AKSARA [9]

4.6K 687 86
                                    

“Kalian pernah gak sih mimpi jadi wc duduk ?”

Aksara Tangguh Perwira

***

Pukul tujuh pagi seharusnya kegiatan belajar dan mengajar sudah dilakukan. Tapi berbeda dengan Aksa dan keempat temannya yang tampak asik menyaksikan kelas Netta olahraga.

“Aduh, Netta maen tenis meja ya sekarang?” dengan suara yang cukup lantang Aksa bertanya ketika melihat Netta memainkan bola volly.

“Goblok,” seru Rizki seraya tertawa.

Untuk beberapa saat Netta celingukan mencari sumber suara yang cukup mengganggunya ketika hendak melakukan servis.

Di atas sana, tepat di lantai dua dia melihat Aksa yang tersenyum lebar seraya mengunyah permen karet.

“Ada akhlak lo begitu, Tatang!” terdengar dari pinggir lapangan Lukman berseru.

Laki-laki sedikit kemayu ini memang kalau sudah berhubungan dengan sosok bernama Aksara Tangguh Perwira bawaannya selalu emosi. Kalau diumpamakan mereka berdua ini layaknya kucing dan anjing, tidak pernah akur kalau bertemu.

“Skip, gak ngomong sama siluman,” sahut Aksa dengan enteng.

“Wah anying, beneran aing kilo vespa butut manéh baru tau rasa.” Dengan berkacak pinggang Lukman mengancam Aksa.

“Lukman,” tegur Pak Udin yang hari ini mengajar olahraga di kelas Netta.

“Musnahin, Pak, musnahin.” Aksa tertawa sangat bahagia.

Di bawah sana dia melihat Lukman yang menatapnya penuh dendam.

“Kamu juga Aksa, udah bell ini cepat masuk kelas!”

“Bentar dulu, Pak, gurunya belum masuk.”

“Siapa gurunya?”

Aksa gelagapan, dengan wajah yang tampak kebingungan dia melirik ke arah teman-temannya hendak meminta bantuan.

“Siapa?” bisiknya.

“Lah nanya ka aing, mana aing tau.” Ardan mengedikkan bahunya.

“Ki, siapa?”

Rizki yang ditanya malah pelanga pelongo, “tanya si Keanu aja.”

Baru saja Aksa hendak membuka mulut, Keanu sudah lebih dulu mengedikkan bahunya.

“Si Keanu nih diem-diem begini otaknya sama aja kayak kita, Sa.” Sahut Malik.

Aksa berdecak seraya menggelengkan kepala. Benar-benar circle yang tidak ada positif-positifnya.

“Salah masuk geng nih gue.”

“Lagu-laguan lo, Sa. Punya otak seuprit aja jangan ngarep masuk geng anak-anak ambis,” ujar Ardan penuh penghakiman.

“Bersyukur aja bersyukur, meskipun otak kita segede biji ketumbar tapi kita selalu kompak,” imbuh Malik seraya merangkul bahu teman-temannya.

Aksa mendelik seraya melepaskan rangkulan Malik, “iya kompak dalam hal kebodohan.”

Kemudian dia melihat ke bawah, di sana tampak Pak Udin yang tengah menunggu jawabannya.

Kayak lagi ujian aja pake ditungguin segala.

“Gak tau, Pak, lupa lagi, maklum otak saya isinya si Netta semua jadi gak sempet hapalin nama guru yang ngajar.” Aksa akhirnya membuka suara, tidak lupa disertai dengan guyonan yang berhasil membuatnya mendapatkan sorakan dari teman-teman sekelas Netta.

DIA AKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang