6

2K 201 5
                                    

Motor Vespa milik Airin pun sampai di depan Rumah sabil. Dan kebetulan juga, Bunda Sabil sedang berada di halaman Rumah--menyirami tanaman.

Sabil yang dibonceng pun turun, disusul Airin yang sedang melepaskan Helmnya yang kemudian ditaruh di spion motor.

Sabil berjalan kearah bunda, Di ekori Airin yang selepas itu mereka menyalami tangan Bunda secara bergantian.

"Ehhh.... anak-anak Bunda udah pulang.." sambut wanita itu kepada mereka. Seketika Airin pun tersenyum. Di sambung Sabil walaupun cowok itu begitu berat untuk menarik kedua sudut bibir miliknya.

"Kalian udah pada makan belum?" Imbuh Wanita itu. Airin pun cuma bisa nyengir hanya untuk mencairkan suasana. "Hehehe... udah kok bund." Jawabnya.

Bunda mengangguk-ngangguk, "kalo udah, masuk yuk. Bunda bakal buatin minum." Ujar wanita paruh baya itu sambil menggiring kedua bocah tersebut masuk ke dalam rumahya.

••••••••

"Jadi gimana sekolahnya Rin?" Ujar Wanita paruh baya itu menyimpan 2 cangkir teh hangat dari nampan. Kemudian ia duduk di kursi yang tak jauh dari sabil.

"Biasalah Bund, gak ada masalah kok. Toh, kita udah kelas 3. Bentar lagi juga bakal lulus. Jadi yaa... pelajarannya doang yang nambah banyak." Ujar Airin, Bunda cuma membalas dengan kekehan pelan.

"Yaa iyalah. Bentar lagi kan kalian masuk perguruan tinggi, yaaa... harus dibanyakin juga belajarnya." Sambung Bunda, Airin hanya menanggapi dengan mangut-mangut sambil tersenyum.

"Oh iya Rin? Katanya tadi ada yang mau di omongin, Mau ngomong apa emang?"

Deg!

Setelah Bunda mengingatkan Airin tentang itu, Jantungnya bergemuruh hebat. Pun dengan sabil yang menunduk sambil memainkan jari-jarinya.

Atmosfer di sekitar mereka seketika berubah drastis. Jantung Airin berdetak dengan cepat. Melirik sabil sekilas dengan pandangan 'sedikit' khawatir.

Bunda menarik alisnya bingung saat melihat tingkah laku mereka berdua. Dan 'seakan' hal yang akan Airin omongin adalah hal yang begitu penting. Walaupun, memang benar begitu adanya.

"Sabil? Airin?" Panggil Bunda kearah mereka. Hening, tidak ada suara yang terdengar lagi. Sangat berat, itulah kenyataanya saat Airin ingin langsung to the point ke Bunda.

Air muka Bunda langsung berubah kebingungan. Menatap kedua insan itu secara bergantian. "Kalian kenapa?" Sambungnya bertanya.

Dan kini wanita paruh baya itu pun menyadari, bahwa suasana di sekitar mereka berubah 180°. Sabil masih saja tertunduk, sedangkan Airin ikut menunduk karena hanya bingung yang melanda dirinya.

"Kok kalian diem?" Introgasinya sekali lagi.

Airin kembali mendongak perlahan, kemudian menghembuskan nafas panjang. Gadis itu menarik tas miliknya yang di gendong, membuka resletingnya dan mengambil sebuah lembaran surat.

Saat Airin menyodorkan lembaran surat itu, Bunda sangat bingung. Menatap airin dengan pandangan bertanya.

"Ini apa?" Ujarnya. Airin hanya bisa tersenyum menanggapi Bunda.

Kemudian, Saat bunda mulai membaca surat itu matanya bergerak ke kanan dan kiri secara perlahan. Semakin ia turun ke bawah untuk membaca kalimat berikutnya, Air mukanya semakin berubah. Ia sedikit terkejut, khawatir, dan takut yang semuanya berpadu di raut wajah wanita paruh baya tersebut.

"Sabil menderita penyakit Kanker paru-paru." Lirih Airin tiba-tiba, memecah hening diantara mereka. Sabil masih saja menunduk menahan tangisnya agar tidak tumpah. Mata bunda masih saja terfokus pada kertas itu, berusaha membacanya hingga paragraf terakhir. Walaupun dadanya berangsur sesak.

"Dan kata dokter, kanker itu baru saja memasuki stadium 3." Sambungnya tak kalah parau. Bunda melepas kontaknya dengan kertas itu. Menatap Airin dengan lekat.

Bahu sabil bergetar, sangat hebat. Tumpah, Air matanya mengucur deras. Terisak lirih berusaha untuk tidak mengeraskan suaranya.

"Kankernya bisa disembuhin. Asal saja sabil menjaga pola makan, banyak gerak, dan...." Airin menjeda kalimatnya, menatap sabil dengan sangat sendu. "Jangan stress dan banyak pikiran." Sambungnya parau.

Bunda menengok kearah Sabil dengan tidak percaya, "Benar itu nak?" Ujarnya bertanya.

Sabil mengangguk dengan pelan. Airin yang di sampingnya pun meraih bahu Sabil dan memeluk cowok itu erat. Berusaha menenangkan---lagi.

"Jadi sebelum kamu divonis memasuki stadium 3, pasti ada gejalanya kan?" Tanya bunda. Sabil menangguk lagi, dengan pilu.

"Kenapa gak bilang Bunda?"

Sabil diam, tak menanggapi. Tangisnya makin Lirih. Airin mengelus bahu cowok itu menenangkan.

"Bunda sering ngeliat kamu sering megangin dada, bunda juga sering ngeliat kamu batuk-batuk terus. Tapi kenapa gak bilang kalo kamu itu lagi sakit?" Tanya Bunda menaikan nadanya beberapa oktaf. Sabil menyenderkan kepalanya ke bahu Airin, terisak lirih.

"Kalo di tanya, malah di jawab gak papa mulu. Coba liat sekarang kan? Bill, kenapa sih bill..." sambung Bunda lagi dengan parau, Sabil mendongak berusaha menjawab.

"Hikks...! Sabil cuma gak mau ngerepotin Ayah ama Bunda. Hikss!... hikss!!.."

"Sabil!"

Bunda memekik. Sabil kembali menyandarkan kepalanya ke bahu Airin. Terisak lirih merasakan sesak di dadanya.

"Kamu itu anak kami, Adanya kamu itu tanggung jawab kami. Bunda ama Ayah gak pernah di repotin ama kamu. Sekalinya masalah besar pun, kalo kamu belum cerita ke Ayah ama Bunda, itu justru yang bakal ngerepotin kita." Ujar Bunda. Sabil masih saja terisak.

Kemudian, Bunda memijat pelipisnya sendiri pelan sambil memejamkan matanya. Entah apa yang dipikirannya, mereka tak tahu.

"Bunda mau nelfon ayah." Ujarnya dingin sambil Beranjak meninggalkan kursinya dan berjalan kearah Ruang tengah.

"Riinn..." Sabil kembali bersuara, memanggil Airin dengan suara parau. "Gue butuh Arkan Rin... Gue butuh dia." Sambungnya lirih.

Kembali, Airin tidak bisa apa-apa selain hanya diam sambil menenangkan cowok itu.

He's Homophobic ✔️Where stories live. Discover now