9. Bahagia

2 2 0
                                    

"Aku sudah bertemu dengannya! Dia melihat benang merahku!" Pekik Raina kesenangan tepat saat hari sudah mulai sore. Sekarang Raina sedang menunggu Ayahnya menjemputnya. Ia bersama Ghea sedang duduk di halte.

"Beneran! Gimana reaksinya?" Raina terdiam dan mulai menjelaskan segalanya tentang kemarin.

Dia melihatku!

Raina terpaku saat itu juga. Ia merasakan afeksi yang cukup dalam dan hanya bisa diam sembari menatap Rama yang juga terpaku.

Seiring dengan langkah Rama yang mulai menyatu dalam keheningan, ponsel Rama berdering dan ia mengangkatnya dan mulai membulatkan mata sambil bergerak pergi menjauh ....

Benang merah itu mulai tak terlihat dan Raina menunduk diam akan hal itu.

"Rain, kamu sedang apa di sana?" Raina segera masuk ke dalam mobil saat sadar Ayahnya sudah selesai menelpon kliennya.

"Ckckck, kenapa kau bodoh sekali! Kenapa kau tidak meminta nomernya saat dia akan lari!" Ghea gemas karena Raina menyia-nyiakan waktunya. "Dia mungkin mendengar sesuatu seperti keluarganya ada yang sakit atau apapun, kau 'kan bisa meminta nomernya saat itu. Masa kau membuat lelaki itu bergerak sesuai keinginanmu! Kau juga harus usaha!"

Raina tanpa sadar mengangguk dan mulai melihat mobil Ayahnya yang sudah tiba. Ia segera duduk di samping Ayahnya sedangkan Ghea duduk di belakang mereka.

"Apa hari ini menyenangkan?" Tanya Bagas kepada Raina dan Ghea. Ia sudah menganggap Ghea seperti anaknya sendiri.

"Buruk! Aku belum bertemu dengan jodohku ...." Ghea mengeluh dan mulai bercerita. "Aku sempat bertemu sekilas dengannya beberapa minggu yang lalu, tapi saat itu juga dan semua orang berlarian. Aku mau tidak mau harus merelakannya pergi dengan bus yang ia tumpangi." Ghea cemberut.

"Mungkin dia tidak menyadarinya."

Ghea mengangguk antusias. "Iyaa benar! Aku bahkan tidak pernah melihatnya lagi saat itu. Hehhh menyebalkan!" Ghea menggerutu sambil memukul sofa mobil dengan geram. Kenapa mencari pasangan benang merahnya saja susah sekali!

"Lalu bagaimana denganmu, anakku yang cantik?" Raina menggulirkan bola matanya malas.

"Tidak ada."

"Sebenarnya—"

"Diam kau!" Ancam Raina membuat Ghea bahkan Bagas tertawa karena kelakuannya.

"Tenang saja, Ayah sudah mengetahuinya kalau jodohmu sudah dekat. Mungkin dalam sebulan ini kalian akan bertemu."

Bagas tidak tahu saja kalau Raina sudah bertemu jodohnya tapi malah diam seperti patung. Mungkin kalau ketahuan Bagas sudah memukul kencang karena gemas.

Kalau boleh jujur, Raina sedikit sakit hati karena tidak mendengarkan penjelasan Ghea untuk meminta nomornya.

Semoga saja hari baik datang menjemputku seumur hidup.

Raina masih menyesal, kenapa pemikiran Ghea tidak menyantol ke dalam otaknya? Kalau begini dia harus berusaha mencari Rama ke kampusnya lagi.

Sebenarnya walaupun begitu, dia tetap akan mencarinya.

.

.

.

.

.

.

Sekarang sudah hari rabu, Raina terlalu bersemangat untuk datang ke kampus Rama padahal dia baru saja pulang sekolah. Itu pun Ayahnya belum datang menjemput.

Lintas BiruDonde viven las historias. Descúbrelo ahora