00

68 21 41
                                    

"Bun?"

"Ada apa?"

"Bunda." anak itu sedikit menunduk, "milad Nora, kan, minggu depan..."

"Terus kenapa, sayang?" kata Meisya sembari tersenyum.

"Nora teringat malam kemarin sempat bermimpi. Ada satu bapak gitu, Bunda."

"Hahaha... itu mungkin kakekmu sayang."

"Tetapi, kenapa wajahnya kelihatan bule? Wajahnya... matanya... mirip Nora."

Meisya berkedip satu, dua kali. Terperangah sekaligus canggung.

"Bunda, kenapa tidak jawab?"

Cepat-cepat membalas. "S-siapa... b-bapak itu ada bilang tidak sama, Nora?"

Nora mengangguk. "Katanya 'tunggu, Abi.' Abi itu kata dari Arab yang artinya Ayah, bukan? Bunda, lalu Abi ke mana selama ini? Kok cuma di mimpi Nora terus, kenapa dia tidak ada di sini?"

Meisya terpaku, betul-betul tersentak luar biasa sampai dunia seakan-akan berhenti berpusat di dalam dirinya saja. Lantas ia usap bahu anaknya perlahan dan memaksakan senyuman. "Itu pasti mimpi buruk, A-abi sebetulnya kerja untuk cari uang. Kerjanya jauh sekali, sampai pulang saja b-butuh waktu lama. Nora anak yang sabar, kan?"

Nora menatap Meisya polos, "Kalau begitu, boleh tidak Bunda kasih tahu Abi, Nora mau Abinya minggu depan. Pasti kalau bertiga tampak lebih menyenangkan!"

Meisya menggigit bibir bawahnya amat dalam, tidak kuat menjalankan satu persatu kata.

Meisya hanya membalasnya dengan dekapan hangat, mengusap pucuk kerudung Nora penuh tanda sayang. Berkedip amat cepat dan menahan sesak selama mungkin, ini pasti sekedar mimpi.

.
.
.

[Tbc.]

Hai?

[2] Blue and Grey | JAKE ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang