Bab 27

18.1K 719 48
                                    

Lion masih terduduk lesu, pria itu menikmati senja di temani secangkir kopi. Wajahnya nampak muram, pikirannya terus berputar-putar perihal Prao, wanita itu keluar dari rumah sakit hanya ada dua kemungkinan, opsi pertama benar sakit dan opsi kedua karena kehamilan, Lion tahu betul jika Prao benar-benar masih perawan dari noda darah yang tertinggal dari atas seprei lalu ketika ia bermain dengannya, jelas Lion tak memakai pengaman.

"Apa dia hamil?" Sebari bergumam Lion masih betah menatap senjanya di atas langit, sepoy angin mulai menerpai setiap helai surai hitamnya, siluet Prao bersemayam dalam otak sadarnya, Gila! Lion membatin merasa salah tingkah, respon tubuhnya berubah melihat Prao hanya sekedar tersenyum kepadanya.

Auranya sungguh dahsyat.

Mendapati berdiam diri tak ada guna, Lion beranjak bangun dengan gawai masih dalam genggamannya, pria itu masuk kedalam mansionnya dan melangkah perlahan, di sepanjang langkah pikirannya tak berhenti bekerja, Lion tak bisa menemukan perpecahan masalah yang ia dera, seharusnya ia segera kembali ke Indonesia.

Lion menekan layar gawai nya dan kembali melakukan panggilan, "Gavin siapkan kembali pesawat pribadiku, aku akan kembali ke Indonesia."

"Bukankah kamu baru beberapa jam disana?"

Lion tak menimpali, pokoknya detik ini juga ia harus kembali terbang ke Indonesia dan mencari kebenaran atas gundah gulana yang ia rasakan, Lion meraih kembali kunci mobilnya dan melaju cepat meninggalkan mansion.

Apa yang Lion rasakan, berbarengan dengan apa yang Dilra rasakan, saat ini ia harus mulai berkemas meski Sesil mengomelinya karena mereka harus pergi mendadak, namun apadaya jika ingin hidup tenang maka harus jauhi akar masalahnya  di sini semua masalahnya berawal dari pria bajingan itu, Dilra sejenak menghela meski berat meninggalkan ibukota, ia harus tetap pergi, menikmati proses kehamilannha dengan begitu tenang.

"Kamu yakin baik-baik saja bukan?" Dari arah belakang Sesil bertanya sebari menyodorkan segelas susu, "Minum dulu susunya, kamu harus mulai terbiasa ada makhluk kecil yang hidup dalam rahimmu."

Dilra tersenyum dan meraih segelas susu untuk ibu hamil dan mulai meminumnya perlahan, "Terima kasih Sesil, kamu selalu bisa aku andalkan."

"Kita kan sahabat rasa saudara, betul tidak?" Sesil terkekeh, melihat wajah tersenyum Dilra ia baru merasa tenang setelah tahu jika Dilra akan mempertahankan kehamilannya dan melahirkannya dengan sehat.

Sesil duduk di atas ranjang, ia membantu Dilra merapikan pakaiannya, "Apa kamu yakin dengan hal ini?" Ada keraguan disana, harus dimulai dari mana ia bertanya, Sesil ragu untuk memberitahu Lion, namun pria bajingan itu harus tetap bertanggung jawab. "Kamu tidak ingin memberitahu orangtuamu?"

Dilra menggeleng pelan, kedua maniknya fokus dengan aktifitas mengemasi barang bawaan, "Aku malah yakin mereka tidak perduli jika aku pergi."

"Tapi, bagaimanapun mereka masih orangtua mu." Sesil mulai membujuk, setidaknya kedua orangtuanya harus tahu bahwa anaknya pergi untuk pindah tempat tinggal.

"Sssst! Sudah ya jangan rusak mood." Satu jari telunjuk terangkat, ia merasa jengah mendengarkan bujukan Sesil, meski Dilra tahu jika bujukan itu sebenarnya untuk kebaikannya.

Dilra menarik koper dan menggeretnya, "Cepat kita berangkat, aku tidak mau pria itu justru lebih dulu datang kemari." Mengingat kejadian kemarin, Lion sempat mencari keberadaannya, tak menutup kemungkinan jika hari ini pria itu akan kembali berusaha mencari keberadaannya.

"Kenapa bisa begitu?" Sesil nampak penasaran, apa mereka sempat bertemu sebelumnya?

Dilra menolehkan pandangan, "Kemarin sepulangku dari rumah sakit tak sengaja melihat mobil pria bajingan itu bahkan sempat mengekori sebentar, tapi untungnya banyak orang lewat, ada kesempatan untuk bersembunyi."

"Apa dia lihat kamu keluar dari rumahsakit ibu dan anak? Kenapa kamu sendiri yang ceroboh." Sesil merasa cukup senang, kemungkinan Lion tahu jika Dilra hamil semakin besar, semakin cepat Lion tahu semakin cepat jalan keluar mereka dapatkan.

Dilra angkat kedua bahunya, pertanda jika ia tak sempat berpikir perihal tahu atau tidak tahu yang jelas setelah melihatnya ia harus menghindarinya. "Sudahlah, kita segera berangkat. Untuk masah orangtua ku aku akan memberitahunya lewat email." Keputusan nya bulat, paten dan tidak bisa di ganggu gugat, ketenagam sudah ia nantikan untuk kelangsungan hidupnya dan menikmati proses kehamilan anak pertamanya dengan begitu damai.

Sesil ikut mengekori, ia berniat untik mengirimkan direct massage kepada Lion, ia mulai mengetik panjang kali lebar menjelaskan keadaan Dilra yang sesungguhnya dan mereka pindah tempat tinggalpum Sesil jelaskan, Sesil bergumam dalam hatinya berpuluh kali meminta maaf kepada Prao ia harus melanggar permintaannya untuk tidak memberi tahu Lion perihal kehamilannya, Sesil tak mungkin tinggal diam menyaksikan Prao, harus berjuang sendiri selama hidupnya kelak, sungguh bukan ide yang cukup baik, pria itu meski buruk kelaluan nya tetap saja ia adalah ayah dari anak dalam kandungan Prao. "Maafkan aku Prao." 

Sesil selesai mengirimkan pesan panjangnya, ia mengekori langkah Prao yang semakin menjauh dari pandangannya, "Tunggu! Kenapa kamu buru-buru sekali? Seperti kita ini buronan polisi tahu." Dengan nada tersendat Sesil berusaha mengimbangi langkah Prao, "Pelankan langkahmu, ingat kehamilanmu Prao." Sesil menarik ujung jaket Prao berniat untuk menghentikan langkahnya yang sangat terburu-buru.

"Kita tidak bisa bergerak lamban, akj takut Lion datang kemari." Nada gemetar dibalik bibirnya nampak menjadi perhatian Sesil, sebegitu menakutkah dia menghadapi Lion?

Sesil meraih kedua lengan Prao, "Kita akan baik-baik saja, terutama kamu. Jangan berpikir berlebihan ingat janinmu, dia butuh ibu yang sehat." Sesil tersenyum, setelah mengucapkannya ia segera memeluk tubuh Prao yang sebenarnya memang sangat terguncang, di tambah atas kehamilan yang tak pernah wanita itu inginkan.

Meski begitu dia tetaplah seorang ibu yang berhak memberikan kehidupan yang baru kepada janin yang akan berkembang dalam rahimnya, bagaimanapun kehadirannya datang tetap saja janin itu memiliki hak hidup yang justru seharusnya begitu indah, Sesil yakin jika Prao akan menjadi ibu yang begitu baik, seiring waktu berjalam kebencian itu akan pudar dengan kelelahannya.

"Buang perasaan bencimu, ingat janin itu tidak pernah berdosa atas apapun."

"Jika dia tahu cara kehadirannya adalah sebuah penyesalan, aku yakin janin itu tidak akan pernah meminta untuk berada di dalam rahimmu," ucap Sesil dengan kedua tangannya ia usap pelan di kedua pipi Prao, "Kamu harus jadi malaikat pelindung baginya yang paling kuat, paling hebat. Dia anakmu, apapun yang terjadi nanti, kamu berhak penuh atas kehidupannya."

Dilra semakin banyak menjatuhkan airmata, meski mengelak kecemasan semakin kentara, ia begitu takut jika janin ini di ambil oleh ayahnya nanti setelah lahir ke dunia, ia takut jika mereka di pisahkan secara paksa, begitu banyak ketakutan-ketakutan yang saat ini mulai menderanya, meski perasaan ikhlas sudah ia usahakan untuk menjadi mindset dalam dirinya tetaplah secuil kebencian terselip dalam benaknya, ketidak sukaan atas hadirnya dia selalu menjadi bayang-bayang kebenciannya berada.

Mampukah ia menyayangi anaknya sendiri kelak?

SALAH MASUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang