01. Epilogue - Prologue

2.1K 35 13
                                    

***

Through the alleyways~

To cool off in the shadows~

Then into the street~

Following the water~

***

Kukayuh sepeda melewati jalan kecil yang berada tepat di sebelah sungai Chelmer. Semilir angin terasa sejuk menerpa tubuhku yang sudah cukup berkeringat mengendarai sepeda sejauh hampir lima belas kilometer. Mungkin, jika aku menarik garis lurus dari rumah, aku bisa sampai ke muara sungai Chelmer yang mengarah langsung ke Laut Utara.

Udara pun terasa lebih hangat dari bulan-bulan sebelumnya. Musim perlahan memang berganti. Musim dingin yang benar-benar terasa menusuk kini sudah mulai berganti masuk ke musim semi, dimana udara terasa lebih nyaman dan sejuk. Peralihan musim ini juga yang menandakan liburanku di Inggris sudah berakhir.

Aku sendiri harus segera pulang ke Indonesia. Pekan depan aku harus menghadiri sidang seminar proposal untuk penelitian skripsi. Beruntung dosen yang menjadi pembimbingku selama skripsi mau melakukan bimbingan via daring, sehingga proses pengerjaan skripsiku bisa terus berlanjut meski aku sempat mengikuti Rallycross selama bulan Februari kemarin.

Lama mengayuh sepeda akhirnya aku sampai di pertigaan, dimana salah satu cabangnya tertuju pada jalan raya. Aku berhenti sejenak di pinggir kanal yang menjadi pembatas antara jalan dan ladang gandum di sebelahnya. Sejenak kupandangi pintu kanal yang nampak setengah terbuka.

"Lihat pintu kanal itu!"

Seketika suara seorang gadis kembali terngiang di dalam kepalaku. Ah, benar juga, jalan ini merupakan jalan yang biasa aku lewati bersama dengan gadis itu.

***

There's a bearded man~

Paddling in his canoe~

Looks as if he has~

Come all the way from the Cayman Islands~

***

Aku hanya bisa tersenyum mengingat-ngingat kejadian yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu. Kejadian dimana gadis itu mengejek seorang pria paruh baya yang sedang mendayung kanonya di tengah sungai. Dengan ringannya dia mengatakan bahwa pria itu datang menggunakan kano langsung dari Pulau Cayman karena jenggotnya yang tebal. Pria itu pun marah-marah dan langsung mendayung ketepian untuk mengejar kami. Spontan kami pun langsung mengayuh sepeda tandem pergi dari sana.

Seluruh memori tentang perjalananku dengan gadis itu terus bermunculan seiring dengan sepeda yang kukendarai mulai berjalan. Apalagi, kanal yang berada di seberang jalan tampak terus tersambung layaknya sebuah lingkaran, sama seperti masa itu.

"Kenapa kamu pegangi rambutku, Januar?"

"Rambutmu menghalangi pandanganku!"

"Ya sudah, pandangi aku saja ...."

Aku pun hanya bisa tersenyum mengingat masa-masa itu. Masa-masa dimana aku menyukai gadis itu dengan tulus. Rasanya sungguh sangat indah, seperti aku akan bersama gadis itu selamanya.

Sayangnya, hubunganku dengan gadis itu tak berakhir dengan baik. Pada akhirnya hubungan kami kandas ditengah jalan. Gadis itu lebih memilih seseorang yang menurutnya bisa memberikan banyak hal lebih baik daripada yang kulakukan kepadanya selama itu.

Entah kenapa, aku kembali terperosok di lubang yang sama. Aku mencintai Nadila dan selalu memberikan segala hal yang terbaik untuknya. Namun, balasan yang kuterima sama seperti saat aku bersama gadis itu. Nadila mengkhianati perasaanku dan akhirnya memilih membalas perasaan orang lain untuknya.

Lorem Ipsum Dolor sit Amet 2Where stories live. Discover now