Apakah Uang segalanya?

26 4 18
                                    

Happy Reading:3

Plak

"Hainin!" Habillah menarik tubuhku dalam dekapannya. Memberi perlindungan agar pipi yang satunya tak memanas.

Tamparan ini sama persis dengan tamparan Abah kemarin. Sangat panas hingga membuatku berpaling. Memang sudah takdir mungkin jika pipi selalu mendapat tamparan.

"Cukup ya Ma! Cukup! Cukup Elin yang Mama sakiti jangan mereka!"

"Elin?" gumam ku ketika bentakan dengan tangisan perempuan itu keluar.

"Salah sendiri datang sok pahlawan," sinis wanita tadi.

"Tante!" bentak Habillah yang kuyakini sedang menahan amarah. Aku merasakan nafasnya naik turun tak teratur. Membuat sontak tangan ku mengusap-usap punggungnya untuk memberi ketenangan walaupun aku tak tahu semerah apa wajahnya. Atau semenakutkan apa dia.

"Apa!" sentak yang dipanggil Tante itu kepada Habillah.

"Mama! Udah ya Ma. Elin muak dengan perintah dari Mama. Elin capek! Capek Ma!"

"Gak usah sekolah makanya kalau capek. Memang sekolahmu gratis apa? Bayar ya anak bodoh!" sentaknya lagi membuatku langsung keluar dari pelukan Habillah.

Yang dilihat kedua mataku adalah Elin. Elin Laurensia. Teman perempuan ku satu-satunya dengan wajah ceria kini menangis begitu dahsyatnya. Walaupun aku baru mengenalnya kemarin aku sudah menganggap nya sahabat. Dan sekarang tugasku untuk sandarannya dibutuhkan. Aku pun melangkah maju untuk mendekat lalu memberi pelukan hangat. Tapi langkahku dihentikan oleh cekalan tangan Habillah.

"Disini aja," ucapnya membuatku mendengus sebal.

"Uang, uang dan uang terus! Mama mikir gak sih keadaan ku? Mama mikir gak kesehatan ku? Gak kan? Karena mama mikirnya uang, uang dan uang!" bentak Elin dengan tangisnya.

"Loh harus. Gak ada uang kamu mau makan apa? Sekolah dimana? Panti asuhan?" remeh Mama Elin.

"Mama," geram Elin.

Wanita yang disebut Mama itu pun mendekat ke arah Elin lalu meraih pergelangan tangan Elin. "Sekarang ikut Mama, kita gugurin kandungan kamu. Dan kerja lagi. Paham!" ucapnya lalu menyeret paksa Elin.

"Elin hamil?" batinku tak percaya. Masih sekolah lho dia.

Belum sempat hilang dari pandangan, Elin sudah ditarik kedalam dekapan seorang laki-laki. Laki-laki yang pernah kulihat sewaktu selesai shalat dzuhur kemarin. Duduk berbincang dengan Elin yang diam.

"Eh Roni. Sepuluh juta kalau bawa anak saya ya," entengnya Mama Elin bicara. Sepuluh juta minta sekejap mata?

Yang dipanggil Roni pun merogoh saku celana belakangnya dan mengeluarkan ponsel iPhone keluaran terbaru tahun ini. Dengan sigap diambil langsung oleh mamanya Elin, mengetikkan entah apa lalu dengan senyum sumringah nya ia mengembalikan ponsel ke Roni.

"Makasih ya Roni. Gini dong yang gercep. Kenapa gak nikahin aja sih Elin? Kalau kamu nikahin kan, Tante gak perlu nyuruh dia kerja malam. " ucapnya membuatku masih bingung mencerna.

Hamil, kerja malam,nikah? Asli otakku berfikir kritis.

"Kalau gitu Tante pergi dulu. Dan oh ya Ron, Elin sedang hamil gak tahu anaknya siapa. Tolong temani untuk nguggurin ya tapi kalau kamu mau tanggung jawab gapapa sih. Byee," pamitnya lalu langsung berlalu meninggalkan kami.

Bisakah Kembali? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang