PROLOG | STARRY NIGHT

129 10 3
                                    

Kushina menghela napas panjang sambil menatap bulan purnama yang bertengger anggun di atas sana. Dengan secangkir coklat panas yang ia dekap dengan kedua telapak tangannya. Sekali lagi ia menghela napas seakan mencoba menguarkan beban di pundaknya melalui setiap helaan napas yang ia keluarkan. Sekalipun ia yakin itu takkan berhasil.

"Apa aku bisa melakukannya dengan baik besok? Uhh ... aku gugup sekali," eluhnya sembari menunduk dengan wajah gusar. Besok adalah hari pertamanya bekerja di rumah sakit sebagai dokter magang. Itu berarti setiap waktu akan ia habiskan di gedung tempat dimana orang-orang sakit dirawat.

Sebenarnya itu adalah mimpinya sejak kecil. Namun ketika waktu berjalan sangat cepat dan besok ia akan benar-benar mulai bekerja sebagai dokter sungguhan membuatnya gugup—sangat.

Gadis bersurai merah itu terperanjat kala seseorang tiba-tiba saja duduk di sisinya dengan helaan napas panjang. Sama seperti yang ia lakukan tadi.

"Kau bisa kedinginan jika terlalu lama di luar, Nona Namikaze." Kushina lantas menoleh cepat dengan wajah kesal. "Uzumaki! Aku belum menjadi istrimu, Minato. Jangan mengganti namaku seenaknya!" protesnya. Minato hanya tertawa dan mencubit hidung Kushina dengan gemas. Tawa pemuda itu secerah matahari ditambah cengiran lebarnya yang berhasil membuat Kushina tersipu.

"Hentikan, Minato!" Kushina menangkis lembut tangan Minato dengan sebelah tangannya. Minato selalu saja menggodanya.

Kushina menatap pemuda di sebelahnya—kekasihnya yang sudah dua tahun ini bersamanya. Ia adalah pria yang baik hati dan lemah lembut. Hari ini adalah hari jadi mereka yang kedua tahun dan Minato menepati janji untuk menemuinya di tengah-tengah kesibukannya sebagai anggota militer.

"Kau benar-benar datang ..." Kushina tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Meskipun mereka sepasang kekasih, mereka jarang sekali bertemu. Kushina sibuk dengan pendidikannya dan sekarang ia akan mulai bekerja keras di rumah sakit serta mempersiapkan pendidikan lanjutannya. Benar, dia berencana akan menempuh pendidikan spesialis. Seperti apa yang diimpikannya.

"Tentu saja. Untuk Tuan Putri kesayanganku ini," ujarnya dengan menunjukkan senyum yang bahkan bisa membuat wanita manapun akan tersipu—bahkan mungkin pingsan, "maaf aku tidak bisa selalu ada di sampingmu. Selamat, besok kau akan memulai mimpimu," lanjutnya dengan tatapan lembut.

Gadis bermanik violet itu membalas senyuman Minato. Ia menunjukkan wajah terbahagianya di depan pemuda yang sangat ia cintai itu. "Terima kasih!"

Minato mengikis jarak duduk keduanya dan menyandarkan kepala Kushina dengan lembut ke pundaknya.

"Kudengar akan ada meteor yang melewati langit malam ini. Mau membuat permohonan?" Minato berujar sambil menatap langit gelap yang gemerlap indah dengan cahaya bintang dan bulan. Pemandangan langit dari atap rumah Kushina memang sangat indah. Tempat ini menjadi tempat rahasia keduanya untuk menikmati pemandangan menenangkan seperti ini setiap kali mereka bertemu.

"Tentu. Setelah itu aku akan tidur untuk mempersiapkan hari esok," jawab Kushina antusias.

Jantung Kushina berdegup dengan kencang. Ia tak sabar menunggu hari esok. Rasa gugup dan antusias yang menjadi satu membuat jantungnya seakan melompat. Ditambah lagi sekarang ia berada di dekat seseorang yang selalu berhasil membuat jantungnya berdebar dan tersipu.

Keduanya pun menikmati malam dengan obrolan ringan tentang apa saja yang mereka lakukan ketika tidak bertemu satu sama lain. Obrolan kecil soal Kushina yang tak sengaja menjatuhkan peralatan bedah saat praktek atau ketika Mikoto memarahinya ketika ia melamun saat akan mengambil sampel darah pasien. Hingga tak terasa sebuah meteor seperti bintang jatuh melewati mereka.

"Lihat!" seru Minato sambil menunjuk langit.

"Aku harap bisa bersama Minato seperti ini untuk selamanya," mohon Kushina dengan memejamkan kedua matanya. Tak lama kemudian ia membuka kedua matanya lalu menyunggingkan senyuman manis.

"Aku bisa kelebihan gula dan koma ..." ujar Minato tiba-tiba ketika ia melihat senyuman Kushina yang dianggapnya sangat manis dan menawan. Kushina memukul lengan kekasihnya itu.

"Kau tahu itu bukan gurauan yang lucu! Kau bisa benar-benar mati kalau kelebihan gula dalam darah!" serunya dan membuat tawa Minato sekali lagi pecah.

"Apa permohonanmu, Kushina?" tanya Minato dengan tatapan penasaran. Kushina menegakkan kepalanya dan memejamkan kedua matanya. Ia tersenyum kembali.

"Aku hanya ingin bersamamu untuk waktu yang lama."

Minato lantas tersenyum dan kembali menatap langit malam.

"Aku harap, aku takkan pernah meninggalkanmu," pikir Minato dalam hatinya.

"Kalau kau sampai meninggalkanku, aku akan menterormu dan membuat hidupmu tidak tenang!" ancam Kushina yang membuat Minato terkejut. Apa gadis itu mendengarkan apa yang ia pikirkan? Tidak mungkin. Tapi gadis itu seakan bisa membacanya. Namun Minato yakin Kushina tak mendengarkan pikirannya.

"Akan kucoba."

Sekali lagi Kushina memukul lengan Minato dengan sedikit lebih keras.

"Jawaban macam apa itu?!"

Minato hanya tertawa melihat wajah Kushina yang dianggapnya sangat lucu ketika kesal meskipun jika gadis itu benar-benar marah bisa menjadi sangat mengerikan. Ia pun menangkup kedua pipi Kushina dengan lembut.

"Aku akan berusaha keras mengabulkan permohonanmu."

Begitulah keduanya melewati malam yang dingin namun dengan suasana hangat. Bintang-bintang menjadi penonton pertunjukan manis di bawahnya. Menyaksikan keduanya bersenda gurau, saling tersenyum dan berpelukan dengan hangat seakan semuanya akan baik-baik saja tanpa ada hal yang bisa memisahkan ikatan kuat diantara keduanya.

"Aku akan bertugas lagi besok. Lebih jauh dari sebelumnya. Mungkin akan memakan waktu sedikit lama," ucap Minato di tengah pelukan hangatnya pada Kushina. Gadis itu merasa sedikit sedih. Namun ia bisa memahami Minato. Itu sudah menjadi tugasnya dan dia akan menunggunya.

"Aku akan menunggu. Beritahu aku jika kau pulang, meskipun aku akan sibuk di rumah sakit—aku akan menemuimu. Sekalipun singkat."

Minato mengeratkan pelukannya lagi.

"Tentu saja."

Dan kemudian, Kushina menjalani hari-harinya sebagai dokter dengan penuh kerja keras. Hari menjadi minggu. Minggu beranjak menjadi bulan dan Kushina semakin hebat dalam menjalankan tugas-tugasnya. Hingga bulan-bulan beranjak hingga sudah tiga bulan berlalu sejak Minato bertugas. Kushina mencoba mengesampingkan rasa gusar dan rindunya dengan pekerjaan.

Hingga tiga bulan itu berlalu menjadi enam bulan bahkan setahun. Satu tahun tanpa kabar dari kekasihnya.

Dan satu tahun pun berjalan dengan cepat. Semua berjalan sangat cepat dan berlalu begitu saja beriringan dengan harapan Kushina untuk segera bertemu dengan separuh hatinya. Namun takdir tak berniat mengabulkan harapan Kushina.

Tanpa sadar, tahun-tahun penantian itu menjadi sepuluh tahun. Dan Kushina yang telah menjadi seorang Profesor muda itu ...

Terbiasa dengan kesendiriannya, dengan penantian yang tak ia ketahui dimana ujungnya. Hingga ia tak lagi menunggu, membiarkan harapannya menguap dan hilang begitu saja seperti asap yang membumbung dan hilang bersama angin.

Langit malam di atap rumahnya yang sebelumnya hangat, kini menjadi semakin dingin dan menyesakkan. Air matanya terus berjatuhan mengingat dia yang tak kunjung kembali. Ia tersenyum, menyeka bulir-bulir kesedihan itu, namun ia kembali menangis. Terus seperti itu.

Kemudian Kushina mulai berhenti. Harapan dan penantian Kushina hilang bersama waktu. Bersama detik jarum yang tak pernah berhenti melaju sekalipun ia berlutut untuknya agar berhenti dan kembali ke masa lalu. Air matanya kini tak jatuh lagi ketika menatap langit malam di atap rumahnya. Tatapan sedih itu kini telah sirna berganti raut datar tanpa setitik perasaan. Hingga ia menemukan bahwa dirinya telah benar-benar berhenti.

Waktunya telah berhenti dan membekukan hatinya.

Dan Kushina .... tak lagi menanti.

RED [SLOW UPDATE]Where stories live. Discover now