Sayidan Menjadi Saksi

223 52 8
                                    

Sepuluh hari telah usai. Semua masih sama, masih pada tempatnya, yang berusaha ikhlas dan cukup mengenang.

Hanya saja, Mas Raden sedikit belum siap akan hal itu, dia sering mengunjungi makam Bapak ketika ia senggang.

Setelah penyelenggaraan Olimpiade yang pernah dibahas, beberapa pelajaran menjadi jam kosong sejak saat itu. Dan ketika jam kosong, Jafar, Caelan dan Renjana akan lenggang menuju kantin.

"Rea, nanti pulang sekolah bareng aku ya?" Jafar.

Mas Raden dan Jafar membagi jadwal untuk memberi tumpangan Renjana ke sekolah, kalau Mas Gibran sedang tidak kuliah, maka itu menjadi tugasnya. Walau motor Beat hitam milik Jafar jarang di cuci, tapi suasana ketika menaikinya tidak kalah dengan Vespa milik Mas Raden yang dibelinya dengan uang tabungan hasil kerja part time, walau masih ditambahi oleh Bapak.

"Kok tumben, Jafar ngajakin pulbar?"

Menatap sekilas punggung kawannya yang mengantre untuk membeli Baso. "Ya gak ada, lagi pengen makan di Mcd aja..."

"Wihh, traktiran nih?" pekiknya.

 Jafar adalah orang yang anti mentraktir tapi suka minta traktir, sama seperti Mas Raden. 

"Huss... Jangan kenceng-kenceng, nanti Caelan tau malah yang lain minta traktir!"

"Oh, oke-oke..."

Caelan terheran menatap kedua sahabatnya yang saling berbisik di tempat duduknya.

"Ngomongin apa kalian?"

"Enggak, lagi diskusi mau pulang bareng." Jafar yang telah menegak setengah gelas es teh miliknya.

"Haus?" Caelan terhenyak. "Btw, tumben inisiatif kasih tebengan, biasanya juga banyak alasan!"

Usai dari kantin, Caelan kembali ke lapangan basket untuk latihan. Dia salah satu anak basket yang cukup populer, walau tidak menjadi anggota tim basket pun ia tetap populer karena menyandang nama Aldari (Nama keluarga).

Sedangkan Jafar dan Renjana, hanya sibuk bercanda di lorong menuju kelas. Kemudian tak sengaja bertemu dengan Mas Seno dan Mbak Laras. Sebenarnya Jafar ingin meredam suasana canggung Renjana, dengan cara menggoda Mbak Laras.

"Kiw... Mbak Laras!"

"Makin cakep aja..." katanya seraya mengedipkan sebelah mata, dengan tangan yang masih bertengger di bahu Renjana.

"Punya sopan santun gak sih lo?" Mas Seno dengan wajah mengintimidasi, auranya cukup kuat.

Logat Jakartanya hanya ia gunakan ketika sedang marah. Sebenarnya masih sulit bagi Seno jika ia harus marah menggunakan kata kasarnya orang Jawa, mungkin karena tumbuh besar di Ibu Kota membuatnya sulit untuk meninggalkan kebiasaan itu.

"Eits, santai Mas. Bercanda doang kok, hehe..." elaknya seraya merangkul erat leher Renjana, dan sedikit mengusak rambut gadis itu.

"Lo tuh emang gak pernah diajarin, ya?!"

Semua tercekat, melihat tarikan paksa Mas Seno pada kerah baju Jafar, hingga anak itu terjinjit. Dengan amarah yang menggebu, Mas Seno meninju wajah Jafar berkali-kali membuatnya limbung ke lantai.

"Mas Seno, sudah!" Renjana yang berusaha melerai. Begitupun Mbak Laras yang menahan lengan Mas Seno, dan berusaha meredam emosi lelaki itu.

"Jafar, masih bisa bangun?"

"Ke UKS yuk!" Renjana merasa kasihan kepada anak itu, yang bersimpuh memegang perut dengan darah dan lebam di beberapa sudut wajahnya.

"Kayaknya, lo gak pernah dengerin nasehat Bapak, Far!" seraya menendang kaki Jafar.

Jogja Asmaraloka | Na Jaemin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang