Sebelas ; Spesial

605 151 6
                                    

Setelah lima lagu berakhir, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak, duduk dan meneguk air untuk melepaskan rasa penat serta dahaga. Chandra duduk di sebelah Felix, ia begitu penasaran dengan lelaki manis di sebelahnya ini. Bagaimana bisa seorang siswa sekolah menengah atas terlihat seperti anak umur dua belas tahun yang masih begitu kekanakan?

Revalino keluar dari ruang itu dengan seizin sang produser yang lebih tua, alasannya adalah untuk mencari udara segar, dan tentu saja diperbolehkan. Ruang band yang sempit itu memang terkadang membuat mereka tak nyaman.

"Kamu yang sabar ya Lix. Lino itu... punya kesulitan ngomongin ekspresi dia yang sebenernya.. Kita semua tau kalo dia sayang kamu, dia cuma gengsi, Lix."

Kalau dipikir-pikir sebenarnya pernyataan pemuda di sebelahnya itu benar adanya. Kerap kali kakaknya menunjukkan perhatian dalam bentuk yang lain, mengobatinya walau sambil mengomel, mengusap rambutnya saat ia tidur, mengucapkan pujian-pujian ketika ia sedang terlelap, dan masih banyak yang Felix ingat. Hal itu jadi membuatnya tersenyum malu-malu.

"Bener kok, dia sering bilang ke aku kalo dia khawatir sama kamu, soal kamu kerja di kafe. Makanya itu dia langsung transfer uang kan?" sahut Julia.

"Dan soal bullying itu, Kak Lino bisa mengatasi kok. Kakakmu itu jago berantem loh, Lix. Makanya hati-hati kalo ada yang jahatin kamu, kayak kata Dilan, orang itu akan hilang."

Kali ini lelucon yang dilontarkan sang vokalis membuat seisi rungan tertawa. Terdengar suara deritan pintu yang ditutup, sepertinya berasal dari sang empu yang sedari  tadi dibicarakan. Alisnya mengerut begitu ruangan itu menjadi hening. "Bicarain siapa?"

"Geer kamu No, orang kita ngomong random sama Felix," balas Chandra.

Yang masih berdiri hanya merotasikan bola matanya, ia memegang gitarnya kembali, membuka mulutnya untuk bersiap mengalunkan lagu. Dalam hatinya, ia bersumpah lagu ini ia nyanyikan untuk adiknya, tetapi ia tidak mau berbicara terang-terangan.

Belum Siap Kehilangan, itulah yang ia lagukan saat ini. Suara merdu nan halus dengan teknik vokalnya yang sempurna, mampu membuat hati Felix rasanya terberkati. Ia memejamkan matanya menikmati lagu yang ia tembangkan sendiri, begitu pula sang adik di hadapannya. 

"Suara kakak bagus banget, kapan-kapan nyanyi buat Felix ya?"

"Kalau saya mau."

"Idih, sok banget kamu kak? Biasanya juga non-formal," sahut Mahesa di sebelahnya.

"Diem kamu Esa."

Sontak, seluruh penghuni ruangan langsung menertawakan Revalino dengan sikap tsunderenya. Felix merasa hangat, belum pernah ia merasa begitu diterima selain dengan Jeo, ia benar-benar bersyukur telah dikelilingi oleh orang-orang baik.

"Aku lupa harus nyiapin buat sidang, kalo aku pulang dulu, kalian keberatan?"

"Mending selesai sampai sini aja Kak Chan, latihannya. Ini juga udah lumayan sore, kita udah puter lagu lumayan banyak kan?"

Duh, Chandra rasanya jadi tidak enak begini tapi bagaimanapun, kuliahnya memang lebih penting. 

"Beneran gapapa, Esa?"

"Ya gapapa lah, kan?"

Semuanya mengangguk setuju, memaklumi kesibukan sang produser yang memang sungguh padat karena ialah yang paling tua disini, paling dekat untuk mengejar skripsi dan kelulusannya. Akhirnya, mereka membereskan perlengkapan serta pamit pada penjaga ruangan tersebut. 

Felix dituntun kembali ke mobil oleh yang lebih tua, ia menurut saja begitu sabuk pengaman dipasangkan, seperti saat berangkat tadi.

Keadaan menjadi sunyi tanpa playlist Revalino yang diputar. Terlebih, tak ada salah satu di antara mereka yang ingin membuka suara.  

"Mau makan dimana?" Tanyanya memecah keheningan.

"Sikap kakak akhir-akhir ini berubah ke Felix."

Bukannya menjawab, ia malah mengalihkan pertanyaan tersebut dengan sebuah pernyataan yang membuat Revalino menghela nafas dalam-dalam.

"Kamu mau bilang kan kenapa saya tiba-tiba baik?"

"..."

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut yang lebih muda.

"Boleh saya ceritakan dari awal?"

Lawan bicaranya mengangguk, walau ia tak yakin dengan pilihan yang telah ia buat. "Boleh kak, tolong cerita."

Revalino memantapkan hatinya sekali lagi, mengusir segala rasa malu, gengsi, enggan itu pergi dari pikirannya. Sejenak, hanya untuk kali ini.

"Semenjak kejadian itu, saya selalu membenci kamu dan ibu kamu, Felix. Hingga suatu saat Julia menyadarkan saya, sikap seperti itu benar-benar tidak dewasa, saya malu mengakuinya, tetapi perkataannya memang benar." 

"Dan seperti yang kamu bilang, saya memang dibully dengan beberapa teman saya. Tetapi itu tidak membuat saya malu memiliki kamu sebagai adik, Felix. Kamu kira saya tidak melawan? Saya berpura-pura lemah agar tau, siapa teman saya yang sebenarnya ketika mengetahui saya memiliki adik yang mempunyai sebuah kekurangan."

"Kamu tau kenapa saya tidak menyekolahkan kamu di sekolah umum? Kenapa saya memilih untuk menyekolahkanmu dengan Pak Jackson?"

"..."

"Karena saya tidak mau kamu mengalami hal yang sama dengan saya. Saya tidak ingin kamu dikucilkan, dijauhi, dianggap berbeda, karena kamu itu spesial, Felix. Dan Pak jackson adalah satu-satunya orang yang mengerti betapa spesialnya kamu."

"Saya itu... mengalami kesulitan untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya saya rasakan. Saya sadar setelah Julia menampar saya dengan kata-kata, karena saya mengungkapkan rasa sayang saya dengan cara yang salah."

Kamu itu spesial, Felix.

Spesial.

Air matanya lolos begitu saja, dan kakaknya hanya diam, memperhatikan jalanan dengan fokus dan sesekali mencuri pandang padanya. Ia tidak menyangka sosok Revalino Aksara begitu melindungi dirinya. Padahal wajar sekali bila pemuda yang notabenenya begitu sempurna itu malu mengakuinya sebagai adik.

"Saya memarahi kamu di kafe waktu itu, karena saya tidak ingin kamu kelelahan harus bekerja, Felix. Itu kewajiban papa yang harus menafkahi kita berdua. Tetapi kamu memang suka memasak, jadi saya membiarkan apa saja yang ingin kamu lakukan. Dan ternyata, teman-teman kafe kamu memang baik, saya tidak punya alasan untuk mengekangmu dan bertemu dengan pria gila di  rumah."

"Saya lebih senang melihat kamu di kafe ketimbang harus bertemu papa."

"Sekarang, kamu mau makan dimana? Saya yang traktir."

Ia menyunggingkan senyum. "Kafe Sweet Pea, boleh?"

"Kamu yang masakin ya?"

Ia terkekeh. "Iya kak, Felix yang masak."

Matahari & Brownies Where stories live. Discover now