Bersama Syanum, santriwati komplek tahfidzh Asiyah, sekaligus teman satu prodinya di kampus, Una berjalan menuju gedung Pusat Pengembangan Bahasa untuk mengikuti kelas bahasa inggris yang diampu oleh seorang dosen muda, Mrs. Anindya.
"Oh iya, ngomong-ngomong udah ketemu orang yang sampeyan cari?" tanya Syanum di sela langkah kakinya.
Una menggeleng lemah.
"Susah juga, sih, ya, Mbak kalau clue-nya terbatas."
Syanum benar, susah sekali menemukan seseorang yang tidak kita ketahui identitas jelasnya selain wajah dan tempat di mana ia kuliah.
"Iya, Mbak Num. Udah gitu relasi-ku di kampus juga terbatas," jawab Una setelah menghela napas.
Sejak kejadian beberapa bulan lalu di mesin ATM itu, Una segera memberi tahu Bu Nyai. Mereka ngobrol cukup panjang di ruang tamu ndalem.
Lalu pada akhirnya, sebagai wujud syukur dan terimakasih, Bu Nyai justru memberi Una dan Retno beberapa uang. Una sempat menolak karena ia merasa tak berhak, itu hak pemuda itu.
Tapi Bu Nyai memaksa. "Kalau Ibu ndak bisa ngasih ke pemuda itu, maka Ibu kasih ke kamu, saja. Kamu dan Retno udah bantu Ibu. Ini buat kalian, jangan ditolak."
Akhirnya tidak ada pilihan lain, Una menerima pemberian itu meski dalam hati, ia tetap berjanji untuk memberikan rizki ini pada yang berhak menerimanya; yakni pemuda itu.
"Setuju sama sampeyan, itu bukan hak-ku." Itu yang Retno katakan juga ketika Una memberi tahunya.
Setelah itu, Una kemudian mantap memutuskan untuk menyimpan uang yang jumlahnya cukup banyak itu dan mengharamkan dirinya untuk memakainya.
Maka sejak itu dimulailah perjalanan Una untuk mencari sosok sang pemuda. Berbekal satu identitas yakni pemuda itu juga kuliah di kampus yang sama dengan dirinya.
'Dia sekampus sama njenengan, dan juga mondok di sekitar sini. Malah bisa jadi dia santri Al-Dalhar juga,' ujar Retno saat itu mengonfirmasi.
Tapi kemudian setelah berbulan-bulan tiada hasil. Ada banyak fakultas di kampus. Satu fakultas terdiri dari beberapa jurusan. Satu jurusan memiliki puluhan kelas. Satu kelas dipenuhi puluhan mahasiswa.
Sebenarnya, kelas bahasa ini memberinya lebih banyak peluang karena dalam satu gedung ini ia bisa berbaur dengan anak-anak dari berbagai fakultas dan prodi.
Tapi, tetap saja nihil. Tiada hasil.
🌺🍁🌹
"Bu Nyai tindakan ke mana, Ning?" Salwa menyembulkan setengah badannya di lawang aula indoor.Una yang tengah nderes al-Qur'an di pojokan tak langsung menjawab, sampai akhir ayat baru menoleh. "Ibu lagi ikut ziarah wali songo bareng Pak Kyai Ashif."
"Berapa hari?"
"Lima sampai enam hari, Sal."
"Berarti setorane sama njenengan?" gurau Salwa.
Una tersenyum, buru-buru menggeleng tegas. "Ndak, lah, nanti setorannya sama Ustadzah Husna dari komplek Asiyah."
"Oalah, nggih-nggih." Setelah mengucapkan terimakasih, Salwa pun ngeloyor ke kamarnya di lantai atas.
YOU ARE READING
NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening
General Fiction(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki iman," ucap Tsania. "Aku percaya.Tapi, bukankah iman lebih baik tetap di hati? Benamkan di tempat terdalam hingga ia menjelma akar-akar yang me...