Letters to Mend A Shooting Star | KTH

440 60 64
                                    

Aku menyukai tiap unsur dirimu, termasuk yang retak sekali pun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Aku menyukai tiap unsur dirimu, termasuk yang retak sekali pun.

.

.

"Aku kacau."

Saat itu, kau tiba di depan pintu rumahku. Memang betul, keadaanmu kacau. Rambut legammu kuyup, disiram hujan yang dimuntahkan langit dengan petir-petir menggelegar. Setelan kerjamu juga sama saja, kuyup. Dasi yang melingkar pada lehermu pun sudah tak keruan. Tapi tetap saja pada kacaumu itu, kutemui keindahan-keindahan yang bertunas, seperti cikal bakal rumput liar yang tumbuh di sela-sela batu jalanan.

"Ayo masuk," sebutku, tak mau membuat rupamu jadi makin menciut karena menahan dingin. Oleh karena itu, setelah lima lapis sandangmu kau buka dan kamar mandi menjadi sarangmu sementara untuk menenangkan diri, kujadikan dapur sebagai tempatku memula sihir. Sihir rumahan di mana air yang kuracik dan bumbu yang kuramu menjadi remedi bagi syaraf-syarafmu yang menggila itu.

Kita biasa begini.

Kau pulang. Meski ke rumahku, bukan rumahmu.

Mengeluh letih, atau kacau.

Lalu bak air hangat menjadi teman terbaikmu untuk tiga puluh menit pertama.

"Mana Aku?" tanyamu begitu usai menenggelamkan semua bebanmu lalu membuangnya bersama sisa-sia air rendamanmu. Wangi sabun dan shampoo masih semerbak ketika kau akhirnya duduk berseberangan denganku pada meja makan.

'Aku' yang kau tanyai jelas bukan menyoal dirimu sendiri, tapi kucing belang tiga gemuk milikku, yang ekornya hanya sepanjang satu ruas jari. Biasanya, Aku menjadi penutup keluh kesahmu di penghujung malam. Kau dan Aku akan sama-sama mendengkur pulas sebelum tangan jam meraih angka sebelas, dengan lima jemarimu melekat pada punggung Aku yang sedang tidur melingkar di perutmu.

"Tidak tahu. Sekitar sepuluh menitan lalu aku masih bisa dengar gemerincing lonceng kecil di kalungnya. Mungkin sedang ke rumah tetangga."

Kau mengangguk paham beberapa kali. Lidah dan gigimu khidmat menikmati masakanku, pipi kanan dan kirimu mengoper gembungan kecil berulang kali sebelum akhirnya menghilang hanya dengan beberapa kunyahan. Sudah lama tidak makan masakan rumah seenak ini, adalah kalimat yang akan kau lontarkan jika aku menyanyai sikapmu yang begini setiap kita bertemu di meja makan.

"Aku akan mencarinya kalau begitu," Kau berdiri setelah menandaskan semangkuk nasi daging, menyeka sisanya di pinggir bibir dengan tisu sekilas, dan lekas ke arah pintu belakang. Entah apa yang ada di pikiran tetanggaku saat mereka mendengarmu memanggil nama Aku berulang kali sambil berdecak dan menyebut puuus, puuus. Mungkin mereka sangka aku sedang kedatangan orang gila yang berteriak mencari dirinya sendiri.

"Ada?" tanyaku ketika melihatmu kembali masuk dengan desah kecewa, kau pun hanya mengangkat bahu. "Musim kawin, pasti sedang jalan dengan pejantan," hiburku.

When It Rains | BTS Oneshoot CollectionWhere stories live. Discover now