Seribu Tahun Lamanya

27 4 4
                                    

Haechan—nama yang dipilihnya hari ini—mematut diri di depan cermin seukuran badannya. "Tidak buruk juga," pikirnya. Ia mengenakan kemeja berwarna krem dan jaket denim di atas kaus putihnya dengan celana jin cukup ketat yang sepertinya merupakan padanan pakaian yang sering dipakai remaja saat ini.

Sudah begitu lama sejak ia berhasrat untuk melihat dunia luar secara langsung, setelah sekian waktu hanya beraktivitas dalam rumahnya sendirian. Ia memutuskan untuk melemaskan kaki dengan berjalan-jalan sebentar. Haechan tidak memiliki tujuan spesifik, jadi ia memilih berjalan kaki agar dapat mematri segala yang dilihatnya dengan saksama karena sekali lagi, lelaki itu tidak begitu tertarik akan seisi dunia. Tidak semenjak ia melepaskan genggamannya pada suatu hal paling berharga yang pernah ia punya.

Haechan langsung menyadari kesalahannya ketika melihat kosongnya trotoar pinggir jalan yang sekarang bagai bentangan karpet merah terkhusus untuknya, karena hanya ia rupanya makhluk berakal yang menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Sepertinya alam sudah banyak berubah sehingga musim dingin datang lebih cepat, tadinya ia kira ini masih musim gugur. Sambil merutuki betapa bodoh dirinya, pandangan matanya mengedar ke sepenjuru. Haechan harus bergegas mengunjungi suatu tempat agar tidak dipandang aneh karena meski trotoar sepi, jalanan masih cukup ramai oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Manusia tidak seharusnya melangkah santai di tengah suhu menggigit di pagi hari.

Dalam waktu yang sangat singkat Haechan telah memasuki toko waralaba terbesar di wilayah yang lumayan kecil itu. Sebelum pengunjung lain sempat melayangkan tatapan heran, Haechan memelesat ke section pakaian musim dingin dan memilih long padding paling tebal yang dijumpainya. Sekarang ia lega, ia sudah terlihat persis seperti manusia masa kini.

Toko itu cukup dipadati pengunjung—yang berdasarkan hasil Haechan menguping—dikarenakan musim dingin itu sendiri. Meski ia juga mendorong troli dan memenuhinya dengan segala macam kebutuhan musim dingin, dia sesungguhnya tidak memerlukannya. Dirinya hanya sedang berlakon menjadi orang-orang pada umumnya.

Haechan terus berkeliling sampai tiba-tiba ia berhenti di tengah lorong. Ia mencium aroma yang begitu familiar namun juga terasa baru. Susah payah dirinya menahan diri untuk tidak berlari secepat kilat ke arahnya. Dengan awas lelaki itu melanjutkan langkah, perlahan semakin dekat dengannya.

Hingga akhirnya ia berada tepat di depannya dan refleks bertanya,

"Goo Aera?"

Haechan tidak sempat berbalik kabur saat yang ditanya langsung menjawab,

"Ya?"

Haechan lantas diam. Ini mustahil, tapi benar-benar nyata. Tidak mungkin wanita di hadapannya ini adalah Goo Aera, tetapi ia sendiri yang bertanya dan mendapat jawabannya. Dirinya tak mampu berkata, sibuk mencari jawaban dari setiap sel-sel otaknya.

"Hei, maaf, tapi boleh aku tahu bagaimana kau bisa mengetahui namaku? Aku baru pindah ke sini kemarin lusa."

Haechan kehilangan konsentrasinya dan sayup-sayup ia mendengar Aera berkata, "Ini aneh, tapi mungkinkah kau mengenal nenek buyutku? Nenek dari nenek buyutku, tepatnya. Ia dulu adalah penyanyi dan keluargaku bilang wajahku mirip dengan beliau makanya aku diberi nama yang sama dengannya. Benar kau mengenalnya? Soalnya walau kita seumuran, aku jelas tidak mengenalmu karena sejak lahir aku tinggal di Belgia. Ah, maaf, aku bicara terlalu banyak, ya? Aku kelewat senang karena ... oh, benar!

Maukah kau menjadi teman pertamaku?"

Seribu Tahun Lamanya | ✔Where stories live. Discover now