O U R _ L A S T [9nd]

1.8K 128 26
                                    

Our Chalongrat [JaFirst]
...

Langit Bangkok tampak mendung sepenuhnya.

Pagi yang suram dan biru.

Langit seakan ikut menangisi kepergian dua permata yang telah dengan hebat melawan kerasnya takdir. Gemuruh dan angin dingin sedikit menyamarkan gema isak tangis di tengah pemakaman kota.

Tempat paling damai itu hampir tertutupi dedaunan kering yang luruh di sapu angin serta papan bunga tanda bela sungkawa.

Pemakaman Ja di laksanakan satu jam setelah pemakaman First.

Namun Tuan Novsamrong tampak bergeming hingga pemakaman dua remaja itu telah di laksanakan. Bahkan para pelayat telah meninggalkan tempat sedari puluhan menit yang lalu.

Terlalu tiba-tiba, sangat.

Nisan setinggi lutut orang dewasa tepat di hadapannya seakan kurang mampu menyadarkan Tuan Novsamrong bahwa First sudah tidak ada lagi.

“Turuti kata-kata ku, atau pergilah dari rumah ini.”

Bahkan percakapannya bernada tinggi pada saat pertikaiannya dengan sang putra masih sangat segar di ingatan.

Pho memang menyuruhmu pergi First, pergi dari rumah bukan pergi dari dunia ini.

Aku menyesali segalanya.

“Tuan Novsamrong.” Suara halus seorang wanita mengacau lamunan sang empu nama.

Tuan Novsamrong menunduk sekilas, saat mendapati keberadaan nyonya Suansri di sebrang pusara First.

“Terima kasih Tuan.” Wanita lemah lembut itu mengatupkan kedua tangan di depan dada. “Terima kasih telah mengijinkan dan memberikan tempat untuk pemakaman Ja di samping pusara First.”

Kedua netra Tuan Novsamrong kembali berair karena suara nyonya Suansri yang penuh getar dan terdengar pilu. “Tak ada lagi alasan bagiku untuk bersikap jahat nyonya.” Ia menggeleng, “beribu maaf ku untuk Ja.”

Keputusan paling tepat dalam hidup Tuan Novsamrong saat lisannya dengan spontan menyetujui niat baik nyonya Suansri untuk membuat remaja itu agar tetap selalu bersama—selamanya.

Jika Tuan Novsamrong amat sedih sebab kehilangan putra semata wayangnya, lalu bagaimana dengan nyonya Suansri? Wanita itu tak pernah membeda-bedakan antara Ja dan First. Kedua putranya yang secara bersamaan meninggalkan nya.

Air mata telah kering tak tersisa di rasa, namun pesakitan tetap melekat pada relung.

Sudahkah kalian bahagia?’

Nyonya Suansri membekap mulutnya erat ketika Tuan Novsamrong tampak mengecupi nisan First dengan isak tangis.

Kehilangan adalah hal paling menyakitkan.

“Datanglah sesekali di mimpi mae, sayangku. Wanita tua ini pasti akan selalu merindu,” ucapnya lirih. “Mae akan selalu mengunjungi kalian.”

Our Chalongrat

Phi rasa ... phi juga tak lagi memiliki tempat untuk pulang, First.” Perasaan aneh kian pekat mengacau.

Tak butuh waktu lama saat Ja pada akhirnya paham segalanya. “Mengapa bisa seperti ini First? P-phi—”

Phi tak seharusnya menyusul ku,” kekeh First saat pusara bertabur bunga di sana mulai di kacau angin.

Ja menyentuh dadanya, “pantas sudah tak sakit lagi.”

First sekedar mengulas senyum tipis, kedua matanya masih terlalu fokus memandang ke arah ayahnya yang tampak seperti manusia tanpa tujuan hidup.

Our Chalongrat [JaFirst] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang