Prolog - Sepotong Roti

792 0 0
                                    

Peluh di sekujur tubuhku yang mulai menguarkan aroma asam mungkin sudah tercium dari setengah jam yang lalu oleh Nyonya Celine, penjual roti gandum yang pandai berniaga. Dapat kukatakan demikian sebab hampir seluruh pelanggannya gagal menawar rotinya yang lezat itu. Tapi aku tak putus asa, berbekal sisa uang dua puluh ribu aku ingin meminang roti kismis yang masih hangat di keranjang Nyonya Celine, selisih dua ribu dari harga seharusnya namun ibu yang gemar memakai perhiasan itu tetap kekeh untuk mempertahankan harga.

"Sudahlah Arthur, pulang saja. Keringatmu bisa berjatuhan di roti-rotiku ini. Dua puluh dua ribu atau cepat pergi." Katanya tangkas.

"Aku membeli rotimu setiap hari Nyonya, setiap hari." Ulangku menekankan, "seharusnya kau bersyukur aku tetap menjadi pelangganmu meski rotimu harganya selangit."

"Jelas saja kau tetap membeli roti dariku, hanya aku penjual roti terenak di pasar ini dan kau tahu itu. Harusnya kau yang bersyukur aku tak pernah menaikkan harga dari kau masih remaja. Sudahlah ambil ini dan bayar sisanya besok pagi!"

Aku riang mendengarnya. Cepat-cepat kuambil roti tersebut dan pergi sambil berkata, "terima kasih Nyonya Celine!"

.

"Roti sudah, lobak sudah, susu sudah, kentang?" Kataku berbicara sendiri mengecek keranjang belanjaanku, "oh ada!"

"Bagus, sudah lengkap dan mari pulang sekarang."

Karena ingin pulang lebih cepat, aku memutuskan mengambil jalan pintas, lewat jalan setapak yang sepi dan jauh dari pemukiman padat. Sebenarnya aku bisa saja setiap hari pulang lewat sini namun entah mengapa terlalu sunyi.

Di depan sebuah gang kecil paling terlupa yang gelap dan lembab, kuperhatikan badan mungil yang berdiri dan memandang ke arahku dengan tatapan yang tak bisa kubaca. Hampir terkira patung sebab dia bahkan tak bergerak. Langkahku mendekatinya bersamaan dengan penasaran yang membuncah. Saat jarak sudah terpotong dapat kulihat dirinya lebih jelas lagi. Seorang perempuan muda bermata abu-abu dengan rambut sebahu yang berwarna coklat memakai terusan putih yang terlihat amat kumuh.

"Kalau tuan ingin dua puluh lima ribu tak bisa ditawar lagi."

Aku kebingungan, dia berniaga?

"Tak mau tak apa tuan" katanya lagi

"Kau menjual apa?"

"Diriku."

Aku tercengang seperti tersambar petir. Bisa-bisa seorang perempuan muda yang tak kurang apapun ini memilih menjajakan dirinya hanya untuk dua puluh lima ribu? Aku sedikit kehilangan kontrol.

"mengapa kau lakukan ini?!"

"aku-" ia terbata "aku lapar!"

"haruskah?"

"menurutmu hidup seperti ini mudah? jika tak ingin tuan boleh pergi" pungkasnya memalingkan muka

"dengar-" ucapku lalu terpotong suara dari seberang

"lima belas ribu?" Seorang pria tua bertubuh gemuk penuh tato terlihat santai mematok harga perempuan ini yang bahkan lebih murah dari roti Nyonya Celine, aku tak habis pikir.

Perempuan itu menggeleng, "dua puluh lima ribu tak bisa ditawar lagi tuan" katanya pada pria tua yang datang

"sudah dipakai lama tetap saja mahal ya"

Aku mulai geram, "Jaga mulutmu pak, kurasa kita berdua tau ini perempuan bukan barang pasar"

"Waduh anak muda, tegang sekali hahaha. sudah mencoba? bagaimana? beri aku ulasan hahahaha"

Perempuan itu menyahut, "kalau tak ingin tak apa tuan"

"tentu saja aku mau, dua puluh ribu ya?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 30, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sepotong RotiWhere stories live. Discover now