BAB 1 - Anggi Cahya

4 1 0
                                    

Anggi, begitulah sapaannya yang t'lah melekat semenjak ia lahir di Bumi yang mulai tak sejuk akibat menipisnya Hutan Kota di tanah ibu Pertiwi. Rambutnya hitam pekat, panjang dan terurai membuat Anggi tampil layaknya gadis biasa... tak banyak bergaya seperti gadis-gadis kota lainnya.

Anggi adalah salah satu siswi SMA-K di Kota Bandung. Ia adalah sosok yang berbeda. Ketika bel pulang berbunyi, kebanyakan teman sekelasnya beranjak menuju Mall untuk sekadar jalan-jalan ataupun berbelanja, namun Anggi tidak. Ia memilih langsung pulang dan membuka bukunya. Ia akan terlihat sangat rajin belajar oleh mata yang baru mengenal ataupun tak mengenalnya dengan dekat.


"Belajar?" tanya Ibunya setelah beberapa menit Anggi masuk kamar dan mulai membuka bukunya.

"... ummm, Anggi sedang ingin menulis, bu." jawab Anggi ragu-ragu.

"Cerita? Diary? Atau hal-hal tidak berguna lainnya?" tanya sang ibu mulai menghakimi sang Anak untuk kesekian kalinya.

"Tapi Anggi suka, bu. Anggi mau jadi seperti apa yang Anggi ingin dan Anggi sukai. Anggi ingin jadi penulis." jawab Anggi mencoba meyakinkan ibunya untuk kesekian kali tak terhitung lagi.

"Ibu sudah katakan bahwa hal itu tidak berguna! Itu tidak akan membuatmu sukses! Yang kamu lakukan hanya membuang-buang waktu!" jawab sang ibu yang mulai mengeras dan Anggi hanya terdiam mulai menahan tangis.

"Ibu menyekolahkan mu di sekolah yang mahal agar kelak kamu bisa menjadi seorang Dokter, seperti kakakmu! Lihat dia! Pekerjaannya sudah tentu jelas dan dapat dibanggakan!" lanjut sang ibu tetap dengan nada keras.

"Anggi juga berusaha buat ibu bangga dengan cara Anggi sendiri." jawab Anggi pelan diiringi isak tangis.

"Ibu tidak paham lagi dengan mu, Anggi. Ibu capek." balas sang ibu dan langsung keluar dari Kamar sang anak.


Anggi mulai menghapus air matanya. Rasanya sudah biasa karena terlalu sering mendapati perlakuan tersebut hanya karena cita-citanya yang tak direstui oleh sang ibu.

Kakaknya adalah seorang dokter spesialis ahli jantung yang telah bertugas di salah satu rumah sakit khusus pusat jantung di Jakarta. Walaupun tergolong sebagai dokter baru, yakni 6 bulan, namun sang kakak memanglah pintar. Setelah menyelesaikan studinya di salah satu Universitas ternama dan lanjut mengambil spesialis, sang kakak langsung bekerja di tempat yang sebelumnya ia tempati Ko-As sebagai dokter spesialis.

Berbeda dengan Anggi, ia sangat jauh dari 'jalur' sang kakak. Anggi ingin menjadi seorang penulis yang dikenal karya-karyanya. Ia ingin setiap kisah yang ditulisnya menjadi sebuah inspirasi dan penyemangat bagi orang-orang yang membacanya. Ia ingin kisahnya berdengung di bumi Pertiwi. Ia ingin orang-orang yang sepertinya bisa kuat. Anggi pun merasa kuat dan terus semakin kuat menjalani hidup tatkala menuliskan kisahnya yang selalu ia semogakan agar bisa terbit dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia suatu saat nanti.


***


Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, Anggi berdiri di balkon samping kamarnya dan menatap langit sembari terus berpikir mengapa keluarganya bisa berada di titik saat ini. Bukan persoalan harta, melainkan kehangatan yang tak ada seperti di rumah-rumah lainnya. Sebut saja pak Toni, si tetangga yang rumahnya berada tepat di samping kiri rumah Anggi. Rumah itu biasa saja, tidak besar dan tidak pula kecil, namun sesekali Anggi melihat kehangatan di rumah tersebut dari atas. Pak Toni mempunyai seorang istri dan tiga orang anak. Kesemuanya adalah perempuan. Sesekali pada sore hari yang tidak menentu, Anggi melihat keluarga kecil itu berkumpul di teras rumah. Si anak yang masih kecil, kurang lebih terlihat berumur 8 tahun selalu bermain ayunan sederhana yang terbuat dari kayu yang diikatkan pada salah satu dahan pohon yang kuat.

Anggi adalah anak ke-dua dari dua bersaudara. Kakak laki-lakinya yang sudah menjadi Dokter mau tak mau harus pindah dari Bandung menuju Jakarta sesuai dengan tempatnya bekerja. Walaupun tak jauh dan masih bisa ditempuh dengan menggunakan mobil, namun tetap saja jarak Bandung-Jakarta membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sang kakak biasanya pulang dua minggu sekali dan hanya tinggal dua hari saja.

Sang ayah t'lah pergi semenjak Anggi duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 4. Entah apa penyebab pastinya, setiap kali Anggi bertanya, ibunya hanya diam tak menjawab dan kemudian meminta untuk tidak membahas hal tersebut dengan nada yang terdengar cukup keras.

Hal inilah yang membuat Anggi takut akan cinta. Ia takut menjadi sosok wanita yang keras seperti ibunya, juga ia takut akan berakhir seperti orang tuanya yang tak lagi bersama.

Kemampuan sastra yang Anggi miliki berkembang sangat pesat hingga ia secara sadar selalu menelaah kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidupnya. Seperti sang ayah yang pergi dan tak bersamanya lagi, walaupun sang ibu tak pernah menjelaskan apa yang terjadi, Anggi mampu berpikir walaupun ia juga sadar bahwa dirinya hanya menerka-nerka, tak tahu kepastiannya seperti apa. Hal inilah yang selalu ia tuangkan dalam setiap goresan tinta dalam buku membentuk kisahnya. Dibaluti imajinasi dan kata-kata menawan nan menguatkan, sebenarnya ia mencoba menguatkan dirinya sendiri dengan cara menulis. Pengharapan yang selalu diharapkan, Anggi ingin suatu saat nanti kisahnya tersebar, dikenal dan dibaca oleh sang ayah, dan juga ibunya yang sangat keras padanya sampai saat ini.


***


Penasaran dengan kisah selanjutnya?
Relate dengan kehidupan mu?
Bagaimana perjalanan Anggi mengarungi hidup yang selalu diharapkannya akan berakhir bahagia?

Jangan lupa follow Wattpad author ya!
Jangan lupa juga untuk masukkan cerita ini di daftar perpustakaan baca kalian agar saat update kalian bisa mendapatkan notifikasi update nya! ❤️

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 20, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tulusnya Cintaku (Tak Sempurna) • Inspired by Citacitata - Tak SempurnaWhere stories live. Discover now