#1

44 11 8
                                    

Suara dedaunan kering yang terinjak seakan-akan menggema di dalam hutan.

Sesekali suara burung hantu terdengar, membuat seorang pria yang tengah berlari menelusuri jalan di hutan dengan perasaan ngeri. Mulutnya terus saja melontarkan umpatan, terutama ketika dia hampir jatuh tersandung akar pohon. Orang-orang desa sialan, demikian dia memaki.

Pria itu menoleh ke belakang sambil terus memacu kaki. Tiba-tiba, dia tersandung dan kembali memaki satu kali. Bagaimana pun caranya, dia harus mencari jalan keluar dari hutan itu; kembali ke desa tidak tampak seperti opsi baginya, sebab orang-orang desalah yang membuangnya di sana. Kembali pun, pasti akan dilempar masuk lagi ke hutan.

Baik desa maupun hutan, keduanya sama-sama tidak berpihak padanya.

Pria itu tahu sekali dia sedang terjerat masalah apa. Walau biasanya dia selalu menganggap remeh dan tertawa garing mendengar rumor yang beredar, tetap saja menghadapi langsung apa yang dirumorkan itu adalah seram. Mau menyebutnya Hutan Binatang Buas atau Hutan Hewan Buas--yang mana pun sebutannya sama saja, sebab artinya pun demikian--dirumorkan sebagai hutan yang setiap lima tahunnya harus ada yang dikorbankan sebagai persembahan.

Pria itu jatuh terjerembab lagi. Ketika dia mengangkat kepalanya, sontak kaget matanya membola seperti akan melompat keluar dari tempatnya. Jangankan hawa kehadiran; suara langkah kaki atau gemerisik daun saja tidak terdengar. Tahu-tahu, dia sudah berhadapan dengan dua ekor makhluk ... em, dia tidak tahu. Di matanya, bentuknya mirip sejenis anjing. Pria itu tak mampu lagi berkata-kata. Namun, apa ada yang namanya anjing berasap yang bermata merah?

Pria itu tahu kalau dia harus segera berlari. Baru saja berdiri, pria itu mendapati seorang wanita muda berdiri tepat di belakangnya. Sama seperti tadi; tanpa suara dan tanpa terasa kehadirannya.

"Mundur, Morph. Kalian tahu kalau bagian kalian bukan yang ini," perintah wanita itu, mendekatkan lampu parafin yang ada di tangannya ke wajah pria itu lalu tersenyum. "Namun, kalian beruntung. Kalian boleh mendapatkan remah-remahnya karena suasana hatiku sedang baik."

Wanita itu mengangkat tangannya. Disentuhnya wajah pria yang tengah ketakutan itu, kemudian pria itu menua seketika. Wanita itu membiarkannya ambruk ke tanah, kemudian kedua morph yang sudah menunggu sejak tadi pun langsung menyantap jasad kering kerontang itu. Detik berikutnya, wanita itu pergi dengan senyum terulas di wajahnya.

Makhluk-makhluk yang mengejar memang salah satu dari rumor, tetapi apa yang membuat warga desa ketakutan bukanlah makhluk-makhluk di luar nalar itu; teror yang sebenarnya adalah rumor tentang wanita muda yang menghuni hutan itu seorang diri ....

...

"Kau bukan anakku. Dasar anak iblis!"

Wanita muda itu terbangun dengan napas memburu. Dia berkedip beberapa kali dengan ekspresi panik, kemudian ditenangkannya pikiran. Begitu ritme pernapasannya sudah kembali seperti semula, dia diam sejenak dalam posisinya saat ini, berharap bisa mendengar suara kicauan burung.

Ah, harusnya dia sudah tahu. Di hutan yang dia tinggali itu, bisa mendengar suara burung berkicau adalah sebuah keajaiban. Keberadaannya di sana seperti mengandung arti mengusir.

Dia menghela napas satu kali, kemudian menyentuh dadanya.

Yang ada malah burung gagak, ya, atau kalau bukan, paling-paling burung hantu. Kalau burung biasa, sepertinya harus agak ke pinggiran hutan.

Lagi-lagi perasaan familier yang mengganjal itu, batinnya. Rasanya seperti ada yang bolong.

Dia menjalani kehidupan sehari-harinya dengan perasaan yang kira-kira seperti itu. Hampir setiap harinya dia akan bermimpi tentang sesuatu, yang mana dia yakini adalah ingatan masa lalunya. Setelah itu, dia akan merasa seperti ada yang hilang. Ujung-ujungnya, dia melakukan entah apa untuk menyibukkan diri di saat luang demi melupakannya. Dia lelah berusaha mengingat, sebab sakit kepala hebat selalu menyertai. Kadang kala dia berjalan-jalan di dalam hutan, tetapi karena lingkungan itu tidak lagi asing baginya, kini dia sudah jarang sekali melakukannya.

Duduk di depan meja rias, wanita itu menatap kosong cermin yang ditutupi kain itu. Tangannya bergerak pelan di udara. Ditariknya kain itu cepat-cepat, kemudian menerawang sosok dirinya yang terpantul.

"Harusnya aku tidak berharap," katanya tidak bersemangat. Ditatapnya lagi sosok skelet yang terpantul di cermin lalu menoleh ke arah jendela. Setidaknya, masih ada cahaya matahari.

"Makhluk sepertimu memang tidak perlu berharap," jawab seseorang.

Wanita itu kembali melihat cermin. Sang empunya suara, yang rupanya menyerupai sebuah bayangan, menyedot atensinya. Wanita itu pura-pura menata benda-benda di meja, kemudian berbalik ke belakang.

Kini, dia berhadapan langsung dengan bayangan itu.

"Aku tahu kalau waktunya sudah dekat," kata wanita itu. "Nanti siang aku akan berjalan-jalan di hutan."

"Bagus," kata bayangan itu.

Bayangan itu terlihat seperti tengah mondar-mandir di tempat. Beberapa saat kemudian, dia berkomentar kalau gubuk yang dia tinggali itu seperti bertambah banyak isinya. "Bahkan sampai yang tidak kau butuhkan sama sekali," katanya lalu menyentil sebuah gelas, membuatnya oleng dan menggelinding ke samping.

Benar. Sudah berapa tahun berlalu sejak saat itu? Hari ketika dia melupakan siapa dirinya dahulu, hari di mana dia lahir kembali sebagai makhluk yang berbeda dari yang lainnya? Entahlah. Dia tidak mau lagi menghitung hari-hari di mana dia hanya merasa hampa. Hidup hanya dengan berasumsi kalau dia melihat kilas balik ingatannya dalam mimpi--itu pun sepotong-potong dan tidak jelas--hanya untuk bangun di pagi hari dengan rasa familier yang mengganjal.

Wanita itu menatap lagi bayangan yang bertamu di gubuknya itu ketika katanya dia sudah mau undur diri. Dia tidak pernah memberitahu wanita itu namanya. Semua bermula dari bayangan itu. Dirinya yang sekarang, pikir wanita itu, pasti juga ulahnya.

Mari sebut dia "Kegelapan".

Dahulu, ada sepasang ibu anak yang hidup di desa. Akan tetapi, suatu ketika anak itu mati tanpa sebab. Sang ibu pun dilanda kehilangan yang amat luar biasa--dan dalam dukanya itu, datanglah Kegelapan.

Kegelapan berkata, "Saya bisa membawa putri Anda kembali."

Sang ibu pun menjawab dengan sorot mata penuh harapan. "Benarkah?"

Kegelapan membenarkan, kemudian mengangkat telunjuknya di udara. "Namun, ada syaratnya," kata Kegelapan, memberi jeda. Ditatapnya sosok menyedihkan sang ibu. "Kalau Anda bersedia menyerahkan nyawa dan jiwa Anda, putri Anda akan hidup."

Sang ibu tertegun mendengar persyaratan yang diajukan Kegelapan. Tak lama kemudian, sang ibu memberikan jawaban. "Ya, aku bersedia," katanya.

Selanjutnya, Kegelapan membangkitkan sang anak. Nyawa sang ibu diberikan pada anaknya, sementara jiwanya menjadi milik Kegelapan. Kini, sang anak bisa hidup.

Akan tetapi, sayangnya itu bukanlah akhir dari masalah. Yang sebenarnya baru saja akan dimulai. Sang anak harus terus menyerap energi hidup orang lain agar bisa terus bertahan. Penduduk desa ketakutan; Kegelapan menuntut satu orang setiap tahunnya, tetapi mereka beralasan bahwa jumlah mereka sedikit. Kedua pihak pun bernegosiasi.

Kegelapan berkata, "Lima--lima tahun sekali. Tidak boleh kurang."

Sejak kesepakatan itu dibuat, baik Kegelapan maupun wanita itu tidak lagi terlihat. Lima tahun sekali mereka mengorbankan satu orang untuk dimasukkan ke dalam hutan sebagai tumbal. Selebihnya, tidak ada yang tahu apa kelanjutan dari kisah seorang wanita muda yang lahir kembali dari kematian itu. Mereka cukup tahu kalau mereka yang masuk ke sana tidak pernah kembali ....

 Mereka cukup tahu kalau mereka yang masuk ke sana tidak pernah kembali

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.
Forest Dweller [Completed]Where stories live. Discover now