#3

5 2 0
                                    

Dia tidak paham.

Lynn tidak tahu lagi apa yang telah diperbuatnya. Harusnya dia membenci anak itu sama seperti yang sudah-sudah, tetapi siapa sangka kalau yang terjadi malah sebaliknya? Dia selalu saja secara spontan mengatakan apa yang ada dalam benaknya dan ketika dia sadar, dia sudah terbawa arus. Kalau ada lubang, mungkin dia akan masuk ke dalamnya.

Memalukan.

"Uwakh--geli!" jerit Glen lalu tertawa kencang.

Lynn berdiri di sebelah Glen, menatap dirinya yang tengah asyik menyentuh rumput. Sepertinya, dia juga pernah memimpikan hal serupa.

Lynn merutuk dalam hati. Andai saja dia punya kebiasaan menuliskan apa yang dia mimpikan ke dalam sebuah buku.

"Ini apa?" tanya Glen, kembali meletakkan tangannya di bawah.

Lynn membetulkan gaunnya. Wanita itu berjongkok, menjadikan posisinya sejajar dengan Glen. "Itu rumput. Tanaman yang berwarna hijau--"

Tiba-tiba, Lynn terdiam. Glen pun secara spontan menoleh ke arahnya. "Maaf. Aku lupa kau tidak bisa melihat."

"Tidak apa-apa," jawab Glen. "Aku sudah terbiasa."

Wanita itu bisa meletakkan tangannya di dada. Hatinya mencelus mendengar perkataan anak kecil itu. Dia merasakan kalau hatinya perih, seakan-akan merasa bersalah karena tanpa sengaja telah menyentuh luka tak terlihat dari anak kecil itu.

"Pokoknya, rumput itu hijau! Tanaman itu selalu hijau--eh, maksudku daunnya. Ingat, ya, daunnya hijau!" timpal Lynn kacau.

Sekali lagi, anak itu tertawa kencang. Satu detik kemudian, Lynn ikut tertawa. "Kukira rumput itu panjang-panjang bentuknya," kata anak itu.

"Rumput banyak jenisnya, Glen," sahut Lynn mengoreksi.

Yah, tampaknya membiarkan anak itu bersenang-senang sedikit lebih lama lagi seperti itu bukanlah hal yang buruk. Toh, pada akhirnya Lynn akan harus ....

"Lynn?"

Wanita itu tersentak. "Ya?"

"Kubilang tidak masalah pun, sepertinya Lynn tetap kepikiran, ya," kata anak itu.

Lynn yang tadinya tengah larut dalam pikirannya seperti mau berkata, "Eh, dia berbicara tentang apa ya?" sambil memiringkan kepala.

"Kepikiran tentang apa?"

"Itu ...," jawab Glen ragu-ragu. Dia kembali memainkan rumput lantaran merasa canggung. "Soal mataku, maksudnya."

Setelah Glen selesai berujar demikian, baik Lynn maupun anak itu sendiri sama-sama diam. Hening, canggung, dan suara di sekeliling mereka jadi terdengar jelas sekali. Barangkali dalam hati masing-masing, mereka tengah memikirkan cara untuk memecah keheningan itu dan mencairkan suasana.

"Anu--"

"Eh?" sahut Glen hampir bersamaan dengan Lynn, kepalanya kini menoleh.

Lynn serba salah sendiri. Salah tingkah, dia spontan melanjutkan, "Langit itu biru."

Lynn mengedipkam matanya beberapa kali. Dia sadar betapa asal-asalan kalimat yang diucapkannya itu.

"Biru?" ulang Glen.

Lynn mengiakan. "Birunya indah. Tak peduli berapa kali aku menengadahkan kepala, aku tidak pernah bosan dengan warnanya."

Glen tersenyum. "Kalau Lynn sampai berkata seperti itu, berarti warnanya memang indah sekali. Apa sekarang masih biru?"

Lynn mengangkat kepalanya. Sejuknya udara bagi lambat laun digantikan hawa siang yang panas. Buah beri liar yang tumbuh di hutan dijadikan wanita itu sebagai makan siang Glen. Tadinya berencana untuk lanjut berkeliling beberapa lama lagi, tetapi ujung-ujungnya kebablasan sampai sore.

"Tidak," jawab Lynn, "warnanya sudah berubah. Warnanya keemasan."

"Keemasan, ya?"

Hari ini, Lynn mempelajari satu hal baru tentang anak itu. Sepertinya dia punya kebiasaan membeo ucapan orang lain sambil berusaha membayangkannya.

"Nah, ayo kembali sebelum gelap," ajak Lynn, menyudahi acara kecil mereka.

Sekali lagi, Lynn menuntun anak itu menelusuri jalan yang mereka tapaki saat datang ke sana. Jika disuruh memilih bagian yang paling disukainya, barangkali pilihan wanita itu jatuh pada bagian di mana Glen menangkap bunyi sungai yang mengalir. Ketika Lynn menjelaskan bahwa air sungai itu bening tidak berwarna, sampai-sampai tangan pun masih terlihat meski dicelupkan ke dalamnya, sorot mata Glen berbinar-binar. Setelah itu, keduanya lanjut berjalan sambil mengobrol dengan semangatnya.

"Lynn," panggil Glen.

Sambil menggandeng anak itu kembali ke gubuk, Lynn merespons dengan satu kata "ya".

"Terima kasih."

Sementara Glen hening lagi memikirkan entah apa, Lynn merasa hatinya dipenuhi perasaan yang meluap-luap--dia hanya tahu kalau itu bukanlah perasaannya yang tidak mengenakkan. Dia hanya tahu kalau itu adalah sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan. Apa, ya, namanya? Yah, intinya, dia tidak merasa muak dengan perasaan yang satu itu.

"Lain kali--itu kalau Lynn tidak keberatan--boleh tolong ceritakan lagi tentang warna-warna?"

Wanita itu melirik Glen satu kali, kemudian kembali memerhatikan jalan dan tersenyum. Kuharap suatu ketika kau juga bisa melihatnya, ucap Lynn dalam hati.

"Tentu saja aku tidak keberatan," timpal Lynn riang. "Tentang yang lain juga boleh, kok."

Lynn akui, hari ini adalah hari yang menyenangkan. Sayangnya, semua perasaan itu lenyap seketika ketika keduanya kembali. Begitu sadar siapa yang bertamu ke gubuk yang dia tinggali itu, rasanya jantung wanita itu mau copot seketika. Dia kaget bukan main.

"Tumben--oh?" kata sang tamu.

Di depan pintu, Kegelapan telah menanti. Lynn sontak menarik Glen ke belakangnya; perasaannya waswas tidak karuan. Baik Kegelapan maupun Lynn saling pandang. Setelah itu, yang mengambil inisiatif pertama adalah Kegelapan sendiri. Dia menyingkir ke samping, membiarkan keduanya masuk ke dalam gubuk.

Wanita itu berjongkok. Dia menggenggam kedua tangan mungil anak itu. "Jangan keluar," perintahnya dengan suara merendah, hampir seperti berbisik. "Aku akan segera kembali."

"

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.
Forest Dweller [Completed]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum