Prolog

114 15 6
                                    

Dalam mansion duke yang berapi-api, tersaji pemandangan mengerikan yang di mana tergeletak ratusan manusia yang bersimbah darah.

Pedang, saber, gada paku, pistol maupun bedil menjadi bukti nyata bahwa telah terjadi pertempuran di kastil ini. Ditambah suasana gelap malam hari yang menambah aura suram di mansion tersebut.

Seorang pria terduduk di sebuah lorong mansion sembari menutupi lukanya dengan perban. Bekas darah masih terlihat pada bagian dada pria tersebut.

Ia sendiri terduduk lemas di hadapan mayat-mayat rekannya yang tewas. Mereka tewas dengan tubuh tersayat dan kaki–tangan mereka yang tidak utuh.

"Kenapa ... kenapa harus seperti ini? *sob*"

Pria itu berusaha bangkit dengan bertumpu pada senapan yang ia bawa. Sebuah bedil yang menyimpan kenangan tak pernah sekalipun pria itu tinggalkan.

Walau sudah dibantu dengan bantuan bedil, pria itu masih kesulitan untuk berjalan.

Dengan terhuyung akhirnya pria itu sampai ke bagian dalam ruangan.

Pemandangan yang sama seperti di lorong pula terlihat di sini.

Begitu gelap dan suram.

Mayat segar tergeletak di mana-mana menyisakan satu sosok yang kuat berdiri di panggung singgasana.

Pria itu gemetaran ketika melihat sosok manusia di hadapannya mengenakan zirah yang sepenuhnya dilumuri darah, pedang yang dipegangnya pun tak luput dari bercak darah.

Sosok itu berdiri membelakanginya dan belum menyadari keberadaan pria tersebut. Namun, ketika mata pria itu sibuk mengokang senapannya, tatapan mereka akhirnya saling bertemu.

Sejenak waktu serasa berhenti ketika mereka saling mengacungkan senjata.

Tatapan yang menggambarkan kesedihan menandakan bahwa mereka saling mengenal. Namun takdir tragis harus membuat mereka saling membunuh.

*Dor!*

Tembakan pria itu meleset sedikit mengenai helaian rambut lawannya. Sosok itu tersenyum ketika tahu bahwa peluru pria itu meleset, lalu dia mengambil kesempatan ini dengan menusuk tepat ke perut si pria.

*Jleb!*

"Guaaargh!"

"Tembakanmu selalu meleset seperti biasanya."

"... iya. Setidaknya kau bisa selamat, Mirene ...."

Sosok itu mencabut pedang dari tubuh pria itu, lalu membaringkan pria yang sudah terbaring lemas di pangkuannya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari pria itu selain gumpalan darah segar terjatuh mengotori lengan sosok tersebut.


Sosok itu tidak bergeming dan menyuarakan kemenangannya seperti  bangsawan-bangsawan lainnya ketika mengalahkan lawan, justru sosok itu menunduk lesu seolah dia sedang menyesali perbuatannya.

Api yang membakar kastil mulai merembet dari pilar hingga atap ruangan, api itu dengan cepat membakar aula kastil, dengan mayat bergelimpangan yang menjadi bahan bakar api tersebut.

Kobaran api mengelilingi dua insan tersebut, cahaya dari api membuat ruangan menjadi terang. Ternyata rupa dari sosok berpedang itu merupakan seorang gadis bersurai panjang, sedang menangis tersedu-sedu.

Gadis itu mendekap mayat pria yang baru saja ia bunuh.

Dalam hatinya ia tiada henti mengutuk dirinya sendiri.

"Aku berharap waktu terulang kembali ...."

Kata-kata terakhirnya seakan sirna setelah tubuhnya dilahap kobaran api.

Beberapa detik kemudian, mansion tersebut mulai runtuh dalam kurun waktu yang singkat.

Unknown Serbian HeroWhere stories live. Discover now