4 | MEMBERI PENJELASAN

3.4K 272 4
                                    

Karena masih berhutang penjelasan, Dinda dan Rini akhirnya memutuskan memakan tongseng yang dipesan tadi di warung tersebut. Warung itu kini kembali ramai pembeli--yang memilih membungkus tongseng--serta pengunjung--yang lebih ingin makan di tempat--hingga membuat Jaya dan Agil bekerja keras seperti dulu lagi. Deni--anak sulung Jaya--terpaksa pulang cepat dari tempatnya mengojek di pangkalan ojek Malangbong. Deni sempat terpaku saat melihat sosok Dinda di tengah ramainya pembeli, di warung Bapaknya hari itu. Namun Dinda memberi tanda pada Deni untuk membantu Jaya dan Agil terlebih dahulu, dan baru nanti saling menyapa jika semua pekerjaannya sudah selesai.

"Bungkusin itu yang delapan porsi, Den. Pesanannya Bapak yang pakai baju biru," ujar Jaya.

"Iya, Pak," jawab Deni, langsung mengurus bungkusan dengan cepat.

Agil bertugas menakar tongseng ke dalam plastik bagi yang membungkus, sementara Jaya bertugas menyajikan tongseng bagi yang mau makan di tempat.

"Masya Allah ... enak banget tongsengnya, Din," ujar Rini, jujur.

Rini sangat menikmati makanan yang tersaji saat itu, ketimbang yang tadi mereka makan di restoran milik Hesti dan Roy. Dinda pun tersenyum usai memerhatikan ekspresi di wajah sahabatnya tersebut.

"Iya, Rin. Rasanya memang seenak itu. Dulu, Almarhum Papa dan Almarhumah Mama gue sering banget ngajak makan di sini. Warung tongseng ini tuh penuh kenangan buat gue. Makanya, gue kayak merasa enggak ikhlas aja pas lihat bagaimana kondisinya tadi. Sepi, kering kerontang," tutur Dinda, sambil memakan keripik tempe yang selalu menjadi ciri khas di warung itu sejak dulu.

Rini bisa menangkap secercah kerinduan dari ekspresi Dinda, terhadap Almarhum kedua orangtuanya. Ia tahu betul kalau Dinda memang begitu kehilangan ketika kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan, sementara dirinya justru hanya mengalami koma. Dulu Dinda bahkan sering sekali mengungkit tentang hal itu, dan selalu mengatakan mengapa dirinya tak ikut meninggal ketika orangtuanya meninggal. Hanya saja, Dinda yang sekarang ada di hadapan Rini sudah jauh lebih bisa mengikhlaskan kepergian orangtuanya, meski kerinduan itu jelas takkan bisa dipungkiri keberadaannya.

"Aduh, punten pisan. Tongsengnya habis. Mungkin nanti sore baru ada lagi, karena ini sementara baru mau dimasak yang baru," ujar Jaya, merasa tidak enak pada pembeli yang baru masuk ke warung tersebut.

"Jam berapa tersedia lagi, Mang Jaya?"

"Sekitar jam empat, Insya Allah," jawab Jaya.

"Kalau begitu saya pesan memang aja, ya, Mang Jaya. Kasih lima porsi tongseng tanpa nasi, sama keripik tempenya tiga bungkus. Ini uangnya. Nanti biar saya tinggal ambil pas jam empat."

"Oh, iya Pak. Nanti kalau begitu akan langsung saya bungkus dan Bapak tinggal ambil," balas Jaya, seraya menerima uang yang diberikan oleh si pembeli.

Ketika si pembeli sudah pergi, Agil segera menutup sementara warung itu. Jaya pun mengajak Dinda dan Rini untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Mang Jaya, Dinda sama Rini numpang shalat dulu, ya. Soalnya kami berdua belum shalat dzuhur, Mang," ujar Dinda, meminta izin.

"Oh, iya. Boleh, Neng. Sok, kalau mau shalat mah. Wudhunya di belakang. Nanti pakai aja mushala kecil di samping kamar Agil itu. Nanti Mamang ambilin mukena punya Almarhumah Bibi di kamar," tanggap Jaya.

Dinda dan Rini pun segera beranjak ke belakang untuk berwudhu. Mereka langsung melaksanakan shalat di mushala kecil yang ada di rumah itu. Deni menyikut lengan Adiknya, lalu memberi tanda kalau ia ingin bertanya.

"Kenapa tiba-tiba Neng Dinda bisa ada di Cijanur lagi? Terus, kenapa warung kita tiba-tiba jadi rame lagi kayak dulu?" tanya Deni, berbisik.

"Tunggu Neng Dinda sama Neng Rini selesai shalat aja, Kak. Nanti mereka berdua yang mau jelasin soal warung kita. Kalau soal Neng Dinda yang tiba-tiba ada lagi di Cijanur, itu karena dia memang pindah ke sini untuk tinggal secara permanen di rumah baru yang dibangun sebulan lalu itu," jelas Agil.

"Oh ... itu rumah Neng Dinda? Terus dia tinggal sama siapa? Sama Neng Rini aja, atau sama kedua orangtuanya juga?"

"Kata Bapak, sih, orangtuanya Neng Dinda udah meninggal. Neng Dinda sendiri yang bilang pas Bapak tanyain, tadi," jawab Agil, sambil mengaduk kuah tongseng di dapur.

Dinda dan Rini telah selesai melaksanakan shalat. Keduanya segera beranjak dari mushala menuju ke sofa yang ada di ruang tamu. Di sana, Jaya telah menunggu mereka sejak tadi, demi mendapat penjelasan yang telah Dinda janjikan. Dinda dan Rini duduk berdampingan, tepat di hadapan Jaya.

"Terima kasih, Mang, atas tumpangan buat kami shalat," ucap Rini.

"Iya, Neng Rini. Sama-sama," balas Jaya, ramah.

Dinda pun kini menatap Jaya dengan serius.

"Jadi begini, Mang Jaya. Dinda akan jelaskan tentang apa yang Dinda katakan dan lakukan tadi, saat baru menyapa Mang Jaya," Dinda memulai.

Jaya mendengarkan dengan seksama, begitu pula dengan Agil dan Deni yang sedang ada di dapur.

"Dinda enggak bohong soal warung Mang Jaya yang tidak terlihat oleh Dinda maupun Rini, ketika kami mencari makan siang sekitar pukul setengah dua belas. Saat kami kembali dan Mang Jaya ada di depan warung, barulah Dinda sadar kalau warung Mamang ternyata buka. Dan saat Dinda mendekat untuk menyapa Mamang, Dinda melihat makhluk hitam yang ada di ambang pintu warung. Nah, makhluk itulah yang menyebabkan warung Mang Jaya tidak pernah terlihat oleh orang-orang yang lewat. Padahal, Mang Jaya selalu buka dan tongseng di warung ini selalu tersedia," jelas Dinda.

Jaya masih terdiam dan berusaha mencerna dengan akal sehatnya, terkait penjelasan yang Dinda berikan saat itu.

"Neng ... tunggu ya. Tunggu sebentar. Mamang benar-benar enggak ngerti sama apa yang Neng Dinda jelaskan barusan. Makhluk itu ... makhluk apa maksudnya?" tanya Jaya.

"Makhluk halus, Mang. Itu yang Dinda maksud dari tadi," Rini membantu Dinda menjawab.

"Neng Rini juga lihat?" tanya Jaya lagi.

"Enggak, Mang. Saya enggak bisa lihat makhluk itu seperti Dinda melihatnya, tapi saya bisa merasakan. Hawanya akan sangat berbeda kalau Dinda udah lihat makhluk-makhluk halus begitu, dan saya jelas akan langsung bereaksi negatif," jelas Rini.

Jaya pun segera kembali menatap ke arah Dinda dengan tatapan tidak percaya.

"Sejak kapan Neng Dinda bisa lihat yang kayak begitu? Pernah bantu orang lain juga sebelumnya, seperti Neng Dinda bantu Mamang tadi?" Jaya ingin tahu.

"Udah sekitar tujuh tahun terakhir, sih, Mang. Sejak Dinda mengalami kecelakaan bersama Almarhumah Mama dan Almarhum Papa. Dinda koma selama dua minggu, sementara Mama dan Papa meninggal dalam kecelakaan itu. Setelah Dinda bangun dari koma, Dinda bisa lihat makhluk-makhluk halus itu. Dinda juga pernah kok bantu orang lain, seperti Dinda bantuin Mang Jaya. Lebih parah malahan kasusnya waktu itu. Tapi alhamdulillah orangnya selamat dan makhluk yang diutus enggak pernah balik lagi, karena takut Dinda mencari rumah yang mengutus," jawab Dinda, sambil tertawa santai.

Deni dan Agil sudah merinding sejak tadi di dapur, usai mendengar penjelasan Dinda dan Rini. Agil sendiri sampai gemetar, karena dia adalah orang yang tadi membantu Dinda mengangkat tiang penyangga tenda warung tempat makhluk itu bersarang.

"Terus kalau boleh tahu, makhluk apa tadi yang ada di ambang pintu warung Mamang, Neng Dinda?" Jaya benar-benar penasaran.

"Genderuwo, Mang. Tapi ... cuma utusannya aja. Bukan inangnya," jawab Dinda.

Rini pun melotot seketika.

"Loh? Genderuwo? Bukannya tadi di restoran punya Suaminya Neng Hesti, elo lihat genderuwo juga, ya? Kok bisa sama, sih?" tanya Rini, tak habis pikir.

* * *

Calon Tumbal [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now