38

5.6K 431 80
                                    

"Ulangi."

Punggung Syera menghantam dinding. Desis tajam itu disertai cekikan.

"Kamu hanyalah pion, Shaka."

Dan cekikan itu menguat. Rahang Shaka terkatup rapat, mengetat. Netranya berair. Namun Syera paham betul genangan di pelupuk mata lelaki itu tidak sama sepertinya, seperti netra kelamnya yang berair saking tidak kuatnya menahan nyeri.

"Kamu hanya pion, yang kugunakan untuk menghancurkan mereka-Ergh-"

"Pion, katamu?"

Syera meneguk saliva susah payah. "Memang apalagi? Apa kamu berharap, aku sungguhan mencintaimu dan bertahan seperti yang kamu minta?" Syera tertawa. "Apa kamu pikir, aku akan menghabiskan waktu bersama laki-laki bajingan sepertimu?" Terus, kalimat demi kalimat menyakitkan itu dia lontarkan, tidak Syera pedulikan dirinya yang mungkin akan mati lantaran kehabisan napas, tidak dia hiraukan Shaka yang mungkin kini menatapnya begitu rendah. Syera ingin mengakhiri segalanya. Sesegera dia yang ingin bertemu bunda di alam sana.

Ini melelahkan.

"Dua puluh tahun aku memendam benci pada pria bajingan seperti papa, atas alasan apa aku harus bertahan dengan pria yang sama persis seperti dia?" Syera menyungging sinis di tengah ringisan. "Apa aku pernah bilang? Kalian begitu serupa."

Gigi-gigi Shaka beradu.

"Kamu dan papa." Syera mengerjap lemah. "Kalian serupa, Shaka." Lirih kalimat terakhir lolos dari mulutnya. "Hanya karena cinta masa lalu, hanya karena cinta itu begitu menggebu, kalian lupa diri, kalian abaikan nurani. Kamu melihatnya sendiri. Bagaimana istrimu depresi, keguguran bahkan nyaris bunuh diri." Syera menggertakkan gigi kuat-kuat. "Dan setelah menyaksikan itu ... bagaimana bisa kamu masih bercinta denganku? Tertawa bersamaku? Kamu sungguh manusia? Shaka?"

Rahang Shaka kian mengetat. Lidahnya kelu. Tidak. Bukan karena habis kata, melainkan sulit luar biasa. Emosinya terlalu-

Nyalang dua pasang netra berkaca itu saling menghunus, dalam bungkam, dalam cekikan, dalam ketidakberdayaan, dalam interaksi yang hanya mereka sendiri yang paham.

Hingga kemudian kekeh getir Shaka lolos, terdengar lirih alih-alih penuh amarah. Cekikannya lantas mengendur.

"Pion ya?" Shaka tertawa lagi, begitu perih merambat pada relung Syera.

Dan tatap dingin lelaki itu Syera dapatkan kembali. Persis seperti dulu. Saat mereka masih menjadi sepasang manusia asing yang tidak sengaja bertemu. "Jadi, apa pionmu ini telah berhasil?"

Namun ada yang sedikit berbeda. Dinginnya netra Shaka bukan asing, melainkan sendu, beriris pilu. Mati-matian Syera menahan tangis, menahan bulir airmatanya agar tidak tumpah.

"Kamu pion terbaikku."

Shaka mengerjap lemah, mengangguk paham, lalu tertawa. Tawa yang amat getir. "Untuk menjadikanku pion tidaklah mudah, Syera. Mahal sekali harga yang harus kamu bayar." Kalimat itu tidak terlontar keras, justru datar dan lurus sekali, tanpa intonasi, tanpa riak emosi. Namun bagaimana Shaka menatapnya kini, cukup untuk membuat Syera paham, bahwa lelaki itu akan menggila sebentar-

"Tunggu. Jika aku berhasil, bukankah itu artinya kamu menang?" Shaka bertanya. "Bagaimana kalau kukurangi harganya?" Lantas mendekat. "Anggap saja sebagai ucapan selamat."

SREKKK

Blus putih Syera robek sekaligus. "Ayo kita rayakan."

**

Erangan demi erangan frustasi memenuhi kamar apartemen mewah tersebut. Pakaian berserakan di lantai. Dan tempat tidur beberapa kali berderit saat hentakkan Shaka terlewat keras dan kasar.

[✓] JeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang