20. Masih Ada Hari Esok

2.3K 315 23
                                    

-chapter 20-
.
.
.
.

Ini di mana?

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dalam batin Nadia saat menemukan dirinya ada di ruangan kosong dan sunyi tak berpenghuni. Nadia beranjak dari posisi tidur dan duduk di lantai yang dingin Mata wanita itu menyapu sekeliling dan hanya menemukan dinding berwarna putih di sekitarnya. Tidak ada jendela atau ventilasi, hanya ada satu lorong tak berpintu di sudut kiri.

Nadia mengerjap berulang kali. Dia melihat kedua telapak tangan di atas pangkuan, pandangannya terpusat pada cincin yang tersemat di jari manis sebelah kanan. Dahi wanita itu berkerut.

Apa ini?

Dia penasaran dengan benda kecil yang di jari manisnya. Nadia melepaskan cincin itu dan dia perhatikan dengan saksama. Matanya menyipit saat melihat ukiran di bagian dalam cincin tersebut. Ukiran huruf yang membentuk nama seseorang.

Regan.

Nadia menggenggam cincin itu dalam dia. Siapa Regan? Batinnya kembali bersuara. Dia termenung cukup lama untuk memahami situasi yang ia alami sekarang. Namun, tiba-tiba terdengar suara tangisan yang begitu nyaring hingga memecah lamunan wanita itu. Nadia menoleh ke kanan dan kiri, tangisan itu semakin kencang.

Siapa yang menangis?

Wanita itu berdiri dan menatap lorong di sudut kiri. Nadia melangkah ke arah lorong tersebut dan semakin dekat, semakin keras pula tangisan yang ia dengar. Tumit tanpa alas kaki itu mulai memasuki lorong gelap tersebut. Semakin jauh Nadia melangkah, semakin terang cahaya yang terlihat. Ruangan itu terang benderang, beda dengan tempatnya terbangun tadi.

Dia sudah menemukan sumber tangisan yang mengganggu telinganya. Mata Nadia terpaku pada satu objek. Seorang pria berbaju putih sedang membelakanginya sambil menggendong bayi yang menangis. Pria itu tidak melakukan apa pun selain mendekap bayi mungil yang terbalut kain merah muda. Nadia tak tahu mengapa hatinya ikut sesak melihat bayi itu menangis.

Tepat pada saat pria berbaju putih itu berbalik dan menampilkan separuh wajahnya, air mata Nadia menetes. Wanita itu merasa seperti ada kupu-kupu yang terbang di perut sampai dadanya sesak dan ketika mata pria itu menatapnya, sebuah suara terus mengisi kepala Nadia dan menyebutkan satu nama.

Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan. Regan.

"Regan..., Regan...."

Si pemilik nama langsung bergegas menghampiri Nadia yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit beserta infus di tangan kirinya. Regan meletakkan salah satu telapak tangannya di kepala Nadia.

"Nad, kamu udah siuman?" Ibu jari pria itu mengusap pelan kening Nadia.

"Regan..."

"Iya, aku di sini," sahut Regan, cepat. Dia melihat kelopak mata Nadia bergerak seiring dengan tetesan air mata. Pria itu menyeka lembut air mata di sudut netra sang istri.

"Aku di mana?" tanya Nadia, pelan. Dia berusaha untuk membuka mata, masih dengan alat bantu pernapasan.

"Di rumah sakit. Kamu semalam pingsan di kamar mandi," kata Regan.

Nadia menatap lama wajah pria di hadapannya. Persis seperti yang dia lihat dalam mimpi barusan. Mimpi yang terasa sangat nyata hingga hampir saja dia tak bisa membedakan dirinya berada di mana saat ini. Di mimpikah atau dunia nyata?

"Kenapa nangis? Ada yang sakit?" tanya Regan, dengan lembut.

Pria inilah yang menggendong sosok bayi menangis dalam mimpinya. Namun, mengapa tadi Nadia sama sekali tak mengenali Regan? Nadia menggeleng pelan.

Love, Revenge, & Secret ✅ Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu