3 ; Langkah kehadiran

40 30 8
                                    

Pagi buta sudah menjadi waktu untuk Shamara bangun. Membuat sarapannya sendiri juga bekal makan untuk pujaannya, sudah hal utama pagi hari. Ia termasuk dari golongan perempuan rajin. Walaupun suka dengan kasur kos-kosannya, Shamara lebih suka Candra. Bisa di sebut Candra menjadi alasan Ia menjadi lebih rajin. Tidak apa-apa mencintai Candra, ada untungnya juga.

Entah karena apa, hari ini Shamara merasa badannya lemas. 29 °C tertera pada notifikasi ponselnya. Termasuk cuaca yang hangat tapi yang Ia rasakan hari ini sangat dingin. Air yang Ia pakai saat mandi tadi pun juga terasa dingin.

"Airnya dingin seperti Candra.", Itu yang ia ucapkan saat membasuh mukanya, bangun tidur tadi pagi.

Shamara memiliki tubuh yang sulit sakit. Masuk angin pun jarang sekali. Walaupun sangat capek, Ia jarang sekali sakit. Namun jika sekali sakit ya begitu, seperti noda yang membandel. Ia berharap Ia hanya demam biasa. Jangan sakit.

Setelah memakai hoodie yang menghangatkan tubuhnya, Ia menenteng tasnya yang sudah siap dengan segala keperluan kelas juga bekal Candra. Demi apapun Shamara merasa hari ini, hari tak bagus untuknya. Pertama, tubuhnya hari ini demam. Kedua, hari ini kenapa begitu dingin. Ketiga, Irma tak bisa memberi tumpangan, dengan terpaksa ia akan naik bus trans Jogja. Tidak apa-apa, tidak ada salahnya. Itu juga menjadi salah satu kebiasaan kalau Irma tak menjemput. Jika tidak bus trans Jogja, Ia juga biasa ojek online. Mudah kan.

"Lemas sekali.", Shamara menginjakan kakinya dihalaman besar universitasnya. Berjalan tak seperti biasanya. Yang biasanya tersenyum lebar dengan bayang-bayang akan bertemu Candra. Sekarang berjalan gontai dengan bayang-bayang hal yang sama. Kakinya terus melangkah, sedikit berat dari hari-hari biasa.

Shamara masih setia melangkahkan kakinya. Dengan netra yang memutar menatap sekitarnya. Tak sengaja ia melihat Laras. Ia sempat tersentak, apa tidak salah lihat. Laras mantan kekasih Candra yang jelas-jelas bukan anak kampus ini, kenapa disini. Detik berikutnya ia juga menemukan pujaannya, Candra yang berjalan cepat kearah Laras dan menarik pergelangan tangan Laras. Shamara yang penuh dengan rasa penasaran pun, mengikuti arah jalan mereka.

Shamara tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi bisa dilihat jelas, jika muka Candra menunjukan ketidaksukaan kepada Laras. Gerak gerik tubuh Candra pun seperti mengintimidasi. Berbeda dengan Candra, Laras seperti orang memohon sesuatu. Shamara jujur, ia tidak mau tahu urusan mereka.

Dengan tubuh lemasnya, Ia berbalik dan berjalan menuju fakultasnya. "Biarin ah, urusan mereka."

•♪•

Dibawah pohon melodi, yang sudah puluhan tahun berdiri di taman fakultas ekonomi, katanya. Shamara disana. Duduk lemas dengan kaki yang terlipat. Hari ini sudah siang kelasnya pun sudah tidak ada lagi. Ia memilih tempat itu, dengan tubuh yang semakin kesini semakin tidak enak. Tadinya ia ingin menemui Candra langsung ke fakultasnya. Tidak jadi, dengan alasan logis yaitu jauh. Bahkan melewati satu fakultas lainnya. Berakhir disitulah Shamara. Capek jalan kesana, biasanya semangat didukung tubuh yang sehat, tapi maaf sekarang baru error tubuhnya.

Alunan lagu yang sedang trending pun menjadi teman Shamara saat itu. Ia berharap Candra akan melewatinya. Jika tidak, Shamara yang akan mencarinya.

"Kalau sampai jam 14.00 tepat Candra ga lewat, harus samperin sendiri nih.", Shamara bergumam menatap ponselnya.

"Eh Sha, kenapa disitu.", Hampir saja ponsel Shamara terjatuh, jika ia tak gesit menangkap. Disapa oleh anak fakultas ekonomi, Ia tak tahu dia siapa. Banyak anak fakultas ekonomi yang mengenal Shamara tapi tidak sebaliknya. Entah, katanya sikap Ia kepada Candra Hanum itu yang membuatnya terkenal di fakultas pujaannya.

"Ah iya, nunggu si Candra lewat sini.", Shamara mengangkat wajahnya, mantap lawan bicaranya yang posisi berdiri.

"Candra tadi juga duduk kaya kamu gini. Di samping gedung departemen keuangan.", Perempuan yang terlihat ayu dengan gaya feminimnya itu menjelaskan. Mendengar penjelaskan itu, Shamara beranjak dari duduknya. "Tapi bentar, kamu sakit? Itu muka kamu pucat.",  Perempuan yang Shamara tak kenal tadi, memegang tangannya.

Perihal Rasa SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang