1

119 13 0
                                    

Sudah 6 bulan berlalu, tanpa siapapun kecuali orang-orang yang ingin tahu urusannya alih-alih kabarnya.

Seungmin ingat dengan jelas, bagaimana hujan mengguyur kota. Ketika ia turun memberikan surat dan berusaha keras agar tetap di sana.

"Jangan sampai turun."

Dan si pemuda salah memahami kalimat itu, jadilah ia turun seorang diri, naik-turun anak tangga, menembus hujan hingga bajunya basah.

Lantas terdiam, ucapan terima kasih dan kepergian mobil penjemput sesaat lenyap dalam ingatan. Kali ini sepi menyapa, tanpa tanda-tanda.

"Kasur sama lemariku?" Monolognya pada ruang kosong, hela nafas sembari melirik bawaan.

Kalau bukan karena perintah, barang-barang ini tak akan menumpuk di tangannya.

Ia ingin mandi, ujung celana sudah basah total. Dan sekarang ia tak mengerti dimana harusnya ia letakkan barang.

Mungkin naik lagi, pikirnya.

Satu set anak tangga ia pijak, hampiri kamar lama yang tak berubah. Sesaat waktu berhenti, ketika semua orang menatapnya terkejut.

"Aku pikir kamu pergi!" Hyunjin bicara paling awal, yang lain menyusul. Gaya lama yang tak pernah dipikirkan Seungmin.

Pemuda itu tersenyum kecut, begini rasanya tertinggal?

Dalam hidupnya, Kim Seungmin itu teladan. Sempurna yang tak ada tandingannya, dia adalah pencipta bayang dalam siang. Biarkan dua pemuda lain berlindung di balik bahu lebarnya.

"Apa kabar?"

Buruk. Seungmin gatal ingin bicara itu. Kabarnya buruk, dan kedatangannya ke dalam bangunan mirip neraka ini memperburuk mental Seungmin.

Sebenarnya.

Seungmin tahu simpati masing-masing orang juga punya batas. Tapi ia lebih tau bahwa tak akan ada simpati untuknya.

Penghakiman, permusuhan, alasan konyol, Seungmin menelan pil pahit itu tanpa terkecuali. Memojokkan diri dan terus memaki pantulannya dalam cermin.

Karena ini pula, Kim Seungmin membenci cermin.

Sebab yang dilihatnya dalam 3.5 tahun terakhir adalah wajah yang tak dapat lagi menatap bahagia dunianya.

Video CallWhere stories live. Discover now