R.

420 51 3
                                    

          "Tidak ada perasaan yang salah,tidak ada pengharapan yang sia-sia. Kamu hanya sedang apes bertemu orang yang salah."
                  -Unknown-

                 ***

     Pagi ini Renata menemani Praha menyerahkan proposal pengajuan barang dan alat yang dibutuhkan Lancar aksara sebagai sarana penunjang belajar.

   Pemerintah setempat bersedia mengabulkan dan mereka diminta mengurus kelengkapan berkasnya.

   Renata membuka pintu mobil yang dikemudikan Praha setelah berpamitan pada Ibu. "Tumben. Bawa mobil." Renata sudah terbiasa yang melihat Praha kemana-mana menaiki motor besarnya.

"Lagi pengen aja," jawab sekenanya. "Lagian panas juga." Renata mengerutkan kening mendengarnya. "Gue takut ada yang ngomel kepanasan." Begitu sadar siapa yang dimaksud Praha, kontan Renata langsung melotot.

"Heh, sok tau. Gue nggak masalah kali naik apa aja. Asal bisa jalan."

  Praha tersenyum kecil melirik Renata yang mencebik. "Iya,ya, gue tau. Tapi gue yang nggak mau."

    Renata menyipitkan mata mendengar jawaban Praha. Merasa aneh namun tidak bisa menerka maksudnya."Lo nggak suka panas?"

"Anggap aja begitu." cuek Praha yang menatap lurus ke depan. Sedang Renata mengangguk-angguk mengerti.

    Selama perjalanan Renata banyak bertanya soal kampung halaman mereka pada Praha. Rasanya bagai pendatang baru lantaran tidak banyak yang diketahuinya sekarang "Lo benar-benar faham ya seluk-beluk kota ini."

"Padahal Lo juga lama di luar kota."

"Gue lahir dan besar disini,Non." gemes Praha mencuri lirik pada Renata yang memakai kemeja biru muda dan jeans disebelahnya.

"Gue juga lahir disini kalau Lo lupa,"

"Tapi ada bedanya."

"Apa?"

"Gue nggak pernah benar-benar ninggalin kampung halaman kayak Lo." Mendengar jawaban santai namun sarat akan cibiran itu sontak Renata mencubit lengan Praha. Merasa kesal sekaligus tidak terima.

    Praha mengusap-usap lengannya yang kena cubitan lumayan pedas Renata.
"Pedas banget," keluhnya tak ditanggapi Renata. Gadis itu malah melengos ke samping. "Gue baru tau Lo sesadis ini."ringisnya.

"Lo, sih senang banget cari gara-gara ama gue." dengkus Renata namun tetap memperhatikan lengan Praha yang sedikit memerah akibat cubitannya.

"Itu Lo aja yang sensi," balasnya tak mau kalah.

"Dulu Lo nggak begini. Malah nggak banyak omong."

"Tau apa tentang gue?!" kata Praha menatap Renata dengan pandangan yang tak bisa diartikan gadis itu.

                       

                        *

   Niatnya Renata mengkonfirmasi kata-kata Praha tadi namun urung lantaran mobil sudah berhenti. Keduanya turun setelah Praha memarkirkan mobil.

"Sini gue bawain," belum sempat Renata menjawab Praha sudah menyambar berkas-berkas yang sudah mereka lengkapi sebelumnya.

    Renata memilih diam dan mengikuti Praha. Diam-diam dia mengamati postur tubuh pria itu dari belakang.

   Praha membuka pintu kaca dari luar, menunggu Renata masuk sebelum menutupnya kembali. Gesture sederhana namun disukainya.

    Renata sesekali menimpali sedang Praha yang menjelaskan dan bernegosiasi dengan Dinas pendidikan dan kebudayaan yang berkolaborasi dengan Dinas sosial. Harus diakuinya Praha terlihat cerdas saat menjelaskan program dan langkah-langkah mereka ke depannya.

"Mau makan siang dimana?" tanya Praha melirik pergelangan tangannya. Renata ikut melirik jam tangannya. Ternyata sudah siang.

"Nyari yang dekat aja. Habis ini gue masih ada kelas."

    Disinilah mereka sekarang. Di restoran tempat reunian mereka beberapa bulan lalu. Renata memilih meja yang memuat dua orang di bagian belakang restoran yang langsung berhadapan dengan kolam ikan dan hamparan sawah yang mulai menguning.

"Lo belum kepikiran buat nikah?" Praha membuka suara memecah keheningan diantara mereka.

   Renata yang menikmati sejuknya udara yang berhembus dan menerpa wajahnya menoleh. "Untuk sekarang sih belum." Renata mengangkat bahu singkat.

"Kenapa?"

"Belum nemu yang tepat aja."

"Bukannya Lo punya pacar?"

"Sayangnya udah putus." Hening kembali menghiasi meja mereka."kenapa nanya gitu?"

"Pengen tau aja sih."

"Dasar," geli Renata ikut menata makanan yang baru diantarkan pelayan ke meja mereka.

"Lo sendiri? Secara nggak akan ada yang menolak seorang Praha Wirakusuma."

  Praha terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya. "Cewek yang gue deketin belum pengen nikah."

"Ya, Lo usaha dong. Tunjukkin ke dia kalau perasaan Lo."

"Hem... Gitu ya." Gumam Praha.

"Jangan dijanjiin tapi di buktiin." Sambung Renata sembari menyuap makanannya.

"Misalnya?"

"Sebenarnya nggak harus gue kasih tau. Tiap orang beda level buktiin nya. Sesuai sama kondisi dan keadaan aja sih kalau buat gue."

"Cinta buat Lo apa sih?" Renata terdiam dan menatap Praha sebelum pandangannya lurus ke depan.

"Perasaan nyaman dan aman bersamanya. Seberat apapun masalahnya selama gue sama dia maka semua baik-baik aja."

"Kalau Lo?" Renata kembali memandangi Praha yang terpaku akan jawabannya.

"Bisa melindungi dan memahami dirinya." Renata tersenyum mendengar jawaban singkat namun bermakna baginya.

"Gue jadi penasaran siapa ceweknya." Praha hanya menjawab dengan senyum yang terasa misterius bagi Renata. "Tapi nggak deh,ntar juga Lo kasih tau sendiri." Jahilnya. Praha berdecak mendengarnya.

                              
"Lo tau apa yang berat dari memperjuangkan seseorang? Saat Lo berjuang tapi orang yang Lo perjuangin mematahkan semuanya." Renata memang tersenyum mengucapkannya tapi siapapun tau ada kepahitan dalam nadanya.

"Gue pernah di posisi itu. Sakitnya masih ada tapi luka itu mengajarkanku untuk tidak berharap lebih." Praha diam memandangi Renata yang menatap lurus ke depan.

    Bagi orang lain kalimat tersebut mungkin terdengar biasa, namun Praha bisa merasakan ada kesedihan sekaligus kehancuran di sana.

"Gue emang nggak tau rasanya tapi Lo hanya perlu mencintai diri sendiri. Lo terlalu berharga buat manusia yang tidak faham arti berjuang." Renata mungkin tak menyadari ada sorot ketegasan yang tak terbantahkan dari ucapan Praha.

"Akan ada saatnya Lo ketemu sama orang yang menghargai dan perjuangin Lo seumur hidupnya."

    Renata tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. "Makasih. Udah buat gue merasa lebih baik."

"Jangan pernah menyesal mencintai seseorang karena itu akan membuatmu merasa buruk. Perasaan itu tidak ada sia-sia. Hanya saja Lo bertemu orang yang salah."

    Berbagi cerita bersama Praha membuat perasaannya membaik. Renata juga terkesan dengan cara Praha menanggapi ceritanya. Tidak menyalahkan dan membelanya namun membuatnya merasa baik.

"Terkadang kita perlu bertemu orang yang salah agar kita faham dunia tidak hanya selalu tentang kita."

*02 Januari 2022.

     Halaman 2 dari 365 halaman. Semoga ke depannya lebih baik. Harapan dan keinginan baik dikabulkan. Jangan pernah menyerah.

Apa Kabar Hati?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang