03

34 9 0
                                    

Meskipun sudah tahu bahwa aku hanya bertugas menghubungi Sesil tanpa menemuinya, tetap saja Jendra menjemput dan berkata kami-kami ini harus tetap sebagai pihak pemantauan. Apa sih faedahnya? Yang mau jadian 'kan Najwan dan Sesil, lantas kenapa kami harus repot-repot ikut dan bersembunyi di kejauhan seperti penjahat?

Lebih lucu lagi, Renka yang terbilang paling normal dari tiga sahabatnya itu pun hadir bersama kami. Sungguh, aku tidak mengerti lagi jalan pikir mereka yang sama seperti copy-paste di komputer.

"Ngapa Sesil belum datang dah?" tanya Ejja.

"Dia bilang bakal datang, 'kan?" tanya Jendra padaku.

"Iya, ini barusan bilang bakal telat," jawabku.

"Eh, lu gak bohongin kami, 'kan?" tanya Najwan seakan khawatir bahwa hal buruk terjadi di atas rencananya ini.

"Buat apa aku di sini kalo lagi bohong, hm?" tanyaku balik.

"Eh, itu Sesil! Ra! Sembunyi lu cepetan sembunyi!" Ejja menyerahkan kacamata hitam ke mataku, serta Jendra yang menaikkan tudung kepala hoodie untuk menutupi bagian kepala. Satu lagi si Renka, ia memberikan masker hingga sekarang diriku tampak seperti penjahat yang ingin mencuri.

"Anjir, nelpon lagi, sahabat lu kek mudah khawatir ye kalo lu gak ada," tegur Ejja.

"Tolak aja!" ujar Jendra menghentikan pergerakan tanganku dan merebut ponsel tersebut. "Bilang lu gak bisa datang," lanjutnya.

"Kalo aku bilang gitu, yang ada dia pulang, Jen." Aku menjabarkan kebiasaan Sesil, ya bukan Sesil saja, memang siapa yang mau bertahan seorang diri di sebuah rumah makan kalau temannya tidak datang? Aku pun pasti akan melakukan hal sama.

"Ya udah, bilang aja lu telat," kata Renka.

Aku melakukan hal yang diminta, lalu terlihat Sesil duduk di salah satu meja dengan tenang. Ia memang gadis yang kalem, bahkan kurasa terlalu baik jikalau dibiarkan terus-menerus berteman denganku. Tampak juga ia memesan minum sembari menghabiskan waktu untuk bermain ponsel.

"Nah, lu gas sana temenin!" ujar Ejja yang memang paling berinisiatif untuk melakukan semua ini.

Najwan mengangguk dan mulai berdiri, dan lihat, astaga! Cara jalannya sok keren sekali, dia ceritanya asyik bermain ponsel dan tidak sengaja menabrak ujung meja yang diduduki oleh Sesil. Kini mereka saling pandang dengan ekspresi Najwan yang pura-pura bertingkah 'tak sengaja.

Sebentar bincang-bincang, kurasa Najwan berhasil membuat Sesil mengizinkannya untuk duduk di meja yang sama. Hm, sehubungan Sesil itu orang yang baik, apalagi kalau dengan ucapan Najwan yang mungkin mengatakan, "Gue ada janji sama temen, tapi dia gak datang, mana udah terlanjur pesan minum. Eh, gue duduk di sini gak papa kali ya?" yang mungkin dalam bahasa lebih sopan dari pemikiranku itu.

"Lu semua rasa bakal berhasil gak sih?" tanya Jendra.

"Siang tadi aku tuh mau kasih saran, tapi kalian semua nyolot kayak seakan kita bakal berhasil," sahutku.

"Saran apa?" tanya Jendra.

"Ya ... gimana ya, Sesil itu suka sama yang lain."

"Lah, siapa anjir?" tanya Ejja sedikit kaget, "Wah, wah. Jadi sadboy ini namanya si Najwan."

"Dia malu sih bilang siapa orangnya, tapi kurasa gak mungkin Najwan. Coba lihat, dia aja main hp gitu."

Semua jadi melihat pada apa yang kumaksud, Sesil memang menyahut apa yang diucap oleh Najwan, tapi kuyakin laki-laki itu pasti akan menganggap bahwa mereka tidak cocok dan sangat membosankan. Ya iya lah! Tampak sekali sudah antara keduanya tidak cocok.

"Eh, ya kali ...." Ejja menghentikan bicaranya saat sebuah pesan masuk begitu saja di ponselnya, lalu kami jadi terdiam dan memperhatikan mereka.

"Adek lu lagi?" tanya Jendra yang memang paham kalau kadang adik perempuan Ejja suka manja sama abangnya.

"Bukan," ujar Ejja, "Sesil nih."

"Hah?"

Respon kami membuat Ejja menatap bingung. "Kenapa?" tanyanya.

"Kenapa dia nge-chat elu?" tanya Jendra.

"Bahas tugas, ini kan gue langganan juga nyontek sama dia?"

"Lah, dia lagi di luar gini masih bisa bahas tugas sama lu?" tanya Renka.

Sebentar terdiam, agaknya kami menemukan jawaban yang baru saja jadi pertanyaan tadi. Entah kenapa kami merasa punya teman paling bodoh yang isi otaknya sungguh tidak bisa diharapkan apa-apa kecerdasannya.

"Tiap hari lu kayak gitu?" tanya Renka.

"Ya tiap ada tugas sih, kadang gue kalo niat mau nyontek sama lu tapi si Sesil nge-chat duluan terus nawarin perlu jawaban gak? Nah, ya gue gas aja selama bisa nyontek."

"Gubluk! Gubluk!"

"Capek gue itu otak lu di mana sih narohnya, Ja?"

Aku hanya menggelengkan kepala selama Jendra dan Renka memakinya, lagian bagaimana bisa Ejja sendiri tidak sadar kalau bentuk perhatian Sesil itu merujuk ke arah suka? Tuhan, kenapa Ejja begitu bodoh?

Tidak lama setelah itu, tampak Najwan berdiri dan keluar begitu saja. Sempat ingin heboh, ternyata ia menelpon Jendra hingga kami fokus mendengarkan apa katanya.

"Pulang, gue udah selesai."

Dari cara bicaranya kami tahu dia sedang tidak semangat, Ejja dan Renka tampak keluar untuk mengejar sahabat laki-lakinya itu. Sedangkan Jendra berkata akan menungguku setelah menemui Sesil, karena kesempatan itu, kudatangi ia dan sok-sokan datang terburu-buru.

"Duh, maaf ya! Ada urusan di rumah, ih!" keluhku terengah-engah, syukurnya Sesil sedang fokus pada ponselnya hingga tidak melihat asalku dari mana.

"Gak apa-apa, lagian kenapa minta ketemu?" tanya Sesil.

Sial, aku tidak memikirkan hal ini.

"Eum, ya ... mau nongkrong aja kali ya, lama gak berduaan sama kamu hehe," jawabku.

Sesil mengangguk lalu meletakkan ponsel di atas meja, aku jujur saja tidak sengaja melihat isi ponsel itu. Tapi sungguh penampakannya tidaklah bisa dielak kalau ia suka Ejja.

Kalian tahu, ia sedang membuka akun Instagram laki-laki itu.

Tbc;

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 30, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Najwan ft Na JaeminWhere stories live. Discover now