6. Enam

79 21 94
                                    

"Eh yang kalian maksud monster itu ... Delta?"

Kila menatap wajah Dara dengan raut serius. Ryn yang ada di sampingnya juga menampilkan kondisi muka yang sama. Tumben sekali Kila serius.

Kila mengibaskan tangannya, mengisyaratkan agar Dara mendekat ke arahnya. Pertanda gadis itu akan membisikkan sesuatu—hal yang sangat penting, mungkin.

"Lo tau? Delta sering berkeliaran di deket pohon yang ada di lapangan, dan Delta itu manusia paling aneh dan serem sedunia!" kata Kila dengan suara terlampau pelan. Dara hanya mendengarnya samar, tapi masih bisa ia pahami.

Bukannya terkejut, Dara malah tertawa. Apa yang dikatakan Kila sama sekali tidak masuk akal. Apa katanya tadi, aneh dan seram? Itu terdengar sangat lucu, seperti kata-kata anak kecil.

Kila mendengkus kesal, "Kok lo ketawa, sih?"

Dara menggeleng, tidak berhenti tertawa. "Lanjut, Kil!"

Kali ini Ryn yang angkat bicara, sudah sejak tadi gadis itu menyimpan kalimat yang ingin ia utarakan. "Lo juga harus tau, Dar. Delta itu gak punya temen. Denger-denger kalo tengah malem Delta sering keluar asrama, gak ada yang tau kemana."

"Kata anak kelas sebelah, dia pernah liat Delta keluar. Pas dia ikutin ke mana dia pergi tiba-tiba ilang. Gue yakin, sih. Dia bukan manusia," lanjutnya menerangkan berita yang masih berstatus 'katanya'.

Kali ini Dara jadi merinding, ucapan Ryn lebih jelas dan masuk akal daripada yang diterangkan Kila tadi. Dara masih juga belum yakin kalau Delta memang monster, wujudnya saja manusia, kan?

"Apaan, deh Ryn. Dia manusia kali! Cuman udah mirip monster aja. Sebenernya dulu pas awal-awal kelas sepuluh, Delta punya temen. Cuman gara-gara berantem Delta dihukum, dia dibawa ke kantor. Ada yang bilang kalo Delta disidang sama kepala sekolah, dewan dan direktur," jelas Kila dengan suara yang lebih keras dari pada sebelumnya.

Ryn memukul bahu Kila pelan, "Ya elah! Sama aja kali!"

Ryn melanjutkan ceritanya. "Kabarnya Delta jadi bahan percobaan eksperimen aneh. Pasca hukuman itu, Delta sempet gak masuk sekolah agak lama—"

Kila memotong perkataan Ryn, gadis itu bercerita gaya sok misterius, penuturannya seperti narator yang di film-film misteri. "—Abis itu pas dia berangkat auranya jadi beda, makin dingin dari dulu, kayak gak ada tanda-tanda kehidupannya. Lebih kayak monster, sih. Bawaannya kalo deket dia jadi pengin kabur!" tutur Kila hiperbola.

Dara tercengang sekaligus heran. Belum yakin dengan apa yang temannya katakan, tapi omongan keduanya terdengar seperti kenyataan. Yang janggal hanya saat Delta jadi bahan eksperimen aneh, masa iya cuman gara-gara berantem hukumannya bisa sampai jadi monster?

"Kalian yakin?" tanya Dara dengan alis yang saling bertautan. Berusaha memastikan informasi yang ia dengarkan.

Ryn mengendikkan bahu, "Belum yakin sih, tapi coba lo liat, deh. Delta emang kayak gitu kan kenyataannya?"

"A—"

Lagi-lagi Kila menyerobot, kali ini kalimat Dara yang ia potong. "Iya, kan. Emang kabar itu bener, gak hoax. Cuman belum terbukti aja."

"Em ... ya, sih. Tapi—" Dara melamun, memikirkan ulang apa yang akan ia ungkapkan. Informasi tadi masih belum jelas kebenarannya. Sialnya masalah itu menjadi beban pikiran di otaknya. Efek punya otak kepo-an ya gini!

Suara peluit membuyarkan lamunan dan ribuan pertanyaan yang sebentar lagi meledak. Dara menoleh ke sumber suara, mendapati Ryn dan Kila yang sudah berlarian menuju gerombolan kelas dan Pak Broto juga sudah berdiri dengan beberapa bola di sana.

"Kayaknya gue salah pilih sekolah, deh," monolog Dara, kemudian berlari menuju gerombolan kelasnya.

••••••

Arion menatap buku sejarah setelah ia menyusupi semua halaman di dalamnya. Remaja itu menatap bangku kosong di sebelahnya. Entah mengapa, tiba-tiba Arion mengingat tentangnya. Setiap kali mengingat hal itu, hati Arion seakan teriris, perih rasanya.

Sudah hampir satu tahun, dia hilang dan tidak berpotensi akan kembali. Arion sama sekali belum bisa menghapus memori tentang dia. Padahal seharusnya ia hapus semua memori itu. Memori yang berbahaya.

Semua hal itu—yang telah membuat semuanya berubah. Merubah semua hal yang tadinya baik-baik saja menjadi tidak baik-baik saja. Menghilangkan sesuatu yang terasa sempurna—yang selama ini menjadi tumpuan kebahagiaan Arion.

Arion mengacak rambutnya frustasi. Mungkin sebaiknya ia menjedotkan kepalanya ke batuan agar hilang ingatan.

"Arion, bayar kas sekarang!" teriak seseorang yang membuyarkan pikiran Arion. Lelaki itu menoleh. Mendapati Ria—bendahara kelas sedang berkacak pinggang menatap Arion.

"Besok, deh, besok." Entah berapa kali Arion mengucapkan kata yang sama kepada Ria. Hampir setiap ditagih Arion akan mengatakan kata itu, tidak pernah absen!

"Lo ini gimana? Katanya mau jadi pakar ekonomi, pengin mencetak sejarah sebagai pakar ekonomi ternama. Yang ada ini mah, jadi penunggak uang kas ternama," sarkas Ria, kesal.

Siapa sih yang tidak kesal dengan ribuan janji yang tidak pernah ditepati. Ingat dia itu butuh bukti, bukan hanya janji! kok jadi curhat, sih

Arion menatap Ria yang kini bersedekap dada. Sudah seperti debit collector yang menagih hutang pada nasabah. Padahal sebenarnya cita-cita Ria itu menjadi menteri keungan negara.

"Kalem, Ri. Entar kalo gue udah jadi pakar ekonomi beneran gue bakal lunasin, jadi kalem aja, oke?" Arion mengelurkan kalimat itu dengan mudahnya. Tidak tahu jika kemarahan Ria sudah sampai ubun-ubun. Padahal tunggakan Arion tidak sampai 100 ribu, tapi kenapa gadis ini terus menagih uang kasnya itu.

"Kalo nunggu lo jadi pakar ekonomi, udah mati duluan guenya, dodol," kata Ria yang sudah bersungut sejak tadi.

"Ya, jangan mati dulu."

"Pokoknya bayar sekarang! Gak ada besok-be—eh ya ampun." Ria kaget setengah mati saat Rasya yang entah dari mana tiba-tiba menongolkan kepalanya di balik pintu. Gadis itu refleks mengelus dada.

Rasya menampilkan raut wajah tidak peduli dengan apa yang terjadi kepada Ria akibat imbas dari kelakuannya.

"Arion! Lo suruh kumpul osis, katanya suruh bantu persiapan ujian senin besok," kata Rasya dengan badan yang masih diluar dan kepala yang menggembul di daun pintu.

Ah! Arion baru ingat. Cowok itu berdiri hendak berjalan sebelum langkahnya dihadang oleh Ria. "Eits, bayar dulu."

Arion menghela napas panjang. Masih belum berhenti juga si Ria. Akhirnya dengan berat hati lelaki itu menarik paksa lembaran berwarna ungu dari dalam sakunya. Menyerahkannya dengan berat hati kepada Ria.

Ria menerima uang itu dengan kasar. "Baru sepuluh ribu. Sisanya besok! Awas kalo gak lunas gue colong duit lo di asrama!" ancam Ria kepada Arion yang hanya mengangguk. Soalnya tidak mungkin juga Ria akan masuk ke asrama cowok, kan dilarang.

Saat kaki Arion hendak melangkah, kegiatannya itu dicegat lagi, dan Ria lagi pelakunya. "Apa lagi, Riya?" Arion menambahkan huruf 'y' di tengah nama gadis itu. Arion sudah geram.

"Senin beneran ujian emang? Gue belum siap, nih!"

"Kepo." Arion langsung memacu langkahnya ke ruang osis tanpa menghiraukan ekspresi dari Ria yang sudah keki di tempatnya.

Clandestine (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang