesannya?

Dengan kesal, Jaemin menyingkirkan bungkus keripik kentangnya yang sudah habis. Perutnya sudah kenyang, tapi mulutnya tetap ingin mengunyah sesuatu. Apa ia harus makan lagi? Masih ada beberapa bungkus snack yang Jaehyun belikan.

"Tidak. Jangan makan lagi atau kau akan menjadi babi, Jaemin."

Jaemin menatap perutnya. Apa Jaehyun akan tetap menyukainya jika ia gendut?

Ting tong

Apa itu Jaehyun? Tidak mungkin semalam ini.

"Papa."

Jaemin termenung, sementara dihadapannya, Sehun tersenyum.

"Apa Papa mengganggu istirahatmu?"

Jaemin menggeleng. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Kau tidak mengizinkan Papa masuk?"

Jaemin masih diam, berdiri menghalangi pintu. Ia menatap Sehun bergantian dengan koper besar yang dibawanya.

"Jaemin, Papa pulang."

Apa ini mimpi. Jika iya, tolong jangan bangunkan aku.

TBC


Just Call It Ours (2Jae)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang