Sepucuk Surat Kenangan

7 4 0
                                    

#Cerpen

Mentari pagi  telah menyentuh lembut wajahku, sinarnya yang terang tersenyum menghampiri diriku kian kepayang. Dengan segelas kopi hitam aroma pemikat telah menguar bersama nikmat, membelaiku untuk segera menyentuhnya. Perlahan, bibir tipisku mengisapnya dengan sangat khidmat membuat rasa nyaman tak mudah hilang. Tangan kekarku mulai bergrilya membuka laptop kesayangan, hari ini aku akan membuat jejak-jejak tinta hitam melalui ketikan. Satu dua kalimat telah kususun dengan rapi, polesan diksi yang sederhana, setia turut menemani.

Hai apa kabar? Kini, pagi yang sangat indah tampak di atas sana, bagaskara yang kian merekah aku menyapamu. Menyapa dirimu wahai pemilik wajah manis. Oiya, sepertinya kau sedang bertanya, siapa diriku ini? Baiklah izinkan aku menulis sepenggal kisahku bersamamu.. Ehem! Masihkah kau ingat dengan sebutan”Kalong”? Iya itu adalah aku. Nama itu kau anugrahkan padaku sebagai panggilan kasih sayang, menurutmu. Entahlah mengapa kau menyematkan nama seperti itu padaku. Kala itu di hari Sabtu, kau datang ke rumahku untuk mengajak dan bermain ke danau di dekat rumahku. Tetapi aku masih betah di atas kasur yang sudah mulai  tidak empuk lagi, serta tubuh yang masih bergulung mendekur, bersama bantal guling usang, serta selimut yang sudah koyak di setiap pinggir helaian.

Taukah apa yang kau lakukan? Kau berteriak dengan dengan suara khas ceprengmu itu untuk membangunkanku. Aku yang masih lelah enggan untuk membuka mata. Kau tak berhenti mengusikku, perlahan kau mulai menaiki ranjangku, dan kau melompat-lompat di atasnya. Perlahan namun pasti, gubrag! Ranjang kuno yang  menemani setiap istirahat malamku saat itu rusak dan jebol. Aku terkejut bukan main, suara teriakan dan jeweran di telinga kananku, tak mampu kuhindari. Aku yang masih setengah sadar mendapat marah ibuku, rasa panas dan sakit semakin menjalar. Tetapi apa daya, aku seorang  lelaki tak pantas jika menangis. Perasaan kesal padamu saat itu pun merasuki, karena kau malah menertawakanku, padahal kau yang merusak ranjangku tetapi sama sekali tak di marahi oleh ibuku.

Dengan terpaksa aku menemanimu ke danau, rasa kantuk yang tak  juga hilang membuat jalanku selalu tersandung ranting dan bebatuan yang berukuran sedang. Sesampainya di sana kau tampak riang dan senang, tawa kau hadirkan ketika aku mencipratkan air danau ke wajahmu. Gigi ginsul serta wajah manismu menampilkan sejuta gelora, membuatku semakin terposana waktu itu. Detik demi detik. Perlahan, kau berjalan ke arahku, Sapuan angin membuat lambaian rambut indahmu berkibar. Tanganmu menggenggam jemariku meremasnya pelan. Wajahmu begitu dekat denganku hingga tiba kau menanggalkan sebuah kecupan sayang pada pipi hitamku. Isakan tangis terdengar, buliran bening itu seketika meluncur dari aksamu. Kau yang masih tertunduk perlahan aku memeluk memberi kesan tenang pada ragamu. Hingga aku sadar pelukan itu adalah pelukan terkhir yang kau berikan padaku kala itu, sebelum kau benar-benar pindah ke kota padat penduduk itu. Aku baru sadar panggilan “Kalong”(Kelelawar) dalam bahasa Jawa, itu karena aku suka ngalong alias tidurnya siang namun, ketika malam beraktivitas. Iya, dulu karena memang aku pedagang kecil dimana aku jualan dari tengah malam berangkat hingga sampai pasar waktu tiga pagi. Sampai sekarang aku juga masih ngalong si, cuman Alhamdulillah lebih baik, karena menjadi penulis di suatu platfrom. Dan yang paling membuatku senang adalah sebentar lagi kutunaikan janjiku padamu, sekarang aku sudah di sini, lebih dekat dengan keberadaanmu saat ini. Dulu, kau pernah bilang jika sudah berada di tempat yang sama aku wajib menghampirimu lalu memelukmu dengan membisikkan kata I Love You di telingamu. Tunggulah aku wahai pemilik nama Habibah, dariku sang perindu sukmamu “Kalong” alias Alkaf Fatah.

Aku tersenyum mengakhiri tulisan ini, segara aku  print  beberapa saat telah menjelma sebagai lembaran surat, aku menuju ke kantor pos mengirim surat ini untukknya. Percayalah, besok pagi kau akan menemukan benda ini di kotak surat depan rumahmu. Lalu kau terharu bercampur bahagia membacanya. Aku tahu, kau masih setia menungguku, Habibah kau memang pemilik nama sebaik nama yang pantas aku doakan setiap waktu. Rasanya aku sungguh tak sabar menemuimu, setelah 7 tahun terpisah. Tunggulah aku, tunggulah manisku. Untuk bercerita tentang masa kecil kita yang belum aku tuliskan semua di sepucuk surat kenangan itu..

***Selesai***

Kumpulan Cerpen Dan ProsaWhere stories live. Discover now