Paket Misterius

10 1 0
                                    

***
Kegelisahan yang kurasa nyatanya tak bisa terhapus dalam waktu 1x24 jam. Hingga malam berganti pagi, ekspresi wajah Ustaz Abdun kemarin tetap membayangi. Hampir semalaman mata tak bisa terpejam. Semakin mencoba lupa, semakin membayang pula wajahnya. Haish! Sudah seperti hantu saja, membayangi di mana-mana. Pengin nangis rasanya.

"Kamu kenapa dari tadi gak bisa diem?" Kedua alis Indah saling bertaut saat menatapku. Aku tak menjawab, hanya meresponnya dengan decakan. Jika aku menceritakan padanya tentang kejadian kemarin, justru nanti dia bakal menertawakanku. Bahagia di atas penderitaan teman baiknya itu jadi semboyannya.

"Galau? Kangen Pak Ustaz?" Aku meliriknya sekilas kemudian kembali pura-pura sibuk mengerjakan soal di LKS. Padahal sejak bel tanda istirahat berbunyi tak satu pun soal yang kukerjakan.

Indah tiba-tiba menutup bukuku dan menarik lenganku paksa.

"Sudahi galaumu, ayo makan bakso pedes di kantin bersamaku." Pasrah. Hanya itu yang kubisa. Jika menolak, Indah akan mengomel panjang sudah persis kayak ocehan burung yang lagi ngeroll itu.

Namun, ada baiknya aku mengikuti saran Indah untuk menyudahi galau dengan makan yang pedas-pedas. Siapa tahu itu bisa menghapus bayangan ekspresi nyebelin Ustaz Abdun kemarin.

Para siswa berseragam memenuhi kantin. Gelak tawa terdengar di sana. Indah menyuruhku untuk mencari tempat duduk dan dia bagian memesan makanan.

"Rin, sini!" Seli melambai ke arahku. Seperti biasa, dia paling ramai di antara yang lain. Mulutnya penuh makanan tetap saja masih ngomong.

"Kunyah, telan dulu baru ngomong, Sel!" tegurku saat sampai di hadapannya. Dia segera meraih teh kemasan di samping mangkoknya.

"Kesambet jiwanya Ustaz Abdun ya, Rin. Tumben bijak kalau kasih nasehat." Spontan beberapa siswa yang duduk di sebelah kamu ikut tertawa. Aku hanya mendengkus kesal. Sialan si Seli!

Tak lama Indah membawa nampan berisi dua mangkok bakso yang masih mengepul asapnya. Aromanya membuat cacing di perut menjerit ingin segera meminta jatahnya. Indah menyodorkan mangkok bagianku dan juga segelas teh hangat.

Jarang sekali aku mengonsumsi teh menggunakan es, terlebih saat menikmati makanan berkuah atau berbumbu pedas. Menurut sebuah artikel yang pernah kubaca, memang lebih nikmat meminum air dingin saat sedang merasa kepedasan, tetapi nyatanya air hangat mampu meredakan rasa pedas di lidah dengan lebih cepat. Apalagi berasa manis, maka akan lebih cepat menetralisir rasa pedas tersebut.

Kutuang sambal beberapa sendok ke dalam mangkok usai menambahkan kecap dan saos sebagai pelengkap kenikmatan makanan berkuah gurih itu. Anggap saja ini pelampiasan rasa gelisah yang tengah melanda. Siapa tahu perut kenyang, bayangannya pun menghilang. Kuaduk kuah berisi satu pentol sapi sebesar pingpong dengan campuran tahu walik, tahu putih dan beberapa makanan pendamping di sana.

Indah menggerutu saat memasukkan sendok di mangkokku dan mencicipi rasa kuahnya. Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya saat kepedasan. Sudah tahu level pedasnya di tingkat dua, dia malah mencoba level tingkat dewa, ya pasti gak kuat lidahnya.

"Ya Allah, racun kok dimaem to, Rin. Cah edan!" Tawaku semakin berderai mendengar racauannya. Hampir setengah gelas tehnya tandas diteguk gara-gara merasakan sesendok kuah pedas milikku.

Kunikmati makanan berkuah yang kini telah berubah warna menjadi jingga karena campuran sambal lebih banyak dari pada bumbu yang lain. Suapan pertama rasanya nikmat di lidah. Kalau orang sini bilang rasanya 'kemepyar'. Sensasi pedasnya bikin mendesis di mulut dan membuat pusing di kepala lenyap seketika.

***
Perasaan takut selama perjalanan ke kantor tadi mendadak lenyap saat melihat senyum mbak keamanan seraya menyodorkan sebuah bungkus berbentuk paket.

"Ini tadi ada kiriman atas nama sampean, Mbak." Aku mengernyit. Raa takut barusan berubah jadi kebingungan. Kubolak-balik bungkusan berwarna coklat yang disodorkan sesembak tadi. Kubaca kembali nama yang tertera di sana. Hanya ada satu logo nama toko di situ. Entah toko apa.

"Saya gak merasa pernah pesan apa-apa lo, Mbak. Kok, ini ...." Aku menggaruk pelipis. Mau mengelak, tetapi di situ tertulis jelas namaku. Sesembak tadi akhirnya tertawa melihatku kebingungan.

"Ya udah terima saja, Mbak Arina. Anggap saja rezeki. Ya siapa tau itu dari Ibu atau temannya sampean." Aku nyengir kemudian mengangguk ragu. Sepanjang jalan kembali ke kamar otakku tetap berpikir keras mencoba menebak siapa sang pengirim. Kalau Ibu gak mungkin. Pastinya beliau langsung sambang ke sini dari pada lewat jalur kurir. Kalau teman? Tidak ada yang nyangkut di pikiran sama sekali sat nama pun dari sekian banyak temanku.

Jika kutebak dari segi ketebalan dan beratnya, barang di tanganku ini adalah buku. Entah buku apa aku masih belum punya gambaran tentang itu.

"Gimana? Ada apa, kok kamu dipanggil ke kantor?" Kuangsurkan bungkusan yang kubawa pada Indah. Dia juga mengernyit saat menerimanya.

"Sopo yang kirim?" Aku mengendik bahu. Gegas Indah merobek kertas pembungkus paket dengan sigap. Buku bersampul burgundi berjudul 'Belajar I'lal' juga terjemah Jurumiyah.

Indah mencoba merogoh kembali pembungkus paket berharap ada selembar pesan atau apa pun sebagai penanda siapa pengirimnya. Indah pun turut memutar otak mencari siapa si pengirim. Kedua buku yang berhubungan dengan pelajaran Bahasa Arab itu masih terbungkus plastik, maka tidaklah mungkin ada pesan tertulis di dalamnya.

"Jangan-jangan kamu punya secret admirer, Rin?"

"Hah?"



Secangkir Teh Untuk Sang Gus (Sudah Terbit)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt