Bab 1

7.9K 375 10
                                    

"Akhhh!"

"Dengar teriakan itu gak? Serem banget."

Aku mencolek bahu Mbak Nindi—sepupuku.

"Udah, jangan didengerin. Tidur aja kamu itu."

"Tapi Mbak—"

"Kamu bisa kena marah sama Kakek kalo masih berisik. Tidur aja, gak usha diladenin."

Apa sih? Aku memegang tengkuk, bergedik. Jeritan itu masih terdengar menyeramkan. Sementara Mbak Nindi yang tidur di sebelahku tidak menanggapi lagi, dia kembali terlelap.

Mana bisa tidur kalau begini. Aku berkali-kali mengubah posisi tidur.

"Mbak."

Mbak Nindi sama sekali tidak menanggapi. Dia sepertinya kembali terlelap. Aduh, mana besok hari pertama aku sekolah di sini.

Ini hari pertama aku datang ke rumah Kakek, tapi hawanya sudah begini.

"Akhh!"

Gak bisa. Aku akhirnya beranjak. Suara itu benar-benar mengganggu. Biar aku cek itu suara dari mana.

"Mbak Nindi gak mau nemenin aku?" Aku kembali menggoyangkan tubuh sepupuku itu.

Tidak ada tanggapan lagi.

Baiklah. Aku akhirnya beranjak. Melangkah pelan ke ruang tamu yang lumayan gelap. Hanya penerangan lampu yang minim di sini.

Berkali-kali aku mengusap tengkuk. Entah kenapa hawa di sini berbeda sekali. Aduh, ini semua gara-gara Mama dan Papa. Kenapa pakai acara memindahkan sekolahku di sini sih?

Tidak ada yang mencurigakan di rumah ini. Apalagi yang berteriak. Sepertinya dari tetangga sebelah. Aku melirik jam dinding, tengah malam. Siapa sih yang teriak-teriak?

"Emm, apa aku cek keluar aja ya?" gumamku sambil memegang kunci rumah yang masih bergantung di pintu.

Sepertinya iya. Kalau masih ada suara itu, aku sama sekali tidak bisa tidur. Dengan tangan gemetar, aku memutar kunci rumah. Jangan sampai terjadi apa-apa.

"Ya Allah, lindungi aku."

Aku menelan ludah, baru membuka pintu. Hawa dingin langsung menyeruak. Aku menutup hidung ketika bau amis dan busuk tercium. Bulu kudukku langsung berdiri.

"Ini bau apaan?" Aku terbatuk.

Jeritan itu terdengar semakin terdengar jelas. Aku mengedarkan pandangan, terhenti di depan rumah kakek.

Entah kenapa, aku yakin sekali kalau jeritan itu berasal dari rumah depan.

Tubuhku langsung membeku ketika ada yang menepuk pundak. Aku menggigit bibir, tangan yang menepuk pundakku terasa dingin. Tidak ada suara apa pun di belakangku. Aku menelan ludah. Jantungku berdetak kencang sekali.

"A—ampun. Maaf." Gemetar aku mengatakan itu.

Beberapa detik tidak ada suara apa pun. Aku tersengal, akhirnya memberanikan diri untuk berbalik.

"Aaa—"

***

Jeritan Misterius Tengah MalamOnde as histórias ganham vida. Descobre agora