#1

2.8K 282 16
                                    

Chapter One

❝Her.❞

.
.
.

***

Mentari dengan gagah memimpin dunia. Gumpalan kapas menggantung lembut menghias kanvas langit. Biru cerah membentang luas pada ruang di atas bumi. Semilir angin menyentuh halus kulit bening. Dengan gembira menjelajah buana setelah sekian lama.

"Ha..." hela nafas terdengar pelan. Dengan halus berusaha untuk melebur bersama udara. Tersebar dengan lembut dalam keheningan meski Mentari berkuasa. Bola mata permata (e/c) terlihat begitu jernih dalam pelukan serbuk Rembulan. Terlihat indah dengan materi gelap menemani. Tatapan teduh terlukis dengan tenang. Labium merah muda menipis pelan. Memberikan ruang untuk dunia menahan nafas sejenak.

Kaki jenjang menelusuri lorong panjang. Dengan perlahan mencicipi setiap ruang untuk mengembara menemukan rumah. Sendirian dengan kedamaian memeluk erat. Tidak ingin melepaskan meski renjana berteriak keras. Sebab perasaan nyaman terlampau lama bersarang. Benturan antara ubin dan sepatu hak mengisi kekosongan jiwa. Begitu tajam kala kaki menyapa.

Telapak tangan mungil terlihat penuh. Hampir tertutup sempurna dengan celah kecil mengintip. Tumpukan lembaran putih menggunung. Sedikit menutupi pandangan dari dunia hina. Meski tidak begitu berguna sebab akal budi memaksa untuk waras. Jemari lentik terlihat memegang erat tumpukan kertas; berusaha untuk menahan agar tidak lepas dari genggaman.

Goresan tajam dari tinta pekat menodai dengan kasar permukaan kertas. Memenuhi setiap tempat tanpa berpikir untuk beristirahat. Huruf dan angka tergantung berantakan. Hampir tidak terbaca dengan coretan niskala. Hela nafas sekali lagi terdengar. Dia sudah terbiasa dengan semua ini. Menjadi seorang Asisten Dosen merupakan sebuah berkah baginya. Sebab dengan begitu, dia bisa mendapatkan ilmu lebih dan pembuktian.

Namanya adalah (Y/n) (M/n) (L/n). Seorang Putri bangsawan manis dengan keteguhan dalam hati dan pendirian. Dia merupakan seorang pemikir keras. Dunia ini tidak adil, begitulah menurut sang Puan. Menempuh pendidikan politik atau mempelajari ilmu mengenai ekonomi dan sosial merupakan hal tabu untuk seorang perempuan. Sial, gadis itu bersumpah. Dia sungguh mengutuk sistem perbedaan gender dan kasta di negara ini.

Kurun memiliki tiga golongan. Gemilang harta berhamburan dan memiliki sebuah status, biasa disebut sebagai bangsawan. Selanjutnya adalah kelas menengah. Merupakan para pekerja atau pedagang yang memiliki nasib lebih baik daripada kelas bawah, rakyat jelata. Sebab untuk bertahan hidup dari dunia hina merupakan hal mustahil. Era ini adalah era perbudakan dan penindasan.

Mereka dengan terpaksa bekerja membanting tulang hanya untuk mendapatkan upah tidak sesuai. Anak-anak merupakan generasi pemimpin di masa depan. Ah, betapa menyebalkannya. Mereka tidak mendapatkan pendidikan. Tidak. Untuk makan dan bernaung dari terik Mentari serta dingin Rembulan saja tidak bisa. Negara ini sudah berhasil membuat seseorang melukis kanvas dengan pemandangan buruk.

Kemiskinan, wabah penyakit, kriminal serta kelaparan. Dengan kelas atas berkuasa penuh dengan harga diri tinggi bertanggung jawab untuk semua ini. Sistem kasta sudah mendarah daging.

Memori masih melekat jelas pada ingatan. Ibunda sering memberikan wejangan. Seorang perempuan harus bersikap tenang, sopan dan anggun. Selalu mematuhi suami dan duduk manis di rumah. Menjadi pajangan cantik dan menikmati harta sepuasnya. Duduk manis dan menjadi pajangan? Dengkulmu! Enak saja, mengapa perempuan begitu dibatasi sedangkan para laki-laki bebas melakukan segala aktivitas? Sang Puan menggeleng kecil. Dia tidak bisa menerimanya begitu saja.

Kaki jenjang sedikit mempercepat langkah. Dengan tergesa menuju tempat untuk beristirahat. Sang Puan menggertakkan gigi. Suara lantang ayahnya kembali terputar dalam kaset kecil. Ingatan mengenai kepala keluarga (L/n) tersebut berteriak murka dengan amarah menggebu ketika dirinya menolak perjodohan dan memilih untuk bergelut dalam pendidikan masih segar dalam otak.

Older | William James MoriartyWhere stories live. Discover now