Bab 2 : Kenyataan Hidup

4 2 0
                                    

"Siapa yang bernama Dewa?!" sentak seseorang yang tiba-tiba masuk ke depo air minum yang kecil ini. Tempat dimana Dewa bekerja pagi sampai siang dan itu pun jika dipanggil. Karena tempat pengisian air minum ini tidak begitu diminati, orang-orang di desa masih menjaga kealamian dengan mengambil air di sumur dan memasaknya sendiri. Kalimantan, tidak begitu banyak kemajuan. Pembangunan masih berjalan terlalu lamban. Terutama daerah Dewa yang menjadi dampak asteroid jatuh. Di sana tidak ada yang berani mendekat karena di atasnya ada gerbang sembilan, tempat para monster terkadang turun dan mengacau.


Terkadang, ia ikut memanen sawit atau kayu di hutan. Paling bagus, jika temannya sakit ia bisa membantu temannya menjaga warnet. Dalam kesempatan itu, sering kali Dewa gunakan untuk membaca beberapa pengetahuan, terutama berita tentang dunia luar. Pemburu yang mendunia dengan berada dalam tingkat emperor yang hanya dengan tinjauannya sudah berhasil membuat para monster itu mati.

Dewa yang tadinya membersihkan galon pun mendongak. "Dewa ada yang mencari kamu," kata bos Dewa dan pria ini pun akhirnya berdiri.

Tiga orang pria yang berpenampilan mirip seperti preman. Tubuh mereka kekar, dengan tato dimana-mana kecuali wajah mereka. "Siapa mereka ya, Wa?" ucap ibu bos yang terlihat takut dengan penampilan mereka.

Dewa pun masih bingung, hanya saja ia tidak ingin orang-orang ini membuat kekacauan di sini. Dewa pun memutuskan untuk membawa mereka menjauh. "Mari kita bicarakan di luar, pak," ajaknya dengan sabgatt sopan.

"Kita bicara di sini saja!" sentak pria botak, sepertinya ia pemimpin di antara mereka bertiga.Dewa tersenyum, terlihat berusaha sabar menghadapi ketiganya.


"Begini pak, ada banyak orang di sini, jadi lebih baik kita berbicara di luar," katanya yang lebih mendahului ketiga orang itu keluar. Jika ia terus ngotot berbicara di dalam, tidak menuntut kemungkinan mereka akan membuat keributan dan Dewa tidak akan bekerja di sini lagi karena hal ini.

Beberapa meter di gang depan, Dewa berhenti dan membalikkan tubuhnya. "Ada apa ya pak sebenarnya?" tanyanya lagi dengan sopan.

Orang itu maju dengan berkacak pinggang. "Ibumu punya hutang lima juta kepadaku. Kamu harus membayarnya sekarang!" ucapnya yang membuat Dewa terkejut bukan main. Padahal, setidaknya Dewa sudah memberi ibunya lima puluh ribu perharinya dan beberapa kebutuhan bulanan sudah ia belanjakan sendiri sampai-sampai Dewa tidak banyak simpanan untuk dirinya sendiri.

"Maaf pak, saya benar-benar tidak tahu." Dewa bingung dan hanya bisa berkata seperti ini.Ekspresi ketiga orang itu berubah. "Aku tidak mau tahu, ibumu bilang kamu yang akan membayarnya, jadi aku sekarang meminta uang itu!" gertaknya dan Dewa yang terkejut pun mundur secara reflek, tapi hal ini malah di salah artikan oleh ketiga orang itu.

"Bos, dia mau kabur!" seru salah satu dari mereka.

"Hajar dia!" perintah sang Bos.

"Tidak, kalian salah paham!" pekik Dewa panik. Ia tidak mengerti dengan semua yang terjadi saat ini, tapi orang-orang ini tidak mau memberikan penjelasan mendetail dan lebih memilih untuk memukulinya.

bak

buk

bak

buk

"Argghhh ...." Dewa mengeluh, merasakan sakit seluruh tubuhnya.

"Aku tidak punya uang pak," bisiknya lirih, suaranya terdengar begitu kesakitan. Dia, memang sedikit kuat, tapi tidak mungkin ada yang bisa menahan serangan tiga orang sekaligus.

"Aku kasih kamu dua hari lagi, kalau sampai uang lima juta ku tidak kembali. Aku akan menghancurkan rumahmu dan membawa adikmu untuk ku jual!" gertaknya yang membuat Dewa panik. Bagaimana bisa ia membiarkan mereka menghancurkan rumah serta membawa adiknya.

"Tidak, jangan ...," lirihnya dan ketiga orang itu hanya menertawainya sebelum akhirnya pergi meninggalkan Dewa.

"Dewa, kamu tidak apa-apa?" Dewa yang kesakitan mendongak dan mendapati bundanya menangis.

"Maafkan bunda, seharusnya bunda tidak berhutang kepada mereka," lirihnya dan Dewa yang begitu menyayangi bundanya tidak tega.

"Bun, sebenarnya kenapa bunda berhutang kepada rentenir itu?" Dewa mencoba duduk, meskipun ia merasa sakit pada dadanya karena beberapa kali di tendang barusan.

"Sebenarnya bunda hanya berhutang satu juta, tapi mereka melipat gandakan menjadi lima juta karena bunda tidak bisa melunasinya tepat waktu. Uang itu dipakai untuk membeli perlengkapan sekolah adikmu, termasuk seragam," lirih bunda dan Dewa pun mulai tahu, memang uang yang selalu ia berikan untuk bundanya adalah untuk belanja setiap hari. Untuk kebutuhan yang besar, Dewa tidak bisa mencukupinya.

---***---

Malam hari, saat bintang-bintang bertaburan di langit dingin. Dewa dengan peluh membasahi pelipisnya dan lebam bekas pukulan siang itu nampak jelas di wajahnya. Dewa memandang getir seangkasa, entah semenjak kapan? Ia bisa merasakan semesta begitu dekat dengannya, tapi ia tidak bisa merasakan kekuatan apa pun dalam tubuhnya. Tidak sama seperti kebanyakan temannya yang setidaknya memiliki kekuatan elemen dan mulai berburu.

Dewa masih ingat dengan temannya yang bernama Haidar, ia sekarang sukses menjadi pemburu peringkat panglima. Bahkan Haidar sudah bisa membeli rumah untuk keluarganya. Dewa juga menginginkan hal seperti ini jika saja ia memiliki kekuatan elemen.

Memikirkan hal ini, lagi-lagi Dewa menghela napas panjang. Dari semua kegagalan hidup, tidak ada sesuatu yang berjalan baik. Bahkan harapan kecil seperti setidaknya ia memiliki kekuatan elemen dengan sihir level dasar saja tidak ada. Membuatnya harus menjalani hidup penuh kemiskinan dan cemooh. Hanya Dara yang membuatnya merasa jika masih ada harapan di keluarganya, tapi jika rentenir itu datang dan Dara? maka gadis itu tidak memiliki harapan lagi

"Kak Dewa ...." Dewa menoleh dan mendapati Dara begitu rapi lengkap dengan tas ranselnya.Dahi Dewa mengkirut, ia tidak pernah melihat Dara seceria ini dan juga heran kenapa Dara begitu rapi malam-malam, tidak mungkin dia akan pergi malam-malam seperti ini.

"Kamu mau kemana?" Dewa pun penasaran.

Dara duduk di sebelah kakaknya dan tiba-tiba meletakkan kepalanya di bahu kakaknya.


"Selama liburan, Dara boleh kan main di rumah Aya." Mohonnya yang segera dimanfaatkan oleh Dewa. Ini akan menjadi bagus jika Dara tidak ada di sini, jadi renternir itu tidak akan membawa adiknya.

"Boleh, sampai kapan kamu main ke rumah Aya?" tanya Dewa dan Dara yang melihat kakaknya tak menghalanginya sedikit pun terlihat heran.

"Maunya sih dua Minggu, tap-"

"Iya dua Minggu boleh," potong Dewa yang membuat Dara semakin terkejut.

"Serius kak? Boleh dua Minggu?" Dara pun mencoba meyakinkan apa yang tengah ia dengar dari mulut kakaknya dan Dewa pun mengangguk setuju.

"Kakak yang terbaik deh!" Dara memeluk kakaknya dan Dewa tersenyum melihatnya.Mungkin ini jalan terbaik yang bisa Dewa usahakan. Nanti, Dewa akan pergi ke rumah Haidar dan meminjam uang agar lusa ia bisa membayar rentenir itu.

GERBANG 9Where stories live. Discover now