6. Pinky Idea

143 15 6
                                    

"Kenalin. Gue Agnesia."

Aku mengangkat sebelah alis menanggapi tingkat kepedeannya yang menembus langit. Siapa tadi? Calon adik ipar? Maksudnya Olivia jadi bakal menikahi kakaknya? Pria hoki yang lulus interview cuma karena tujuan utama sepupuku itu adalah harta warisan keluarga? Oh! Mungkin memang Olivia kebelet ingin mendapatkan pasangan. Dia kan sudah kelamaan menjomlo. Gatel, kayaknya. Siapa pun, yang penting lelaki, langsung diterimanya. Menyedihkan sekali dia.

"... What?" tanyanya risih ketika dilihatnya aku mengamatinya terlalu seksama.

Ia tidak mirip dengan kakaknya yang menjulang tipis karena bentuk tubuhnya ideal dan indah. Bisa dikatakan sempurna malah, dewasa dan penuh, agak tidak cocok dengannya yang ukuran bocah. Sebetulnya aku tidak tahu berapa umurnya, tapi kalau dilihat dari mukanya yang berperawakan muda, sepertinya dia memang masih kecil. SMA mungkin? Atau jangan bilang, SMP?!

"Can you stop it?!" pintanya dengan pandangan menusuk. "Dasar mata keranjang, hobinya nidurin cewek doang!"

"Jaga mulut lo."

Suaraku yang datar dan upayaku agar terdengar mengancam untuk menakutinya ternyata ... gagal total!

"Memang lo kurang ajar!" balasnya, sengaja membiarkan rintikan hujan sedikit membasahinya demi menyodok keras dadaku dengan ujung payung yang dipegangnya. Rasa sakitnya mirip saat aku dipenggal waktu itu, walaupun area yang ditusuknya berbeda dengan saat aku kejeduk dulu. Aw!

Dasar bocah sinting! Aku tarik kembali pujianku akan tubuhnya. Sepertinya ketika seseorang jatuh miskin, pandangannya pun menjadi gelap dan indra penglihatannya berubah kabur. Buktinya aku salah menilainya. Ya, tubuhnya bukan elok. Lemak itu pasti.

Eh? Tadi dia bilang 'cewek,' 'kan? Finally! Ada juga orang di luar sana yang tidak percaya dengan rumor bahwa aku pencinta sesama jenis. Tapi, jangan samakan aku dengan Bara! Sekali lagi aku tidak mirip dengan sifatnya yang n—jis.

"Tunggu!" pintanya sekali lagi, berusaha menahanku supaya tidak pergi meninggalkannya di bawah langit yang telah berubah gelap. "Gue cuma mau pinjem HP, sebentar doang."

Maksa bener jadi orang!

"Kok lo diem lagi, sih?" tanyanya sambil sesekali menatap mukaku.

Suka-suka aku, dong! Mulut, mulut aku! Siapa di situ, sok ngatur!

Lebih baik aku mulai melahap makan malamku saja. Perutku sudah sejak tadi berbunyi, bahkan mulai sedikit perih. Cacing-cacing di dalamnya sepertinya tengah melakukan aksi protes karena aku menunda memberi mereka makanan. Kuraih padatan nasi di dalam plastik yang sekarang bentuknya ... ugh! Jangan ditanya. Betul-betul hancur dan merusak selera.

"Pelit banget! Entar gue gantiin pulsanya, deh!" tawarnya memelas.

Hadeuh! Sekali lagi, aku gak ada HP! Buat apa juga pulsa?!

Ugh! Bahkan rasanya benar-benar hoekz! Nasi dingin plus basah, dengan butiran pasir di permukaannya—mungkin maksa berperan sebagai garnish—dan rasanya bleh, pahit. Aku pun ingin segera memuntahkannya kembali. ... Tidak! Aku harus tetap menelannya. Jumlah uangku sudah berkurang karenanya. Kalau dibuang, mubazir, dong!

"AH!"

Teriakannya di belakang sekali lagi pecah dan tentunya terdengar jelas walaupun dibarengi dengan suara knalpot yang terlampau keras. Tarikan gasnya yang kuat mengakibatkan kendaraan itu melaju kencang, membelah derasnya hujan yang masih juga enggan untuk surut.

Kesabaranku habis sudah.

"Apa lagi?! Gue udah bilang, ga punya—"

Wow!

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang