16. Debar

8.2K 1K 26
                                    

Vote dan comments jangan lupa yes.

*

16. Debar

Terkadang, Wisnu merasa ada sesuatu yang rumit pada diri Kaia. Meski ia tak acuh, tapi atensi itu tak bisa dicegah. Di beberapa kesempatan, ia seolah tahu jika senyum Kaia mengadung sesuatu yang tersembunyi. Namun Wisnu tak bisa mendekripsikannya dengan kata-kata.

Seperti sekarang ini, di mana Kaia sedang menghampirinya di gazebo FT. Gadis itu tertawa bersama Woko, tapi entah kenapa ada yang lain dari biasanya. Posisinya yang cukup jauh dari Wisnu membuat Kaia tidak sadar saat diperhatikan.

"Lo mulai suka Kaia?" 

Wisnu menghentikan lirikannya kepada Kaia, lalu beralih menatap Arta yang barusan berbisik itu. "Apa?"

"Gue lihat lo dari tadi lirik dia." Arta tersenyum jail. "Mulai suka kan, lo, sama dia?"

Kedua alis Wisnu terangkat. "Lo suka dia?"

"Lah, malah balik nanya."

"Lo sering lihatin dia."

Arta tertawa karena ucapan Wisnu itu. Senyum tipisnya tersungging. "Kalau gue suka dia, lo nggak masalah?"

Wisnu terdiam. Sejujurnya ia tak menyangka jawaban Arta akan seperti itu. Ya, Arta memang satu dari sekian temannya yang terlihat tidak masalah dengan keberadaan Kaia di sekitar mereka. Bahkan laki-laki itu belakangan terlihat cukup akrab berinteraksi dengan Kaia. Namun Wisnu tetap tidak menduga jika Arta menyukai Kaia.

Namun lamunan Wisnu buyar saat Arta tertawa keras. Itu memancing reaksi teman-teman yang lain, menoleh dengan raut heran. Tak terkecuali Kaia.

"Kak Arta ngetawain kucing tetangga gue?"

Wisnu mengerutkan kening, sementara Arta melongo.

"Apaan?" balas Arta.

"Gue kan lagi cerita kalau kemarin kucing tetangga gue dipanggil sama Yang Maha Kuasa. Terus lo tiba-tiba ketawa keras banget. Jahat lo, nggak berperikekucingan."

"Lah, bukan, gue nggak ngetawain kucing lo." Arta terkekeh. "Jadi kucing tetangga lo wafat? Gue turut berduka cita, ya."

Jadi Kaia terlihat agak murung karena kucingnya meninggal? Wisnu menarik-embuskan napas. Ia pikir gadis itu punya masalah yang jauh lebih berat daripada hal serandom itu.

"Makasih. Nanti gue sampaikan ke tetangga gue." Kaia menjawab, dan itu membuat Wisnu diam-diam melirik ke arah gadis itu. "Terus tadi lo ngetawain apa, Kak?"

"Oh itu, gue mau rebut sesuatu dari Wisnu."

Wisnu langsung melirik Arta tajam, tapi temannya itu hanya tertawa-tawa. Sementara yang lain sudah menatap penasaran.

"Beneran, Nu?" Lalu gadis itu beralih ke arah Wisnu. "Apa yang mau direbut Kak Arta? Kayak pelakor aja ngerebut barang punya temen sendiri."

Arta justra makin keras tertawa. "Ya kali gue pelakor, Kai. Tapi yang ini tuh Wisnu nggak suka, jadi daripada mubazir, mending buat gue."

"Emang apaan yang Wisnu nggak suka?"

Wisnu melipat bibirnya. Ia justru salah fokus dengan ekspresi penasaran Kaia yang menurutnya sedikit lucu. Shit. Lagi-lagi atensinya tercuri oleh gadis itu.

"Sepatu."

Jawaban Arta menciptakan kurva di sudut bibir Wisnu. Ia memutar-mutar pensil di antara jari tengah dan telunjuk, menunggu karangan apa yang akan dirangkai oleh temannya itu.

"Jadi Wisnu punya sepatu. Nah, dia nggak suka ini sepatu. Pokoknya mah dicuekin, dilirik aja enggak. Kayak nggak berguna sepatunya buat Wisnu."

Wisnu mengernyit. Gerakan pensil di jarinya terhenti. Entah kenapa ada rasa tak tepat ketika mendengar kalimat terakhir Arta.

"Jadi daripada mubazir, gue bilang ke Wisnu, mau pakai sepatunya. Ya kan, Nu?"

Wisnu masih bungkam. Ia malah melirik Kaia yang serius mendengarkan. Lalu tanpa sengaja ia menangkap tatapan dan seringai aneh dari Revo, teman selain Arta yang cukup dekat dengannya. Menatap ke depan, Wisnu menjilat bibir bagian dalamnya.

"Tapi ternyata reaksi Wisnu di luar dugaan, guys. Dia kelihatan mau nerkam gue. Makanya gue ketawa. Padahal kan tadi cuma bercanda buat mancing reaksi dia doang." Arta tertawa keras seolah itu lucu.

"Perkara sepatu doang," celetuk Hilda, salah satu teman sefakultas mereka.

"Kalau nggak rela, berarti Wisnu suka sepatunya dong?" Kaia menatap Wisnu sambil bertopang dagu. "Kalau gitu, sekali-kali harus dipakai, Nu. Sayang kan, Kak Arta?"

"Iya, Sayang."

"Bukan gitu maksud gue, Kak Arta!"

"Lah gue kira lo manggil 'Sayang'."

"Gelo!" gerutu Kaia. "Gue kalau manggil 'Sayang' cuma ke Wisnu aja. Limited edition tuh 'sayang'nya gue. Just for Wisnu Pradana."

Pengakuan jujur Kaia memancing tawa dan sorak penuh ledekan dari beberapa teman Wisnu. Sementara Wisnu masih saja terdiam dengan mata mengerjap. Tidak, kali ini ia tidak mengabaikan ungkapan perasaan Kaia. Dadanya ... sedikit berdebar. Apakah benar, bahwa ia mulai menyukai 'sepatu' itu?

***

Bab POV Wisnu di Wattpad sampai bab 21 ya. Kalau di PDF sampai bab 24. Jadi bab 22-24 masuk bab loncat.

Harga PDF udah balik normal yaa yaitu 50k.

Magelang, 21 Agustus 2022

Direpost 01 Desember 2023

Way Back To You (END)Where stories live. Discover now