14 - Urusan

15.1K 1.2K 33
                                    

Selamat membaca 💛

___

Nana berlari menuju ruang tengah di mana mama mertuanya duduk di sofa. Nana terengah-engah dan duduk di lantai, bersandar pada sofa. Gadis itu mengatur napasnya. Tersenyum polos menatap sang mama mertua. Mia pun hanya mengernyit menatap tingkah menantunya.

"Kamu kenapa, Na?" tanya Mia pelan.

"Mau di tangkap suami Nana, Ma," jujur Nana yang membuat Mia semakin mengernyit.

"Pak Jackson ngejar Nana," jelas Nana lagi.

"Astaga kalian ini, kirain kenapa. Tapi bagus deh, kalian cepet akurnya." Mia mengusap puncak kepala menantunya.

"Nana gak suka pertengkaran, Ma." Nana menatap lembut wajah mertuanya. Gadis itu berkata jujur. Bahkan dia lebih sering berkorban daripada harus melihat orang lain bertengkar.

"Tapi jangan pendam semuanya sendiri, Na! Kalau kamu marah atau sedih, kamu bisa ungkapin. Semua itu gak selalu buruk. Jujur sama perasaanmu dan ungkapin isi hatimu. Terkadang dengan begitu orang bisa mengertimu. Bahkan bisa aja membantumu," nasihat Mia pada menantunya.

"Makasih nasihatnya, Ma." Nana tersenyum lembut pada mertuanya.

"Ingat baik-baik kata-kata Mama. Kalau ada apa-apa sama Jackson, bilang sama Mama! Mama ini mamanya Jackson, yang ngurus dia sejak kecil. Jadi Mama tahu dia, makanya bilang ke Mama kalau dia nyakitin kamu. Mama gak akan belain dia meski dia anak Mama kalau dia jahat," tutur Mia sungguh-sungguh.

"Pasti, Ma. Terima kasih banyak ya."

Nana mendekat pada Mia. Gadis itu menaruh kepalanya di pangkuan Mia. Nana merasa begitu beruntung memiliki suami dan mertua yang baik hati. Berkorban sedikit saja tidak ada apa-apanya bagi Nana. Dia sudah sangat bahagia berada di antara Jackson dan mamanya.

"Mama sayang banget sama kamu, Na. Mama gak beda-bedain antara anak sendiri atau menantu. Kamu menikah sama Jackson, sama aja kamu anak Mama. Mama gak beda-bedain kalian. Bahkan Arraz sama Milly juga," ujar Mia penuh rasa sayang.

Nana mengangguk, dia tidak bisa menahan air matanya. Dia bisa tidak menangis saat orang lain jahat padanya. Namun dia tidak kuasa menahan tangis haru saat orang lain berbuat baik padanya. Bahu Nana berguncang, gadis itu terisak pelan. Tiba-tiba saja dia teringat akan sosok ibu kandungnya yang tidak bisa dia harapkan. Bahkan ibu kandungnya tidak bisa dibandingkan dengan mama mertuanya.

"Kamu kenapa, Sayang?" Mia membelai rambut Nana.

"Gak apa-apa, Ma." Nana menggeleng, gadis itu masih menangis di pangkuan Mia.

Mia tersenyum kecil. Tidak tahu kenapa Nana menangis. Namun yang Mia tahu, Nana tidak sedang bersedih karenanya. Wanita paruh baya itu mengusap-usap lembut kepala menantunya. Dia baru saja bilang agar Nana mengungkapkan isi hatinya. Mungkin menangis adalah cara Nana melepaskan beban yang ditanggungnya. Mia hanya perlu menemani, dia tidak akan memaksa gadis itu bicara.

"Nana juga sayang banget sama Mama," bisik Nana begitu isakannya sudah berhenti.

"Mama tahu." Mia menegakkan tubuh Nana. Mereka berdua saling bertatapan dan tersenyum lembut.

___

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Nana dan Mia tengah berada di dapur untuk membuat makanan. Mereka hanya membuat menu sederhana untuk mereka makan. Sebenarnya bisa saja mereka beli, tapi mereka sengaja memanfaatkan waktu untuk memasak bersama. Mumpung Nana masih cuti dan Mia juga belum kembali beraktivitas.

Nana memasak telur balado dan ayam goreng untuk suaminya. Nana selalu ingat jika Jackson tidak mau sayuran. Namun dia juga membuatkan sup untuk mama mertuanya. Menu itu sudah disepakati oleh Mia. Jackson sangat suka ayam dan telur, jadi mudah baginya.

My Lecturer, My CEO, My Husband [Terbit: My Perfect Partner]Where stories live. Discover now