02

39 9 0
                                    

Situasi di mana harus jadi korban penumpang Jendra akan mengajak tubuh singgah di mana-mana, bukan hanya antara aku dan dia saja, tapi tentu ada Ejja, Renka dan Najwan. Terkadang teman-teman satu kelasku merasa heran akan kedekatan kami yang selalu berlima, anggapanku sih empat saja, sebab Najwan tidak pernah kurasa kehadirannya meski ia selalu ada.

Di sebuah warung soto langganan, satu meja favorit sudah kami tempati. Pesanan datang menggoda perut pun sudah tepat di atas meja, omong-omong kami selalu ke sini saat jam pulang sekolah tiba. 

Alasannya simpel saja, kadang teman laki-lakiku ini tidak pulang ke rumah melainkan nongkrong di warnet dulu. Nah, ini yang kukatakan konsekuensi jadi teman Jendra, sebab aku terpaksa mengikutinya ke mana pun mereka pergi.

"Oh iya, Bro." Di sela kegiatan makan, Najwan angkat suara hingga ketiga temannya mengangkat kepala bersamaan, kecuali aku yang acuh saja kalau sudah dia yang berbicara. "Ada cewek yang namanya Sesilia di kelas lu?" tanyanya.

"Ada. Yang gendut itu, 'kan?" tanya Ejja.

"Itu, Sila! Bukan Sesil," sahut Renka mengoreksi jawaban Ejja yang mengasal. "Kenapa, Na?" tanyanya setelah itu.

"Najwan pengen cari cewek," sahut Jendra, "Mau dikenalin ke emaknya."

"Widih, buat apa tuh?" tanya Ejja heboh.

"Buat pamer ke abang," jawab Najwan.

"Abang? Abang lu yang mana? Yang ganteng daripada lu itu?" tanya Ejja lagi.

"Masih gantengan gue!" elak Najwan. "Intinya gue kudu bikin itu Sesil jadi milik gue, entar gue pamerin ke abang, buat dapat mobil nih, Bro."

Semua heboh dan justru memberi semangat untuk Najwan, apalagi Ejja, dia paling semangat seakan yang bakal dapat mobil bukanlah Najwan melainkan dirinya.

"Masalahnya gimana gue bisa dekat sama Sesil?" tanya Najwan yang akhirnya membuat hening, tapi Ejja lagi-lagi berseru sambil mengacak-acak rambutku. 

"Apa sih?" Tentu aku risih karena orang ini selalu saja memperlakukanku seperti itu, lalu tanpa dosa ia merangkul tubuhku dan menepuk-nepuk pundakku.

"Sesil sahabatnya Nora 'kan ya," ujarnya.

Tunggu sebentar, kenapa tadi aku berekspresi seakan Sesil bukanlah siapa-siapaku? Hei, dia tentu adalah sahabat dekat di antara gadis-gadis yang ada di kelas, bukan Ejja saja yang tahu, tentu Renka maupun Jendra tahu kalau ke mana-mana aku terbilang sering dengan Sesil.

"Ra, Sesil dah punya pacar belum?" tanya Ejja.

"Belum sih," jawabku, "Tapi Sesil ...."

"Nah, pas! Lu bantu Najwan buat dekat sama Sesil," ujar Ejja.

"Loh kok aku? Emang harus ngapain?"

"Lu tinggal muji-muji Najwan dan sering-sering cerita tentang Najwan ke Sesil, ya sekiranya itu cewek sampai suka sama sahabat kita yang ganteng ini."

Saran Ejja mungkin disetujui oleh Renka dan Jendra, terlebih Najwan yang tampak mengharapkan hal yang sama. Tapi mohon maaf saja, memang apa yang bisa kuceritakan tentang Najwan? Kasih pencerahan yang positif pada Sesil? Ya Tuhan, coba lihat ekspetasi apa yang akan kami jalankan.

Tidak ya, mana bisa aku memuji-muji Najwan sedangkan dia saja selalu merendahkanku.

"Ja, Nora aja selalu berantem sama Najwan ya gimana dia bisa muji-muji?" tanya Jendra, dan ya, memanglah paling pengertian sahabatku yang satu ini.

Renka juga melakukan hal sama dengan berkata, "Tinggal suruh ketemu aja sama Najwan, lagian gue rasa siapa yang bakal nolak?" 

"Aku," jawabku yang membuat semua menatap serius seakan pertanyaan Renka tertuju padaku, dan demi meluruskan semuanya, dengan cepat aku berkata lagi, "Kan kata Renka siapa yang bakal nolak Najwan, jawabannya ya aku."

"Yang mau sama lu siapa, Jadul!" elak Najwan.

"Ya selera Nora bukan orang ganteng kek kita," ujar Ejja.

"Dih, bangga?" tanya Jendra.

"Intinya kayak saran gue aja sih, misal hari ini, suruh Najwan ketemu Sesil," kata Renka yang masih fokus pada pembicaraan kami. "Entar Nora ngehubungin Sesil, mau ajak makan atau gimana kek, tapi tiba-tiba lu gak bisa datang, Ra. Jadi ceritanya Najwan kebetulan lewat dan duduk sama Sesil, selesai 'kan," jelasnya lagi.

"Tapi ...."

"Sini hengpon lu!" Dasar si tukang rusuh, bisa-bisanya kelincahan Ejja dalam mencuri dipraktekan padaku. Ponsel yang sebelumnya ada di kantong kemeja putihku dia rebut begitu saja, masalahnya nyaris ia memegang sesuatu yang seharusnya tidak dipegang.

"Tangan lu anjiirrr!" Jendra sempat melakukan pembelaan jika seandainya tangan Ejja sempat kurang ajar tadi, hm ... memiliki sahabat seperti Jendra seperti kamu memiliki bodygoard.

"Nah, sudah. Tempatnya juga udah gue urus," ujar Ejja sok bodo amat dan mengembalikan ponselku tepat di atas meja.

"Lu gak nanya dulu sama gue di mana tempatnya gitu?" tanya Najwan.

"Tenang aja lu," sahut Ejja sambil lanjut makan.

Aku segera meraih ponselku dan melihat pesan seperti apa yang diberi Ejja, lalu Jendra sedikit melirik dan bertanya, "Emang di mana lu ngaturnya?"

"Kandang ayam, Jen," sahut Ejja seakan merasa kalau tempat pilihannya tidak sebaik yang mereka kira.

"Terus ekspresi Nora kenapa kayak gitu?" tanya Renka yang akhirnya mengikuti jejak Jendra untuk mengetahui apa isi pesan dari Ejja.

Di sini aku tidak mempermasalahkan tempat atau cara dia mengirim pesan, soalnya memang tidak ada masalah apa-apa. Sayangnya ada satu kesalahan besar yang mungkin akan membuat mereka memukuli Ejja setelah ini.

"Gak ada masalah tuh," kata Jendra setelah sempat merebut ponselku dan mengembalikannya.

"Masalahnya dia salah orang," ujarku.

"Hah?"

"Dia ngirimnya ke Sila, bukan Sesil."

"ANJIIRRR! EJJA, SINI LU GUE CELUPIN KE KOBOKAN!" 

Ejja ... Ejja. Syukur saja aku memeriksa pekerjaan dia, bagaimana jika sampai Sila yang datang. Dasar si usil.

Tbc;

Najwan ft Na JaeminWo Geschichten leben. Entdecke jetzt