Udin dan Burung

12.3K 269 1
                                    


Pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda bernama Udin, Udin adalah putra dari keluarga kaya, wajahnya tampan dan manis dengan badan yang gempal, dia juga memiliki watak yang sangat pembersih.

suatu hari sebuah kabar yang mengejutkan sampai ke telinga Udin, tunangannya yang berada di seberang desa menghilang tiba-tiba.

Udin yang sangat mencintai kekasihnya tidak bisa diam saja mendengar kabar tersebut, ia pun segera pergi berkelana mencari tunangannya yang menghilang itu.

Udin sudah berkelana cukup jauh, dari desanya dan desa seberang, lalu sungai, alun-alun, dan sekarang ia berkelana di dalam hutan. Di tengah-tengah pertualangannya Udin merasa selalu di intai oleh sesuatu, namun ia tidak bisa melihat siapa atau apa yang mengintai nya tersebut sedari tadi, Walau begitu ia tetap tegar melanjutkan pencarian.

Di tengah hutan ada seorang kakek yang kelaparan, karena kasihan Udin pun memberi nya makanan yang ia bawa dari rumah tadi, setelah makan kakek tersebut menyatakan bahwa dirinya adalah kakek yang sakti, ia mengatakan bahwa yang mengintai Udin selama ini adalah seorang nenek sihir.

Saat nenek sihir itu tahu kedoknya sudah ketahuan, ia langsung menyerang namun serangan tersebut langsung di cegah oleh kakek sakti dengan ilmunya, nenek sihir tersebut pun kalah.

Udin berterima kasih dengan kakek tersebut, lalu ia pun bercerita tentang masalah yang menimpa tunangan-nya.
Kakek sakti itu berkata bahwa gadis itu di sembunyikan oleh nenek sihir tadi dengan kutukan.

"Untuk mematah kan kutukan ini, kamu perlu mencari burung." Kata kakek itu.

"Burung apa itu?" Udin sedikit kebingungan dengan maksud kakek ini.

"Burung milik seseorang dari timur."
Mendengar penjelasan itu Udin lebih bingung lagi, Ia pun kembali bertanya.

"Bu-burung si-siapa itu? Apa yang harus saya lakukan dengan burungnya?"

"Saya tidak tahu namanya, pokoknya ia dari timur, dan kamu harus mengusap-ngusap burung miliknya!" sebetulnya yang di maksud si kakek adalah burung peliharaan milik seseorang, namun Udin berpikir akan hal lain yang membuat ia merasa geli.

"Kembali saja bila ada kendala, aku tinggal di dekat sini." Kakek itu sedikit khawatir melihat Udin yang terdiam tiba-tiba.

Sore hari pun tiba, dalam perjalanan pulang Udin sibuk memikir kan akan siapa orang dari timur itu, setibanya di rumah Udin bertemu dengan si pandai besi langganan orang tua Udin, kemarin mereka sempat menempah wadah emas untuk memajang buah-buahan.

Pandai besi itu bernama Wijaya, ia adalah pria berketurunan tionghoa. Seketika Udin pun merasa ia mendapatkan jawaban siapa pria timur itu, pasti Wijaya pikir nya sebab nenek moyang Wijaya berasal dari timur. Lagi-lagi Udin salah paham, sebetulnya maksud kakek sakti tadi adalah pria yang tinggal di bagian timur desa.

Udin bingung akan bagaimana cara meminta izin dari Wijaya, selagi Wijaya menyusun Wadah-wadah dari gerobak, Udin terus mengamati Wijaya, pria itu memiliki paras wajah yang tampan dan gagah, ia juga hanya mengenakan sarung pendek tanpa baju menutupi Badan putihnya yang tinggi, besar dan sangat sado, karena setiap hari ia memahat besi sehingga otot-otot badan itu terbentuk. Karena Wijaya seorang pandai besi maka tiap harinya ia selalu berkeringat, Aroma keringat dari tubuh Wijaya selalu membuat Udin yang pembersih jijik dan kali ini demi menolong gadis yang ia cintai, ia malah harus menyentuh burung milik Wijaya yang selalu lembab oleh keringat itu.

Ketika hendak menyerahkan upah kepada Wijaya, Udin pun akhirnya menceritakan akan apa yang terjadi dengan tunangannya dan bagaimana cara menolongnya

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Ketika hendak menyerahkan upah kepada Wijaya, Udin pun akhirnya menceritakan akan apa yang terjadi dengan tunangannya dan bagaimana cara menolongnya. Wijaya yang merasa kasihan pun menghendaki permintaan Udin.

Sebelum melepas ikatan sarungnya, dengan suaranya yang berat Wijaya bertanya. "Bagaimana kalau nanti orang tua mu melihat?"

"Koko tenang saja mereka sedang tidak ada di rumah." Dalam hati Udin sangat gundah, sebentar lagi ia akan dihadapkan dengan burung milik Wijaya.

Bulu yang tumbuh di perut bagian bawah Wijaya lebih lebat dari pada bagian lengan dan dadanya, hal tersebut membuat Udin semakin geli membayangkan pemandangan yang akan ia lihat di balik sarung yang bau itu.

Lengan kekar Wijaya lanjut melepaskan ikatan sarungnya, dengan perlahan dan gugup ia pun membuka sarung itu di hadapan udin, memperlihatkan kemaluannya yang selalu ia simpan di balik kain.

Aroma amis khas kejantanan dari selangkangan Wijaya menyeruak saat kain sarung miliknya di buka, Udin yang bukan penyuka sesama jenis merasa geli setengah mati, apalagi kontol milik Wijaya besar dan sangat hitam, jembutnya juga sangat lebat seperti hutan belantara.

Udin lebih terkejut dengan warna kontol milik Wijaya dari pada ukurannya, sebab Udin sudah sering melihat jendolan kontol Wijaya yang besar gondal-gandul di balik sarungnya yang tipis. Sedangkan warna kontol itu sangat hitam, lebih hitam dari pada umumnya, sehingga kontol itu sangat belang dibandingkan dengan badan Wijaya yang putih.

"Item sekali ko... pedahal badan koko sangat putih." Udin melongo melihat gelap nya warna kemaluan itu, wajah tampan Wijaya semakin merah, dia merasa sangat malu dan tidak tahu harus menjawab apa.

Warna kontol yang hitam dan buluk itu, berbeda jauh dengan warna keseluruhan tubuh Wijaya yang putih bening. Dengan jijik Udin dengan pelan mendekatkan telapak tangannya ke burungnya Wijaya yang terlihat lembab oleh keringat.

Akhirnya telapak tangan Udin menyentuh kontol itu, Wijaya sedikit mengernyit merasakan sentuhan di daerah intim nya. Kontol itu terasa sedikit basah dan hangat. walau menahan geli Udin tetap melanjutkannya demi tunangan yang ia cintai.
Udin pun mulai mengusap pelan burung itu, Wijaya sedikit kelojotan saat Udin mulai memaju-mundurkan tanganya, kontol berkulup itu pelan-pelan mulai membesar gara-gara rasa nikmat saat di usap.

Udin merasa sedikit ngeri melihat kontol hitam itu mengeras sangat besar, namun karena ia tidak yakin apakah tunangannya sudah kembali atau belum, Udin pun tetap melanjutkan tidak peduli dengan Wijaya yang sudah mulai mendesah tak karuan. Kontol itu manggut-manggut terus saat di usap, lubang kencing di ujung kepala kontol yang keunguan itu juga terus meneteskan air mani yang lengket.

"Ahh... Din, uda belum? Hahh... koko uda ga kuat." Wijaya sudah mendekati puncak kenikmatan, urat kontolnya yang tegang berdenyut semakin kuat, tangan udin juga merasakan kontol itu semakin hangat.

Tepat saat Udin melepaskan tangannya, tembakan pejuh Wijaya sudah tidak tertahankan lagi, pejuh yang putih dan kental muncrat begitu banyak. sebagian pejuh itu juga mengenai celana Udin, sisahnya berceceran di tanah. Wijaya mengerang pasrah sambil memaju-mundurkan bokong montoknya, mengharapkan sentuhan lagi.
"Aaahhh... hahhh... ahh..."

Udin yang terkejut melompat menjauhi semprotan itu, ia segera mengelap kedua tangannya di pakaiannya. Udin juga terkejut saat ia tersadar akan celananya yang sudah basah oleh pejuh Wijaya tadi, dengan jijik ia langsung berlari masuk ke rumah, Udin bahkan lupa berterima kasih atau pun pamit kepada Wijaya yang masih kelojotan dalam kondisi telanjang bulat di bawah pohon halaman rumahnya, pejuh dari kontol hitamnya itu bahkan masih mengalir.

Udin Dan Pandai BesiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin